Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Main Menu (Do Not Edit Here!)

Senin, 23 April 2012

Dan Mereka pun Menangis

Al-Qur’an merupakan kalamullah yang diturunkan oleh Rabb semesta alam sebagai mukjizat bagi Rasulullah shalallahu alaihi wa salam. Isinya merupakan obat penawar bagi jiwa yang berada dalam kehampaan dan kegersangan. Dalam periode waktu yang relatif singkat Al-Qur’an telah mampu mengubah kehidupan orang arab jahiliyah kepada cahaya hidayah yang terang benderang dan menjadikannya kaum yang terhormat dan disegani.


Kandungan Al-Qur’an kemudian mampu menggerakkan generasi sesudahnya sehingga keimanan mereka kokoh dan Islam pun tersebar ke seantero jazirah Arab bahkan mampu menembus kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) dan Andalusia. Allah memfirmankan bahwa dalam Al-Qur’an memang terdapat sebab menuju kemuliaan,

“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepadamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?” (Qs. Al-Anbiyaa’ : 10).

Namun kini empat belas abad telah berlalu, Al-Qur’an telah banyak ditinggalkan, hanya menjadi hiasan dinding dan lemari serta sekadar dibaca tanpa diresapi maknanya dengan mentadabburinya. Allah subhanahu wa ta’ala kemudian memberikan peringatan dalam firman-Nya,

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Qs. Al-Hadiid: 16).

Ayat ini bisa menjadi bahan instropeksi bagi kita yang kini lalai dan sebagai upaya memperbaiki kondisi hati yang belum juga tunduk ketika seruan Allah dikumandangkan. Mungkin hati kita memang telah menjadi sedemikian keras.

Pangkal Kebaikan hati

Untuk melunakkan dan melembutkan hati Allah memerintahkan untuk mentadabburi dan berupaya memahami kandungan Al-Quran dengan sungguh-sungguh dan melarang untuk berpaling darinya,

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (QS Muhammad: 24)

Allah subhanahu wa ta’ala juga menjelaskan bahwa tujuan diturunkannya Al-Qur’an adalah sebagai sarana untuk tadabbur dan tadzakkur,

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Shaad: 29)

Dalam Madarij As-Salikin Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah menjelaskan bahwa hal yang paling bermanfaat bagi seorang hamba dalam kehidupan dunia dan akhiratnya (untuk lebih mendekatkannya dengan keselamatan) adalah dengan ber-tadabbur pada Al-Qur’an, perenungan yang berkelanjutan, dan konsentrasi akan makna ayat-ayatnya. Menurut beliau sikap ini mampu membuat seorang hamba mengetahui berbagai kebaikan dan kejahatan serta aspek-aspeknya, metode untuk menempuh jalan kebaikan dan kejahatan tersebut, kausalitasnya, tujuan-tujuannya, buah hasilnya, dan nasib para pelakunya. “

Sementara dalam bukunya yang lain, Miftah Dar As-Sa’adah beliau mengatakan bahwa bertadabbur akan melahirkan cinta, rindu, rasa takut, rasa harap, inabah, tawakal, ridha, sikap penyerahan, syukur, sabar, dan berbagai kondisi psikologis lain yang menghidupkan dan menyempurnakan hati. Tadabbur juga dapat menjauhkan berbagai sifat dan perbuatan tercela yang menggerogoti hati.

Membaca satu ayat dengan tafakkur dan tafahhum (kritis dan bersungguh-sungguh untuk mencari pemahaman makna Al-Qur’an), lanjut beliau, lebih baik daripada sekedar membaca satu kali khatam tanpa tadabbur dan tafahhum. Hal itu lebih bermanfaat bagi hati dan lebih efektif dalam menumbuhkan iman dan kenikmatan membaca Al-Qur’an. Jadi, membaca Al-Qur’an dengan tafakkur adalah pangkal kebaikan hati.”

Keutamaan Menangis

Allah subhanahu wa ta’ala memuji makhluk-Nya yang paling mulia di dalam firman-Nya,

“Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (QS Maryam: 58)

Ibnu Sa’di berkata berkenaan dengan ayat di atas, “Firman Allah subhanahu wa ta’ala, ‘Maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis, maksudnya adalah mereka khudhu’ dan khusyu’ dengan ayat-ayat tersebut, karena menggoreskan iman, cinta dan takut di hati mereka, sehingga membuat mereka menangis, berserah diri dan sujud kepada Tuhan mereka.”

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman mengenai para ahli kitab yang shalih,

“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata, ‘Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.’ Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS al Israa’: 107-109)

Menangis, menurut Al-Ghazali, disunahkan saat membaca Al-Qur’an. Cara untuk memaksakan tangisan adalah membayangkan hal-hal yang dapat menyebabkan kita menangis, yaitu dengan merenungi ancaman dan janji yang ada di dalam Al-Qur’an, kemudian merenungi kealpaan sikap kita terhadap berbagai perintah dan larangan Allah subhanahu wa ta’ala.

Rasa sedih dan tangis hanya menghampiri hati seseorang yang bersih. Hilangnya kesedihan dan tangisan hendaknya membuat kita bersedih (dan menangis), karena hal tersebut merupakan tanda musibah terbesar yang telah menimpanya.”

Belajar dari Generasi Awal

Dalam sejarah kehidupan generasi awal Islam, banyak kita temui kisah-kisah tentang kelembutan hati dimana mereka sering menangis ketika membaca dan mendengarkan Al-Qur’an. Hati mereka begitu mudah tersentuh karena keimanan yang telah begitu kuat mengakar di dalam dada. Berikut ini beberapa kisah tentang figur-figur itu:

1. Abu Bakar Ash-Shidiq Radhiallahu Anhu

Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya bahwa ketika sakit Rasulullah shalallahu alaihi wa salam semakin keras, beliau ditanya tentang shalat. Lalu beliau menjawab, “Suruhlah Abu Bakar mengimami orang-orang.”.

Aisyah berkata, “Sesungguhnya Abu Bakar adalah orang yang sangat lembut. Bila dia membaca Al-Qur’an maka dia tidak kuasa menahan tangis.” Lalu Nabi shalallahu alaihi wa salam berkata, “Suruhlah dia mengimami shalat.” Lalu Aisyah mengulangi perkataannya. Nabi Shalallahu Alaihi wa Salam pun berkata, “Suruh dia mengimami shalat. Sesungguhnya kalian (seperti) pengikut Yusuf.”


2. Umar bin Khattab Radhiallahu Anhu

Abdullah bin Syidad berkata, “Aku mendengar tangisan sedu sedan Umar saat aku di barisan belakang, yaitu ketika dia membaca, ‘Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku’.” (HR Bukhari)

Diriwayatkan dari Ubaid bin Umair, ia berkata, “Umar mengimami kami shalat Subuh, lalu dia membaca surat Yusuf pada rakaat pertama. Ketika sampai pada ayat, ‘Dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya)’ (QS Yusuf: 84) beliau menangis hingga berhenti lalu ruku’”


3. Abdurrahman bin Auf Radhiallahu Anhu

Diriwayatkan dari Sa’ad bin Ibrahim, dia berkata, “Abdurrahman bin Auf diberi makan malam saat dia berpuasa. Lalu dia membaca firman Allah subhanahu wa ta’ala,

“Karena sesungguhnya pada sisi Kami ada belenggu-belenggu yang berat dan neraka yang bernyala-nyala, dan makanan yang menyumbat di kerongkongan dan adzab yang pedih.’ (QS Al-Muzammil: 12-13)

Setelah itu dia terus-menerus menangis hingga makan malamnya dibereskan, sedangkan (siang harinya) dia benar-benar puasa.”

4. Aisyah Radhiallahu Anha

Diriwayatkan dari Qasim (keponakan Aisyah), ia berkata, “Apabila aku pergi pada pagi hari maka aku selalu memulai keberangkatanku dari rumah Aisyah untuk mengucapkan salam kepadanya. Pada suatu hari aku pergi dan ternyata dia sedang berdiri sambil membaca tasbih dan ayat,

‘Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari adzab neraka.’ (Qs. Ath-Thuur: 27)

Dia berdoa, menangis, dan mengulang-ulang ayat tersebut. Lalu aku berdiri hingga aku jenuh berdiri. Lalu aku pergi ke pasar untuk mencari kebutuhanku. Ketika aku kembali, ternyata Aisyah Radhiallahu Anha masih berdiri seperti semula sambil melakukan shalat dan menangis.”

5. Abu Hurairah Radhiallahu Anhu

Diriwayatkan dari Sulaiman bin Muslim bin Jammaz, “Aku mendengar Abu Ja’far berkata kepada kami tentang bacaan Abu Hurairah radhiallahu anhu pada ayat,

“Apabila matahari digulung.” (Qs At-Takwiir:1)

Beliau sangat tersayat hatinya ketika mendengar ayat tersebut, hingga terkadang menangis dengan ratapan.

6. Abdullah bin Rawahah Radhiallahu Anhu

Diriwayatkan dari Qais bin Abu Hazim, ia berkata, “Abdullah bin Rawahah menangis, lalu istrinya ikut menangis. Lalu dia bertanya kepada istrinya, ‘Apa yang membuatmu menangis?’ Istrinya menjawab, ‘Aku melihatmu menangis maka aku pun ikut menangis.’ Dia kemudian berkata, ‘Aku teringat dengan ayat ini,

“Dan tidak ada seorang pun daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu.” (Qs Maryam: 71).

Aku tahu bahwa aku pasti akan memasuki neraka, tetapi aku tidak tahu apakah aku akan selamat dari neraka.’”

7. Abdullah bin Umar Radhiallahu Anhu

Diriwayatkan dari Qasim bin Abu Bazzah, ia berkata, “Aku diberitahu oleh orang yang mendengar Ibnu Umar radhiallahu anhu membaca ayat,

‘Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?’ (Qs. Al Muthaffifiin: 1-6)

Ibnu Umar lalu menangis hingga tersungkur, dan setelah itu ia enggan untuk membaca ayat tersebut.”

8. Ibnu Abbas Radhiallahu Anhu

Diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Mulaikah, dia berkata, “Aku menemani Ibnu Abbas radhiallahu anhu dari Mekah ke Madinah. Jika singgah di suatu tempat maka dia selalu bangun pada separuh malam.” Lalu Ayyub bertanya kepadanya, “Bagaimana bacaannya?” Abdullah menjawab,”Dia membaca,

‘Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya.’ (Qs. Qaaf: 19)

Dia membacanya dengan tartil dan sering menangis terisak-isak.

9. Umar bin Abdul Aziz

Diriwayatkan dari Ibnu Abi Dzaib, ia berkata, “Aku diberitahu oleh seseorang yang sempat menyaksikan Umar bin Abdul Aziz sebagai gubernur Madinah, bahwa seorang laki-laki membacakan ayat ini kepadanya,

‘Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu, mereka disana mengharapkan kebinasaan. (Qs. Al-Furqaan: 13)

Lalu Umar bin Abdul Aziz menangis hingga tidak dapat mengendalikan tangisnya dan isakannya pun menjadi keras. Lalu dia berdiri dari tempat duduknya dan masuk ke rumah.”

10. Hasan Al-Bashri

Diriwayatkan dari Salam bin Abu Muthi’, ia berkata, “Hasan diberi segelas air untuk berbuka puasa. Ketika dia mendekatkan air itu ke mulutnya, dia menangis dan berkata, ‘Aku ingat harapan besar dari para penghuni neraka dan ucapan mereka, “Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadamu.’ Aku pun teringat jawabannya kepada mereka,
‘Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir.” (QS Al-A’raaf: 50)

11. Abu Hanifah

Muhammad bin sama’ah meriwayatkan dari Muhammad bin Hasan, dari Qasim bin Ma’an, bahwa Abu Hanifah bangun malam sambil mengulang-ulang firman Allah subhanahu wa ta’ala,

“Sebenarnya hari Kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” (Qs. Al-Qomar: 46).

Dia menangis dan tadharru’ (merendahkan diri) hingga Subuh.

Demikianlah kisah pribadi-pribadi itu, yang mencerminkan kondisi jiwa mereka yang takut akan kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala, kisah yang merupakan cerminan dari kejujuran hati yang dipenuhi cahaya keimanan. Semoga kita bisa menjadikannya sebagai teladan.

Referensi:
Muhammad Syauman bin Ahmad ar-Ramali, Tangisan Salaf Ketika Membaca dan Mendengarkan Al-Qur’an, Pustaka Azzam, Oktober 2004

***
Sumber: http://jilbab.or.id/

Menangis Karena Takut kepada Allah

Menangis Hanya Karena Allah
Sufyan berkata: “Menangis itu ada 10 macam, yakni 9 karena selain Allah dan satu karena Allah. Bila menangis karena Allah itu datang sekali dalam setahun, maka itu sudah terbilang banyak.” [Hilyatul Auliya' 7/11]

Anjuran Menangis Karena Allah
Qasamah bin Zuhair berkata, “Abu Musa pernah berkhotbah di kota Bashrah. Ia berkata, “Wahai manusia, menangislah. Jika kalian tidak bisa menangis, maka berusahalah untuk menangis. Karena penghuni Neraka akan menangis dengan mengeluarkan air mata sampai habis. Kemudian mereka akan menangis dengan mengeluarkan air mata darah. Bahkan seandainya di situ dilepaskan beberapa perahu, pastilah akan bisa berjalan.” [Hilyatul Auliya' 1/261] 

Keutamaan Menangis Karena Allah
Ka’bul Ahbar berkata, “Sungguh, aku lebih suka menangis karena Allah, lalu air mataku mengalir diatas pipiku, daripada bersedekah dengan emas seberat timbanganku.” [Hilyatul Auliya' 5/366]

Buah Dari Menangis Karena Allah
Wuhaib bin Ward berkata, “Yahya bin Zakariya ‘alaihis salam memiliki dua garis dipipinya akibat menangis.” Kemudian ayahnya, Zakariya ‘alaihis salam berkata, “Sungguh, aku hanya meminta kepada Allah seorang anak yang bisa menjadi penyejuk mataku.” Yahya ‘alaihis salam berkata, “Ayah, sesungguhnya Jibril ‘alaihis salam memberitahuku bahwa diantara Surga dan Neraka ada sebuah gurun yang hanya bisa dilalui oleh orang yang rajin menangis.” [Hilyatul Auliya' 8/149]

Macam-Macam Tangisan
Yazid bin Maisaroh berkata, “Tangisan itu berasal dari tujuh hal: gembira, sedih, cemas, sakit, riya’, syukur, dan tangisan karena takut kepada Allah. Inilah tangisan yang tetesan air matanya bisa memadamkan api sebesat gunung.” [Hilyatul Auliya' 5/235]

Cara Mengundang Tangisan
Shalih al-Murri berkata, “Tangisan itu bisa diundang dengan cara memikirkan dosa, jika direspons positif oleh hati. Jika tidak, maka alihkan kepada kengerian dan kedahsyatan hari Kiamat, jika direspons positif. Jika tidak, maka tawarkanlah kepadanya untuk berguling-guling di antara nampan-nampan api (Neraka).” Kemudian ia pun menangis dan pingsan. Dan orang-orang pun berteriak histeris. [Hilyatul Auliya' 6/167]

Orang-Orang Shalih Terdahulu Yang Menangis Karena Takut Kepada Allah

1. Abdussalam (mantan budak Maslamah bin Abdul Malik) berkata, “Umar bin Abdul Aziz pernah menangis, lalu Fathimah ikut menangis. Namun mereka tidak tahu apa yang membuat mereka menangis. Ketika mereka selesai menangis, Fathimah bertanya, “Ya Amirul Mukminin, mengapa anda menangis?” Umar menjawab, “Fathimah, aku teringat hari dimana manusia dipisahkan dari hadapan Allah; satu kelompok di dalam Surga dan kelompok lainnya di dalam Neraka.” Kemudian ia berteriak dan pingsan. [Hilyatul Auliya' 5/269]

2. Apabila Umar bin Abdul Aziz mendengar pembicaraan tentang kematian, maka tubuhnya menggelepar seperti burung dan menangis sampai air matanya mengalir di jenggotnya.” [Hilyatul Auliya' 3/316]

3. Hani’ (mantan budak Utsman bin Affan) berkata, “Apabila Utsman bin Affan berdiri di atas kuburan, ia menangis hingga jenggotnya basa oleh air mata.” [Hilyatul Auliya' 1/61]

4. Malik bin Anas berkata, “Muhammad bin Munkadir adalah penghulu para pembaca. Hampir setiap kali ada orang yang bertanya kepadanya tentang hadits, ia selalu menangis.” [Hilyatul Auliya' 2/147]

5. Abu Ayyub al-A’raj berkata, “Sa’id bin Jubair selalu menangis di malang hari sampai rabun.” [Hilyatul Auliya' 4/272]

6. Sa’id bin Jubair berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih perhatian terhadap kemuliaan Baitullah ini daripada orang Bashrah. Pada suatu malam aku pernah melihat seorang wanita muda bergelayutan pada tirai Ka’bah. Ia memanjarkan doa, menangis dan menghiba sampai meninggal dunia.” [Hilyatul Auliya' 4/276]

7. Ali bin Abdillah berkata, Kami pernah bersama Yahya bin Sa’id al-Qaththan. Ketika ia keluar dari masjid, kami pun keluar bersamanya. Tatkala tiba di pintu rumahnya ia berdiri, dan kami pun berdiri. Lalu ia berkata kepada seorang pria, “Bacalah!” Pria itu pun membaca surat ad-Dukhan. Ketika ia mulai membaca aku melihat Yahya bin Sa’id berubah, hingga ketika sampai pada ayat,
Sesungguhnya hari keputusan itu adalah waktu yang dijanjikan bagi mereka semuanya.” [QS.ad Dukhan:40] Tiba-tiba Yahya menjerit dan pingsan. Ia baru siuman setelah sekian lama. Kemudian kami menemuinya. Ternyata ia tengah tertidur di atas pembaringannya serayas membaca, “Sesungguhnya hari keputusan itu adalah waktu yang dijanjikan bagi mereka semuanya.” [QS.ad Dukhan:40]. Maka keadaan itu terus berlangsung sampai ia meninggal dunia. [Hilyatul Auliya' 8/383]
___________________
Sumber: Disalin dari 1000 Hikmah Ulama Salaf, Bab.Menangis Karena Allah, Hal. 335 dst, Penerbit Elba.
https://alqiyamah.wordpress.com/

Minggu, 22 April 2012

Setelah Ini Anda Masih Malas Untuk Berdoa?


بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعينو أما بعد:

Sebagian manusia terlalu sombong, tidak mau berdoa, seakan ia bisa menghasilkan sesuatu tanpa pertolongan dari Allah Ta’ala.

Sebagian manusia terlalu sombong, tidak mau berdoa, seakan ia bisa beribadah tanpa pertolongan dari Allah Ta’ala.

Sebagian manusia terlalu sombong, jarang berdoa, seakan kekuatan manusiawinya lah yang dapat mewujudkan seluruh asa dia tanpa pertolongan dari Allah Ta’ala.

Coba perhatikan hal-hal berikut, niscaya kita akan semangat selalu berdoa kepada Allah Ta’ala atas keperluan dunia dan akhirat kita.

Seorang yang tidak berdoa adalah orang sombong

{وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ} [غافر: 60]

Artinya: “Dan Rabbmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (Al Mukmin: 60).

Berkata Asy Syaukani rahimahullah:

فأفاد ذلك أن الدعاء عبادة وأن ترك دعاء الرب سبحانه استكبار ولا اقبح من هذا الاستكبار وكيف يستكبر العبد عن دعاء من هو خالق له ورازقه وموجده من العدم وخالق العالم كله ورازقه ومحييه ومميتة ومثيبة ومعاقبة فلا شك أن هذا الاستكبار طرف من الجنون وشعبة من كفران النعم.

Artinya: “Ayat ini memberikan faedah bahwa doa adalah ibadah dan bahwa menginggalkan berdoa kepada Rabb yang Maha Suci adalah sebuah kesombongan, dan tidak ada kesombongan yang lebih buruk daripada kesombongan seperti ini, bagaimana seorang hamba berlaku sombong tidak berdoa kepada Dzat yang merupakan Penciptnya, Pemberi rezeki kepadanya, Yang mengadakannya dari tidak ada dan pencipta alam semesta seluruhnya, pemberi rezekinya, Yang Menghidupkan, Mematikan, Yang Memberikan ganjarannya dan yang memberikan sangsinya, maka tidak diragukan bahwa kesombongan ini adalah bagian dari kegilaan dan kekufuran terhadap nikmat Allah Ta’ala. (Lihat kitab Tuhfat Adz Dzakirin, karya Asy Syaukani.)


Seorang yang berdoa adalah orang yang paling dimuliakan oleh Allah ta’ala

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لَيْسَ شَىْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى مِنَ الدُّعَاءِ»

Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada sesuatu yang paling mulia di sisi Allah dibandingkan doa.” (HR. At Tirmidzi).

Para ulama mengatakan kenapa doa sesuatu yang paling mulia di sisi Allah Ta’ala dibandingkan yang lainnya: “Karena di dalam doa terdapat bentuk sikap perendahan diri seorang hamba kepada Allah dan menunjukkan kuasanya Allah Ta’ala.”
 
Allah Ta’ala sangat, sangat, sangat menyukai hamba-Nya merendah diri kepada-Nya dan menunjukkan bahwa hanya Allah Ta’ala satu-satu-Nya Yang Berkuasa, Yang Maha Pengatur, yang Maha Pencipta, tiada sekutu bagi-Nya.

Dengan doa kita melawan, menahan, meringkan bala dan musibah

عن عائشة رضي الله عنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا يغني حذر من قدر و الدعاء ينفع مما نزل ومما لم ينزل وإن البلاء لينزل فيتلقاه الدعاء فيعتلجان إلى يوم القيامة.

Artinya: “Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ”Sikap kehati-hatian tidak menahan dari takdir, dan doa bermanfaat dari apa yang terjadi (turun) ataupun yang belum terjadi (turun) dan sesungguhnya bala benar-benar akan turun lalu dihadang oleh doa, mereka berdua saling dorong mendorong sampai hari kiamat.” (HR. Al Hakim dan dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 7739).

Seorang yang berdoa tidak pernah rugi

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنُْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا ». قَالُوا إِذاً نُكْثِرُ. قَالَ «اللَّهُ أَكْثَرُ»

Artinya: “Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Tidak ada seorangpun yang berdoa dengan sebuah dosa yang tidak ada dosa di dalamnya dan memuutuskan silaturrahim, melainkan Allah akan mengabulkan salah satu dari tiga perkara, baik dengan disegerakan baginya (pengabulan doanya) di dunia atau dengan disimpan baginya (pengabulan doanya) di akhirat atau dengan dijauhkan dari keburukan semisalnya”, para shahabat berkata: “Wahai Rasulullah, kalau begitu kami akan memperbanyak doa?” Beliau menjawab: “Allah lebih banyak (pengabulan doanya)” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib, no. 1633).

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelasakan tentang ajaibnya doa

«وكذلك الدعاء فإنه من أقوى الأسباب في دفع المكروه وحصول المطلوب، ولكن قد يختلف عنه أثره إما لضعفه في نفسه بأن يكون دعاءً لا يحبه الله لما فيه من العدوان، فيكون بمنزلة القوس الرخو جدًا فإن السهم يخرج منه خروجًا ضعيفًا، وإما لحصول المانع من الإجابة: من أكل الحرام والظلم ورين الذنوب على القلوب واستيلاء الغفلة والشهوة واللهو وغلبتها عليه كما في مستدرك الحاكم من حديث أبي هريرة عن النبي - صلى الله عليه وسلم - قال: «ادعو الله، وأنتم موقنون بالإجابة، واعلموا أن الله لا يقبل دعاءً من قلب لاهٍ» فهذا دواء نافع مزيل للداء ولكنْ غفلةُ القلب عن الله تبطل قوته وكذلك أكل الحرام يبطل قوتها ويضعفها ... قال أبو ذر: يكفي من الدعاء مع البر ما يكفي الطعام من الملح».

Artinya: “Dan demikian pula doa, sesungguhnya ia adalah salah satu sebab yang paling kuat menahan keburukan, mewujudkan permintaan, akan tetapi berbeda pengaruh doanya, baik karena lemahnya pada doa tersebut yaitu doanya merupakan sesuatu yang tidak dicintai Allah karena di dalamnya terdapat permusuhan, maka doanya seperti busur yang tipis sekali, maka anak panah keluar darinya sangat lemah, atau karena terdapat yang menahan dari pengabulan doa, seperti; makan harta yang haram, perbuatan zhalim, dosa-dosa yang menutupi hati, terlalu lalai, penuh hawa nafsu dan kelalaian. Sebagaimana yang di sebutkan di alam kitab Al Muastdarak karya Al Hakim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:“Berdoalah kepada Allah dalam keadaan kalian yakin dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak menerima sebuah doa dari hati yang lalai,” maka (doa seperti) ini adalah doa yang bemanfaat, menghilangkan penyakit akan tetapi lalainya hati terhadap Allah membatalkan kekuatannya dan begitu juga memakan yang haram membatalkan kekuatannya dan mengguranginya… Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Cukup doa disertai dengan amalan yang baik sebagaimana makanan disertai dengan garam.”

Beliau juga berkata:

«والدعاء من أنفع الأدوية، وهو عدو البلاء يدفعه ويعالجه ويمنع نزوله ويرفعه أن يخففه إذا نزل، وهو سلاح المؤمن. وله مع البلاء ثلاث مقامات: أحدهما: أن يكون أقوى من البلاء فيدفعه, الثاني: أن يكون أضعف من البلاء فيقوى عليه البلاءُ فيصاب به العبد ولكن قد يخففه وإن كان ضعيفًا, الثالث: أن يتقاوما ويمنع كل واحد منهما صاحبه».

Artinya: “Dan doa termasuk obat yang paling manjur, ia adalah musuhnya bala, melawannya, melarang turunya dan mengangkat dan meringankannya jika ia turun, dan ia adalah senjatanya orang beriman. Doa berhadapan dengan bala tiga keadaan;
  1. Doanya lebih kuat daripada bala maka ia menolaknya.
  2. Doanya lebih lemah daripada bala, maka akhirnya bala yang menang, dan mengenani hamba akan tetapi terkadang meringankannya jika ia lemah.
  3. Doa dan bala’ saling berlawanan dan manahan setiap salah satu dari keduanya.”
(Lihat kitab Al Jawab  Al Kafi, karya Ibnul Qayyim rahimahullah).

*) Ditulis oleh Ahmad Zainuddin, Kamis, 7 Jumadal Ula 1433 H, Lombok Indonesia
http://dakwahsunnah.com/

Hukum Ucapan ‘Ya Muhammad!’

Tanya:
Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya mengenai ucapan sebagian orang, “Ya Muhammad! Ya Ali! Ya Jailani!” ketika mendapatkan suatu musibah. Apa hukumnya?

Jawab:
Bila yang dimaksud penanya adalah berdoa dan meminta pertolongan kepada mereka yang disebut namanya ini, maka pelakunya telah berbuat kesyirikan besar yang mengeluarkannya dari agama. Dan jika demikian, maka dia wajib bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dan berdoa hanya kepada-Nya semata. Sebagaimana pada firman-Nya:

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ مَعَ اللَّهِ
”Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada sembahan (yang lain)?” (QS. An-Naml: 62)

Selain dia adalah seorang musyrik, dia juga merupakan orang yang bodoh lagi menyia-nyiakan dirinya sendiri. Sebagaimana yang tersebut dalam firman Allah lainnya:

وَمَنْ يَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلَّا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ
“Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri.” (QS. Al-Baqarah: 130)

Dan juga firman-Nya:
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka?” (QS. Al-Ahqaf: 5)

(Fatawa Al-Aqidah Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin hal. 394-395)
[Diterjemahkan via Al-Fatawa Asy-Syar'iyah fi Al-Masa`il Al-Ashriyah hal. 58]

Sumber: http://al-atsariyyah.com/

Dzikir Asmaul Husna

Tanya: Assalamualaikum ustadz, saya selalu mengunjungi blog antum dan banyak mendapatkan ilmu dari ustadz, jazakalloh khoiron katsiro. saya mo tanya disalah satu dinding facebook,saya membaca bahwa kalo membaca As Salaam = Yg memberi keselamatan.

Khasiatnya : klo kita membaca "YAA SALAAM" setiap hari sebanyak 136 kali, maka insya allah penyakit yg kita derita dalam tubuh kita dapat sembuh.

Al Maliku = Yg Merajai.
Khasiatnya, apabila kita membaca "YAA MALIIK" setiap pagi atau setelah matahari tergelincir sebanyak 121 kali, maka insya allah pada satu ketika kita akan menjadi kaya dengan izin allah Ta'ala. Namun kitapun harus tetap rajin bekerja dan berusaha mencari rezeki, tidak berarti hanya berdo'a saja tanpa usaha.

apakah ada dalilnya mengamalkan asmaul husna?.bolehkah saya mengutip penjelasan ustadz di facebook saya untuk menyampaikanya ke teman saya? (Abdullah) 

Jawab:
Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuhu. 


Seorang muslim tidak boleh menetapkan sesuatu amalan dan fadhilah (keutamaan) kecuali dengan dalil yang shahih dan pemahaman yang benar. 


Dan pendapat yang mengatakan bahwa setiap nama dari Asmaul Husna memiliki keutamaan khusus adalah pendapat yang tidak ada dalilnya dan termasuk mengada-ada di dalam agama. Demikian pula mengulang-ulang sebuah nama diantara Asmaul Husna juga tidak ada dalilnya. 


Berkata Syeikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafidhahullahu berkata ketika menyebutkan beberapa kesalahan yang terjadi dalam pengamalan asmaul husna: 



فمن ذلكم نشرة توزع في الآونة الأخيرة درجت بين العوام والجهال، يزعم كاتبها أن أسماء الله الحسنى لكل اسم منها خاصية شفائية لمرض معين، فلأمراض العين اسم، ولأمراض الأذن اسم، ولأمراض العظام اسم، ولأمراض الرأس اسم، وهكذا، وحدد لتلك الأمراض أعدادا معينة من تلك الأسماء.

وهذا من الباطل الذي ما أنزل الله به من سلطان، ولا قامت عليه حجة ولا برهان، بل ليس في الأذكار المشروعة والرقى المأثورة إلا ما هو جملة تامة، وليس فيها تكرار لاسم بهذه الطريفة المزعومة في تلك النشرة، وقد ارتكب بهذا العمل جنايتين:

الأولى: إدخال الناس في هذا العمل المحدث غير المشروع

الثانية: شغل الناس عن الأذكار المأثورة والرقى المشروعة في الكتاب والسنة

"Diantara (kesalahan-kesalahan tersebut) selebaran yang dibagikan akhir-akhir ini diantara orang awam dan orang-orang yang tidak tahu, penulisnya menyangka bahwa setiap nama diantara nama-nama Allah yang husna keutamaan penyembuhan untuk penyakit tertentu, ada nama khusus untuk penyakit-penyakit mata, ada nama khusus untuk penyakit-penyakit telinga, ada nama khusus untuk penyakit-penyakit tulang, ada nama khusus untuk penyakit-penyakit kepala, dan seterusnya, dengan menentukan untuk setiap penyakit beberapa nama-nama Allah. 

Ini semua adalah kebathilan yang Allah tidak menurunkan dalil tentangnya, tidak berdasarkan hujjah dan keterangan yang jelas, bahkan yang ada di dalam dzikir-dzikir yang disyariatkan dan ruqyah-ruqyah yang ada dalilnya adalah kalimat yang sempurna, dan tidak ada mengulang-ulang nama, sebagaimana dalam selebaran tersebut. 


Penulis tersebut dengan amalan ini telah melanggar 2 perkara:
Pertama : Memasukkan manusia di dalam amalan baru yang tidak disyariatkan ini
Kedua : Memalingkan manusia dari dzikir-dzikir dan ruqyah-ruqyah yang disyari'atkan di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. (Fiqh Al-Asmaul Husna hal: 66-67). 


Cara yang benar adalah berdoa kepada Allah dengan Asmaul Husna dan berdoa dengan nama Allah yang sesuai dengan keadaannya. Allah ta'ala berfirman: 



وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ) (الأعراف:180) )

Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (QS. 7:180)
 
Misalnya:
Ya Syafi, isyfini (Wahai Yang Maha Penyembuh, sembuhkanlah aku)
Ya Rahman, irhamni (Wahai Yang Maha Penyayang, sayangilah aku)
Ya Razzaq, urzuqni (Wahai Yang Maha Pemberi rezeki, berilah aku rezeki )

Kemudian hendaknya mengambil sebab untuk mewujudkan apa yang dia minta seperti bekerja, berobat dll, dan menyerahkan hasilnya kepada Allah semata.
Wallahu a'lam. 


Sumber: http://tanyajawabagamaislam.blogspot.com/

Aqiqah Anak Yang Sudah Meninggal

Tanya: Bagaimana hukumnya mengaqiqahkan anak yang sudah wafat? Apakah kewajiban orang tua belum gugur? Mohon dijawab terima kasih. Wassalamualaikum. (Ardiansyah Permadi) 

Jawab:
Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuhu. Alhamdulillah washshalatu wassalamu 'alaa rasulillah. 


Aqiqah termasuk sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang dianjurkan. Berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak, diantaranya dari Samuroh bin Jundub radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda;


كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى
Artinya: "Setiap bayi tergadaikan dengan aqiqahnya. Disembelihkan kambing pada hari ke-7, dicukur rambutnya serta diberi nama" (HR.Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’iy, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Abdul Haq, lihat at-Talkhis 4/1498 oleh Ibnu Hajar)

Maksud tergadaikan di sini adalah tertahan dari suatu kebaikan yang seharusnya diperoleh jika ia diaqiqahi. Karena seorang bisa kehilangan memperoleh kebaikan karena perbuatannya sendiri atau karena perbuatan orang lain. (Lihat Tuhfatul Maudud,Ibnul Qayyim hal.122-123, tahqiq: Syeikh Salim al-Hilali)


Berdasarkan perintah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits diatas maka tidak selayaknya meninggalkan aqiqah jika mampu. Bahkan kebiasaan para salaf mereka senantiasa melaksanakan aqiqah untuk anak-anak mereka. 

Yahya al-Anshori rahimahullahu mengatakan: “Aku menjumpai manusia dan mereka tidak meninggalkan aqiqah dari anak laki-laki maupun perempuan”. (Al-Fath ar-Robbani, Ibnul Mundzir 13/124, lihat Ahkam al-Maulud hal.51, Salim bin Ali Rosyid as-Sibli dan Muhammad Kholifah Muhammad Robah)


Berhubungan dengan mengaqiqahi orang yang sudah meninggal maka tidak lepas dari tiga keadaan;


Pertama: Orang tua mengaqiqahi anak yang telah meninggal. Jika anak tersebut meninggal ketika sudah terlahir ke dunia, tetap disyariatkan untuk diaqiqahi.


Dan jika meninggalnya masih dalam kandungan dan sudah berusia 4 bulan maka disyariatkan aqiqah, jika kurang dari 4 bulan maka tidak disyariatkan. 


Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu mengatakan: “Apabila janin itu keguguran setelah ditiupkannya ruh maka janin tersebut dimandikan, dikafani, disholati dan dikubur di pekuburan kaum muslimin, serta diberi nama dan diaqiqahi. Karena dia sekarang telah menjadi seorang manusia, maka berlaku pula baginya hukum orang dewasa”. (Syarah al-Arba’in an-Nawawiyyah hal.90, Ibnu Utsaimin)


Kedua: Anak mengaqiqahi orang tua yang sudah meninggal. Hukumnya tidak disyariatkan, karena perintah aqiqah ditujukan kepada orang tua bukan kepada anak.


Ketiga: Mengaqiqahi seorang manusia yang telah meninggal. Jika ada seseorang yang meninggal dan dia semasa hidupnya belum diaqiqahi, maka tidak disyariatkan bagi ahli warisnya untuk mengaqiqahinya. Allohu A’lam. 


(Faedah ini kami dapat dari Syaikhuna Saami bin Muhammad as-Shuqair, murid senior dan menantu Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin, Jazaahullohu Khoiron).
_______________
Sumber:  http://tanyajawabagamaislam.blogspot.com/

Untaian Faedah Surat al-Fatihah

Faidah Dari Ayat Pertama

al-Hamdu lillahi Rabbil 'alamin
Artinya: Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam

  1. Ayat ini menunjukkan bahwa yang berhak mendapatkan segala bentuk pujian hanyalah Allah ta'ala karena Dia lah yang memiliki segala kebaikan yang sempurna dan berbuat ihsan/kebaikan secara menyeluruh (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 26)
  2. Ibnu Abbas radhiyallahu'anhuma mengatakan, “al-Hamdu lillah adalah ucapan setiap orang yang bersyukur.” Abu Nashr al-Jauhari mengatakan, “al-Hamdu/pujian adalah lawan dari celaan.” (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [1/29])
  3. Ucapan al-Hamdu lillah adalah doa yang paling utama. Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Seutama-utama dzikir adalah laa ilaha illallah, sedangkan seutama-utama doa adalah al-Hamdu lillah.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab ad-Da'awat [3383], dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani, lihat juga al-Mustadrak [1886], al-Hakim berkata, “Hadits ini sanadnya sahih dan tidak dikeluarkan Bukhari dan Muslim.” Syaikh Muqbil mengatakan, “Tidak, Musa bin Ibrahim -salah satu periwayat- dikomentari adz-Dzahabi dalam al-Mizan bahwa dia 'shalih'. Padahal perawi yang dikatakan 'shalih' haditsnya tidak bisa terangkat ke derajat hasan.” lihat al-Mustadrak [1/682])
  4. Allah memuji diri-Nya sendiri, yang di dalamnya tersirat perintah kepada hamba-hamba-Nya untuk memuji-Nya (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 9, Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [1/29])
  5. Penetapan pujian kepada Allah dari segala sisi atas kesempurnaan sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya (Taisir al-Karim ar-Rahman, lihat al-Majmu'ah al-Kamilah [1/34])
  6. Ayat ini menunjukkan bahwa keberadaan makhluk-makhluk adalah bukti keberadaan Allah Dzat yang telah menciptakannya (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 27)
  7. Ayat ini juga mengandung bantahan bagi kaum Jahmiyah yang menolak sifat-sifat Allah (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 55)
  8. Ayat ini juga mengandung bantahan bagi kaum Jabriyah yang beranggapan bahwa Allah memaksa hamba-hamba-Nya dan tidak memberikan pilihan sama sekali bagi mereka di dalam hidupnya (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 55)
  9. Penetapan bahwasanya hanya Allah ta'ala yang berhak mendapatkan pujian yang sempurna karena imbuhan al dalam kata al-Hamdu menunjukkan makna mencakup keseluruhan bagiannya (lihat Tafsir Juz 'Amma, hal. 9)
  10. Pengenalan tentang sosok yang patut untuk disembah; yaitu Allah subhanahu wa ta'ala melalui tiga nama Allah yang itu menjadi poros asma'ul husna, yaitu Allah, ar-Rabb, dan ar-Rahman (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 7)
  11. Dalam segala kondisi Allah tetap berhak mendapatkan pujian. Oleh sebab itu apabila Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam merasakan sesuatu yang menyenangkan beliau maka beliau pun berdzikir, 'Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush shalihaat' artinya: “Segala puji bagi Allah yang dengan curahan nikmat-Nyalah maka segala kebaikan menjadi sempurna”. Demikian juga apabila beliau menjumpai keadaan yang sebaliknya (tidak menyenangkan) maka beliau berdzikir, 'Alhamdulillahi 'ala kulli haal' artinya: “Segala puji bagi Allah dalam kondisi apapun” (lihat Tafsir Juz 'Amma, hal. 9). Dari 'Aisyah radhiyallahu'anha, beliau menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasanya apabila melihat sesuatu yang membuat beliau senang maka beliau berkata, “Alhamdulillahilladzi bini'matihi tatimmush shalihat.” Dan apabila melihat sesuatu yang kurang beliau senangi maka beliau berkata, “Alhamdulillahi 'ala kulli haal.” (HR. Thabrani dalam ad-Du'a [1769] sanadnya dinyatakan hasan, lihat ad-Du'a li ath-Thabrani [3/1595-1596]. al-Hakim dalam al-Mustadrak [1892], beliau berkata, “Hadits ini sanadnya sahih dan tidak dikeluarkan Bukhari dan Muslim.” Syaikh Muqbil berkata, “Zuhair bin Muhammad -salah satu periwayat- apabila haditsnya diriwayatkan oleh orang-orang Syam maka riwayatnya adalah lemah. Sedangkan al-Walid bin Muslim -orang yang meriwayatkan darinya- adalah penduduk Syam.” lihat al-Mustadrak [1/684])
  12. Yang dimaksud pujian -al-Hamdu- di sini adalah sanjungan yang diiringi dengan rasa cinta dan pengagungan (lihat Tafsir Juz 'Amma Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 8, Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 7, adh-Dhau' al-Munir 'ala at-Tafsir [1/32])
  13. Allah senantiasa dipuji dikarenakan kesempurnaan dzat-Nya, keindahan nama-nama dan sifat-sifat-Nya serta keagungan perbuatan-perbuatan-Nya. Selain itu Allah juga dipuji karena anugerah nikmat yang dicurahkan oleh-Nya kepada seluruh makhluk-Nya (lihat Syarh Ba'dhu Fawa'id Surah al-Fatihah, hal. 12 dan Syarh Manzhumah Mimiyah, hal. 23).
  14. Allah juga terpuji karena ketetapan hukum-Nya, yaitu hukum kauni -hukum yang berlaku bagi semua ciptaan-Nya di dalam dunia ini- demikian juga hukum syar'i -yang berupa ketetapan hukum ilmiah dan amaliah bagi mukallaf/orang yang dibebani syari'at- begitu pula dalam hal hukum ukhrawi yang ditetapkan oleh-Nya berupa balasan dan hukuman bagi hamba-Nya di alam akherat (lihat Jam'ul Mahshul fi Syarh Risalah Ibnu Sa'di fi al-Ushul, hal. 13-14)
  15. Pujian (al-Hamd) berbeda dengan syukur. Karena pujian itu diberikan sebagai tanggapan atas sifat-sifat muta'addiyah (yang memiliki pengaruh terhadap objek) maupun sifat-sifat lazimah (yang hanya melekat pada yang disifati, tidak mempengaruhi objek). Adapun syukur diberikan sebagai tanggapan atas sifat-sifat muta'addiyah semata. Selain itu pujian diwujudkan melalui ucapan saja, sedangkan syukur diwujudkan dalam bentuk keyakinan hati, ucapan, dan amal anggota badan (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 8, Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [1/29])
  16. Iman terhadap nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya (Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana tercantum dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/33])
  17. Penetapan tauhid asma' wa shifat (Taisir al-Karim ar-Rahman, lihat al-Majmu'ah al-Kamilah [1/37])
  18. Penetapan Allah sebagai satu-satunya yang berhak untuk diibadahi (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana tercantum dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/33,37]). Allah mendahulukan sifat uluhiyah -yang terkandung dalam kata Allah- daripada sifat rububiyah -yang terkandung dalam kata Rabb-, hal ini dimungkinkan karena 2 alasan: Pertama, karena kata Allah itu adalah nama khusus bagi-Nya yang disifati oleh Asma'ul Husna yang lain sehingga dikedepankan. Atau yang kedua, karena orang-orang yang didakwahi oleh para rasul adalah golongan orang-orang yang menolak keesaan Allah dalam hal uluhiyah-Nya, artinya mereka membagi-bagi ibadah mereka tidak hanya untuk Allah tapi juga untuk selain-Nya (lihat Tafsir Juz 'Amma, hal. 9). Karena Allah satu-satunya pemelihara seluruh alam semesta ini maka hanya Allah pula yang berhak untuk diibadahi, tidak ada yang menerima ibadah selain Allah (lihat Risalah Tsalatsat al-Ushul dalam Majmu'ah at-Tauhid, hal. 20)
  19. Penetapan tauhid rububiyah (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana tercantum dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/37], Syarh Ba'dhu Fawa'id Surah al-Fatihah, hal. 8). Rububiyah Allah mencakup semua makhluk (lihat Tafsir Juz 'Amma, hal. 9). Ayat ini -al-Hamdu lillahi Rabbil 'alamin- menunjukkan keesaan Allah dalam hal rububiyah-Nya (lihat Syarh Ba'dhu Fawa'id Surah al-Fatihah, hal. 8). Rububiyah Allah itu mencakup tiga hal pokok, yaitu: mencipta, menguasai, dan mengatur alam semesta (lihat Tafsir Juz 'Amma, hal. 9). Tauhid rububiyah merupakan landasan dan dalil untuk menundukkan orang-orang yang menentang tauhid uluhiyah (lihat adh-Dhau' al-Munir [1/36])
  20. Rabb adalah Dzat yang mentarbiyah hamba-hamba-Nya. Dia lah yang menciptakan mereka dan kemudian menunjuki mereka kepada kemasalahatan dirinya. Selain itu, Rabb juga bermakna yang menguasai dan mengatur serta memperbaiki keadaan (lihat adh-Dhau' al-Munir [1/24], Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [1/31])
  21. Bantahan bagi kaum atheis yang mengingkari adanya pengatur alam semesta ini (lihat Syarh Ba'dhu Fawa'id Surah al-Fatihah, hal. 9, Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 27)
  22. Allah telah menanamkan fitrah di dalam hati umat manusia untuk meyakini keberadaan Allah Yang menciptakan dan mengatur alam semesta ini (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 28)
  23. Bantahan bagi paham wahdatul wujud -kesatuan antara Allah dengan makhluk- (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 51)
  24. Penetapan tarbiyah Allah kepada makhluk-Nya, baik yang bersifat umum -mencakup seluruh makhluk- maupun yang bersifat khusus -yang diberikan hanya kepada wali-wali-Nya- (Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana tercantum dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/34], lihat juga al-Qowa'id al-Hisan, sebagaimana dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [8/92])
  25. Penetapan nubuwwah (kenabian) dan kebutuhan umat manusia terhadapnya. Karena tidak mungkin Allah sebagai Rabbul 'alamin meninggalkan umat manusia dalam keadaan sia-sia; tidak menunjukkan kepada mereka apa yang bermanfaat dan apa yang membahayakan dirinya (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 7-8)
  26. Penetapan keesaan Allah dalam hal penciptaan alam semesta, pengaturan, dan pemberian nikmat, sekaligus menunjukkan betapa besarnya kebutuhan seluruh makhluk kepada-Nya (Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana tercantum dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/34])
  27. Ayat ini mengandung pilar ibadah yang sangat agung yaitu al-Mahabbah/rasa cinta. Karena Allah adalah al-Muhsin -yang melimpahkan segala kebaikan- dan Dia juga al-Mun'im -yang mencurahkan semua nikmat- maka sebagai konsekuensinya adalah hanya Allah yang layak dicintai dengan puncak kecintaan yang tertinggi dan tidak boleh ditandingi dengan kecintaan kepada apapun juga (lihat Syarh Ba'dhu Fawa'id Surah al-Fatihah, hal. 12)

Faidah Dari Ayat Kedua

ar-Rahmanir Rahim
Artinya: Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

  1. Penyebutan ar-Rahmanir Rahim setelah al-Hamdu lillahi Rabbil 'alamin adalah dalam rangka mengiringi tarhib (peringatan yang tersirat dari nama Rabb) dengan targhib (motivasi yang terkandung dalam nama ar-Rahman dan ar-Rahim) (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [1/32], at-Tas-hil li Ta'wil at-Tanzil, [1/44-45]). Ayat ini -sebagai kelanjutan dari ayat sebelumnya- menunjukkan bahwa rububiyah (kekuasaan dan pengaturan) Allah dilandasi dengan sifat kasih sayang yang sangat luas, bukan rububiyah yang dibangun di atas sifat suka menyiksa dan menghukum (lihat Tafsir Juz 'Amma, hal. 10)
  2. Penetapan sifat rahmat yang luas pada diri Allah, baik rahmat yang meliputi semua makhluk maupun rahmat yang hanya diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang bertakwa (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana tercantum dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/33])
  3. Nama Allah ar-Rahman juga mengandung makna suka memberikan kebaikan, bersifat dermawan, dan suka berbuat kebajikan (lihat al-Fawa'id, hal. 21)
  4. Selain mengandung penetapan kenabian dan kerasulan -sebagai konsekuensi rahmat Allah- maka nama ar-Rahman juga mengandung faidah penetapan mengenai diturunkannya kitab-kitab sebagai pembimbing perjalanan hidup umat manusia (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 8). Konsekuensi dari sifat rahmat ini adalah Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab untuk membimbing manusia demi kebahagiaan hidup mereka. Perhatian Allah untuk itu jelas lebih besar daripada sekedar perhatian Allah untuk menurunkan hujan, menumbuhkan tanam-tanaman dan biji-bijian di atas muka bumi ini. Siraman air hujan membuahkan kehidupan tubuh jasmani bagi manusia. Adapun wahyu yang dibawa oleh para rasul dan terkandung di dalam kitab-kitab merupakan sebab hidupnya hati mereka (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 8).
  5. Berangkat dari faidah di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa orang yang ingin mendapatkan rahmat Allah yang sempurna di dunia dan di akherat maka dia harus tunduk kepada syari'at Rasul yang diutus kepadanya. Sehingga pada jaman sekarang ini -setelah diutusnya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam- siapa saja yang ingin masuk surga dia harus tunduk kepada ajaran Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
  6. Mengimani sifat rahmat yang terkandung pada nama ar-Rahman dan ar-Rahim serta tidak menyelewengkan maknanya menjadi irodatul in'am/kehendak untuk memberikan nikmat sebagaimana yang dilakukan oleh kaum ahli bid'ah (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 15, Syarh 'Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama'ah, hal. 65)
  7. Nama ar-Rahman bermakna Allah pemilik rahmat yang maha luas mencakup seluruh makhluk di dunia dan bagi kaum beriman di akherat. Adapun nama ar-Rahim bermakna Allah pemilik rahmat bagi kaum beriman kelak pada hari kiamat (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 15)
  8. Di dalam ayat ar-Rahmanir Rahim terkandung salah satu pilar ubudiyah yaitu roja'/harapan. Dengan merenungkan ayat ini seorang hamba akan senantiasa mengharapkan rahmat Allah subhanahu wa ta'ala. Sebab apabila Allah itu adalah sosok yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, tentu saja kasih sayang-Nya adalah sangatlah diharapkan (lihat Syarh Ba'dhu Fawa'id Surah al-Fatihah, hal. 18)

Faidah Dari Ayat Ketiga

Maaliki Yaumid Diin
Artinya: Yang Menguasai Pada Hari Pembalasan

  1. Penyebutan Allah sebagai raja yang menguasai pada hari pembalasan tidaklah menafikan kekuasaan Allah di dunia, karena di awal surat al-Fatihah Allah telah menegaskan bahwa diri-Nya adalah Rabb seru sekalian alam; dan itu berlaku di dunia maupun di akherat. Penyebutan Allah sebagai raja dan penguasa pada hari kiamat adalah karena pada hari itu tidak ada lagi orang yang bisa mendakwakan kekuasaan, bahkan tak ada yang boleh berbicara kecuali dengan izin dari-Nya (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [1/33])
  2. Penetapan kekuasaan bagi Allah yang mengandung konsekuensi memerintah dan melarang, memberikan pahala dan menjatuhkan hukuman (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana tercantum dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/35])
  3. Penetapan tauhid asma' wa shifat (lihat Syarh Ba'dhu Fawa'id Surah al-Fatihah, hal. 8)
  4. Iman kepada hari akhir, kebangkitan setelah kematian, hisab, dan pembalasan amal (lihat Syarh Ba'dhu Fawa'id Surah al-Fatihah hal. 10, at-Tas-hil li Ta'wil at-Tanzil [1/45-46], Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 29)
  5. Penanaman rasa takut terhadap hari kiamat dan khawatir akan hukuman Allah (lihat Syarh Ba'dhu Fawa'id Surah al-Fatihah hal.18)
  6. Adanya pembalasan amalan dengan penuh keadilan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana tercantum dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/37])
  7. Adanya penegakan hujjah kepada umat manusia dengan diturunkannya kitab-kitab dan diutusnya para rasul (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 8,60)
  8. Pada hari kiamat nanti akan tampak secara jelas bagi semua makhluk tentang kebesaran kekuasaan Allah, kebijaksanaan dan keadilan-Nya sehingga tidak ada lagi sisa kekuasaan manusia yang ketika di dunia pernah dimiliki oleh para raja dan penguasa. Pada saat itu semua orang tunduk kepada kekuasaan-Nya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 39)
  9. Pada ayat pertama sampai ayat ketiga dalam surat ini secara berurutan terkandung penetapan pokok-pokok ibadah yaitu cinta (mahabbah), harapan (roja'), dan takut (khauf) (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 29)
  10. Ayat-ayat tersebut mengandung bantahan bagi orang-orang yang beribadah kepada Allah dengan modal rasa cinta semata (seperti halnya kaum Sufi), rasa harap semata (seperti halnya kaum Murji'ah), atau rasa takut semata (seperti halnya kaum Khawarij) (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 29) 

Faidah Dari Ayat Keempat

Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in
Artinya: Hanya Kepada-Mu Kami Beribadah dan Hanya Kepada-Mu Kami Meminta Pertolongan

  1. Penetapan tauhid uluhiyah; yaitu mengesakan Allah dalam beribadah serta mengikhlaskan agama (ketaatan) semata-mata untuk Allah (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/37,38]). Tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah ini merupakan pokok terbesar di dalam ajaran Islam (lihat al-Qowa'id al-Hisan, sebagaimana dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [8/158])
  2. Maksud ayat ini adalah “Kami tidak beribadah kecuali kepada-Mu, dan kami tidak bertawakal kecuali kepada-Mu.” Pada kedua hal inilah berporos seluruh ajaran agama. Dua kalimat inilah yang menjadi rahasia kemuliaan surat al-Fatihah dan intisari ajaran al-Qur'an (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 19, Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [1/34]) 
  3. Ayat Iyyaka na'budu bermakna; “Kami beribadah kepada-Mu dengan penuh rasa cinta, takut, dan harap”, sebab ibadah tidak akan terealisasi dengan benar kecuali dengan ketiganya (lihat Syarh Ba'dhu Fawa'id Surah al-Fatihah, hal. 21)
  4. Ayat Iyyaka na'budu mengandung bantahan bagi orang-orang musyrik; yang beribadah kepada selain Allah sebagai sekutu bagi Allah (lihat Syarh Ba'dhu Fawa'id Surah al-Fatihah, hal. 9)
  5. Ayat Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in mengandung pemurnian ibadah semata-mata kepada Allah. Dalam susunan ayat ini objeknya didahulukan (iyyaka). Padahal seharusnya ia terletak di belakang. Dalam bahasa arab susunan semacam ini menunjukkan pembatasan dan pengkhususan. Sehingga arti ayat ini adalah, “Kami tidak beribadah kecuali hanya kepada-Mu. Dan kami tidak memohon pertolongan kecuali kepada-Mu.” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/35])
  6. Kalimat Iyyaka na'budu berkaitan erat dengan nama 'Allah' yang telah disebutkan di awal surat ini, sedangkan kalimat Iyyaka nasta'in berkaitan erat dengan nama 'ar-Rabb' yang juga telah disebutkan sebelumnya (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 67). Hal itu disebabkan Iyyaka na'budu mengandung tauhid uluhiyah yang terkandung dalam nama Allah. Adapun Iyyaka nasta'in mengandung tauhid rububiyah yang terkandung dalam nama ar-Rabb.
  7. Ibadah memadukan dua perkara pokok; puncak rasa cinta dengan puncak perendahan diri dan ketundukan (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 65). Adapun isti'anah (memohon pertolongan kepada Allah) memadukan dua hal pokok yang lain, yaitu: tsiqah/kepercayaan kepada Allah dan bersandar kepada-Nya (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 66)    
  8. Penetapan adanya kenabian dan pengutusan para rasul. Karena umat manusia tidak mungkin bisa mengenal tata-cara beribadah secara terperinci kecuali dengan perantara penjelasan para rasul (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 9)
  9. Penyebutan ibadah sebelum isti'anah (meminta pertolongan) adalah dalam rangka menyebutkan sesuatu yang memiliki cakupan lebih luas daripada yang lebih sempit. Karena isti'anah merupakan bagian dari ibadah. Selain itu, hal ini juga dalam rangka mendahulukan hak Allah ta'ala (ibadah) di atas hak hamba (isti'anah) (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/35], lihat juga at-Tas-hil li Ta'wil at-Tanzil [1/54]). Ibnul Qayyim rahimahullah memaknakan bahwa didahulukannya ibadah sebelum isti'anah adalah karena ibadah merupakan tujuan (ghoyah) sedangkan isti'anah adalah sarananya. Oleh sebab itu tujuan lebih didahulukan penyebutannya sebelum sarana (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 66, Tafsir al-Qur'an al-Azhim [1/34]) 
  10. Iyyaka na'budu merupakan bagian milik Allah, sedangkan Iyyaka nasta'in merupakan jatah untuk hamba (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 65). Karena hanya Allah yang berhak disembah maka ibadah itu semuanya menjadi hak-Nya semata. Dan karena hamba itu penuh dengan kelemahan dan kekurangan maka dia berhak -sekaligus wajib atasnya- untuk meminta pertolongan kepada Allah ta'ala Rabb seluruh alam semesta. Allahu a'lam.
  11. Penyebutan isti'anah secara terpisah dari ibadah padahal ia merupakan bagian dari ibadah adalah dikarenakan begitu besarnya kebutuhan seorang hamba terhadapnya. Sebab tanpa pertolongan Allah dia tidak akan mampu untuk beribadah; apakah itu dalam melaksanakan perintah ataupun meninggalkan larangan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/36])    
  12. Tidaklah seorang menjadi hamba yang sejati kecuali apabila dia mengikhlaskan ibadahnya semata-mata untuk Allah dan berlepas diri dari peribadatan kepada segala sesembahan selain-Nya, meyakini kebatilannya, membenci perbuatan tersebut beserta pelakunya, dan memusuhinya karena Allah ta'ala (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 18)
  13. Inilah hakikat ajaran Islam yang benar; yaitu kepasrahan diri kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada Allah dengan penuh kepatuhan, serta berlepas diri dari syirik dan pelakunya (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 19)
  14. Semestinya seorang hamba bertawakal kepada Allah semata dalam menghadapi segala urusan agama maupun urusan dunianya (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 19)
  15. Sebuah realita yang sangat menyedihkan adalah banyak diantara kaum muslimin di masa kita sekarang ini yang telah mengucapkan Iyyaka na'budu wa Iyyaka nasta'in, akan tetapi di sisi lain mereka tidak memperhatikan kandungan maknanya sama sekali. Mereka tidak memurnikan ibadahnya kepada Allah semata. Mereka juga beribadah kepada selain-Nya. Seperti halnya orang-orang yang berdoa -padahal doa adalah intisari ibadah, pen- kepada Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, berdoa kepada Husain, kepada Abdul Qadir Jailani, Badawi, dan lain sebagainya. Ini semua termasuk perbuatan syirik akbar dan dosa yang tidak akan diampuni pelakunya apabila dia mati dalam keadaan belum bertaubat darinya (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 19-20) 
  16. Kalimat Iyyaka na'budu mengandung obat bagi penyakit riya' sedangkan kalimat Iyyaka nasta'in mengandung obat bagi penyakit sombong/kibr (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 48)
  17. Ayat ini juga mengandung bantahan yang jelas bagi paham wahdatul wujud -kesatuan antara Allah dengan makhluk- (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 51)
  18. Dalam kalimat Iyyaka nasta'in terkandung bantahan bagi kaum Qodariyah (penolak takdir). Mereka beranggapan bahwa segala perbuatan hamba terjadi dengan kehendak dirinya sendiri tanpa ada campur tangan kehendak Allah. Kalau memang demikian lantas apa gunanya memohon pertolongan kepada-Nya?! (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 54)
  19. Ayat ini juga mengandung bantahan bagi kaum Jabriyah yang beranggapan bahwa Allah memaksa hamba-hamba-Nya dan tidak memberikan pilihan sama sekali bagi mereka di dalam hidupnya. Sebab kalau seandainya hamba memang dipaksa dalam perbuatan-perbuatannya maka tidak dibenarkan baginya untuk mengucapkan “Kami beribadah” atau “Kami meminta pertolongan” (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 55)
  20. Mewujudkan kandungan Iyyaka na'budu wa Iyyaka nasta'in merupakan wasilah/sarana untuk bisa meraih kebahagiaan yang abadi dan jalan keselamatan dari berbagai keburukan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/36])
  21. Ayat ini menunjukkan bahwa ibadah seorang hamba tidaklah dianggap benar tanpa pengingkaran terhadap thoghut/sesembahan selain Allah (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 30)
  22. Ayat ini juga menunjukkan bahwa orang yang menunaikan sholat akan tetapi dia juga berdoa kepada selain Allah bukanlah seorang muslim, akan tetapi dia adalah musyrik (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 30)
  23. Ayat ini mengandung makna laa ilaha illallah yang mencakup penolakan segala sesembahan selain Allah (nafi dalam kata-kata laa ilaha) dan penetapan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar (itsbat dalam kata-kata illallah) (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 31)
  24. Ayat ini dan juga ayat sesudahnya menunjukkan bahwa ibadah tidak benar jika tidak memenuhi syarat ikhlas dan mutaba'ah/mengikuti tuntunan (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 31)
  25. Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang bertawakal kepada makhluk telah berbuat syirik dalam beribadah kepada Allah (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 31)

Faidah Dari Ayat Kelima

Ihdinash Shirathal Mustaqim
Artinya: Tunjukilah Kami Jalan Yang Lurus

  1. Doa ini -yaitu doa meminta hidayah- merupakan doa yang paling mencakup berbagai kebaikan. Doa yang paling bermanfaat bagi seorang hamba. Oleh sebab itulah setiap hamba wajib untuk berdoa dengannya dalam setiap raka'at sholat yang dilakukannya; karena sedemikian besar kebutuhan dirinya kepada hidayah -menuju dan di atas- jalan yang lurus (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/36])
  2. Penetapan kerasulan. Karena hidayah tidak akan mungkin tersampaikan kepada umat manusia kecuali melalui perantara dakwah para rasul (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 9, Syarh Ba'dhu Fawa'id Surah al-Fatihah, hal. 9)
  3. Besarnya kebutuhan hamba terhadap hidayah. Dia senantiasa membutuhkannya baik untuk hal-hal yang terkait dengan masa lalu, sekarang, maupun akan datang. Untuk masa lalu maka dia membutuhkan hidayah untuk bisa bermuhasabah atas seluruh amalan yang pernah dilakukannya dan kemudian bertaubat darinya jika itu adalah kesalahan dan bersyukur kepada Allah apabila yang dia lakukan sudah benar. Adapun masa sekarang maka dia membutuhkan hidayah untuk mengetahui apakah perbuatan yang sedang dilakukannya benar ataukah tidak. Untuk masa depan maka dia membutuhkan hidayah agar bisa berjalan di atas jalan yang benar dan tegar di atasnya (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 9, adh-Dhau' al-Munir [1/25-26], Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [1/37-38])
  4. Seorang hamba tidak akan bisa meraih kebahagiaan yang sejati kecuali dengan meniti jalan yang lurus, dan menunjukkan pula bahwa dia tidak akan bisa istiqomah di atasnya kecuali dengan hidayah dari Rabbnya. Sebagaimana pula dia tidak akan bisa beribadah kepada-Nya tanpa pertolongan dari-Nya (lihat adh-Dhau' al-Munir [1/27])
  5. Hidayah ada dua macam: Pertama; hidayah berupa penunjukan, arahan, dan keterangan. Lawan dari hidayah ini adalah kesesatan (dholal). Kedua; hidayah berupa taufik, ilham, dan keistiqomahan. Lawan dari hidayah ini adalah penyimpangan (ghoyyu) (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 20). Hidayah taufik adalah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (yang artinya), “Sesungguhnya kamu tidak bisa memberikan hidayah kepada orang yang kamu cintai.” (QS. al-Qoshosh: 56). Adapun hidayah penunjukan adalah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (yang artinya), “Sesungguhnya kamu benar-benar memberikan hidayah menuju jalan yang lurus.” (QS. asy-Syura: 52) (lihat at-Tas-hil li Ta'wil at-Tanzil [1/109])
  6. Hidayah juga bisa dibagi menjadi hidayah 'menuju jalan' dan hidayah 'di atas jalan'. Hidayah menuju jalan adalah hidayah untuk memeluk agama Islam dan meninggalkan agama-agama yang lain. Adapun hidayah di atas jalan adalah hidayah untuk bisa melaksanakan rincian-rincian ajaran di dalam agama Islam (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/36])     
  7. Dalam memaknai jalan yang lurus ada beberapa penafsiran. Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma mengatakan bahwa yang dimaksud jalan lurus adalah Islam. Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu mengatakan bahwa maksudnya adalah al-Qur'an. Bakr bin Abdullah al-Muzani berkata bahwa maksudnya adalah jalan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Semua penafsiran ini tidak bertentangan dan saling menjelaskan. Barangsiapa yang istiqomah di atas jalan yang lurus yang bersifat maknawi ketika hidup di dunia maka kelak di akherat dia akan selamat ketika meniti shirath yang sebenarnya; yaitu jembatan yang dibentangkan di atas neraka (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 21, Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [1/37])
  8. Ayat ini mengandung bantahan bagi seluruh kaum ahli bid'ah dan seluruh agama serta kelompok-kelompok yang menyimpang dari kebenaran (lihat Syarh Ba'dhu Fawa'id Surah al-Fatihah, hal. 9,24, at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 49)
  9. Jalan yang lurus ini mencakup pengenalan terhadap kebenaran dan ketundukan kepadanya, setia mengikutinya, mendahulukannya di atas segala kepentingan, membela dan mendakwahkannya, serta melawan serangan musuh-musuhnya (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 49)
  10. Dalam kalimat Ihdinash shirathal mustaqim juga terkandung bantahan bagi kaum Qodariyah (penolak takdir). Mereka beranggapan bahwa segala perbuatan hamba terjadi dengan kehendak dirinya sendiri tanpa ada campur tangan kehendak Allah. Sementara di dalam ayat ini kita diajari untuk memohon hidayah kepada-Nya. Hidayah yang kita minta tentu saja bukan hanya ilmu akan tetapi juga hidayah taufik sehingga bisa beramal. Kalaulah memang perbuatan hamba hanya tergantung kepada kehendak dirinya sendiri -tanpa ada pengaruh dari kehendak Allah- lalu apa perlunya meminta hidayah kepada-Nya?! (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 54) 
  11. Jalan yang lurus adalah jalan terdekat untuk menggapai cita-cita. Sebagaimana halnya garis lurus adalah jarak terdekat yang menghubungkan antara dua buah titik (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 60)

Faidah Dari Ayat Keenam dan Ketujuh

Shirathalladzina An'amta 'Alaihim,
Ghairil Maghdhubi 'Alaihim wa Ladhdhaalliin

Artinya: Yaitu Jalannya Orang-Orang Yang Engkau Beri Nikmat Kepada Mereka
Bukan Jalannya Orang-Orang Yang Dimurkai dan Bukan Pula Orang-Orang Yang Sesat

  1. Jalan yang lurus ini adalah jalannya orang-orang yang bertauhid. Merekalah orang-orang yang telah merealisasikan kandungan ayat Iyyaka na'budu wa Iyyaka nasta'in di dalam hidupnya. Adapun orang-orang musyrik adalah kaum yang dimurkai dan tersesat dari jalan Allah (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 54)
  2. Yang dimaksud 'orang-orang yang diberikan nikmat' itu adalah para nabi, shiddiqin, syuhada', dan orang-orang salih (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/37]). Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul, maka mereka itulah yang akan bersama dengan orang-orang yang diberikan kenikmatan oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada' dan orang-orang yang salih. Mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. an-Nisaa': 69) (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [1/38], Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 22)
  3. Zaid bin Aslam rahimahullah -guru Imam Malik- menafsirkan, “Orang-orang yang diberikan nikmat oleh Allah itu adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan 'Umar.” (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 64). Dengan demikian, ayat ini mengandung penetapan keabsahan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu'anhu dalam memangku jabatan khalifah, sekaligus bantahan bagi kaum Syi'ah yang mempertanyakan dan mencela kekhilafahan beliau (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 34). Umar bin Khaththab radhiyallahu'anhu pernah berkata, “Seandainya ditimbang iman Abu Bakar dengan iman seluruh penduduk bumi, niscaya lebih berat iman Abu Bakar.” (lihat as-Sunnah, sanadnya hasan, lihat as-Sunnah li Abdillah ibni Ahmad ibni Hanbal, Jilid 1 hal. 378)
  4. Ayat ini menunjukkan bahwa hidayah menuju jalan yang lurus adalah nikmat dan anugerah dari Allah ta'ala kepada hamba. Oleh sebab itu tidak semestinya seorang hamba merasa ujub dengan amal dan ketaatan yang dimilikinya (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 22)
  5. Yang dimaksud 'orang yang dimurkai' adalah Yahudi, sedangkan 'orang yang tersesat' adalah Nasrani berdasarkan hadits 'Adi bin Hatim yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan yang lainnya (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 23). Hal ini menunjukkan bahwa Yahudi dan Nasrani tidak berada di atas jalan yang lurus (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 34)
  6. Ayat ini mengandung penetapan salah satu sifat Allah yaitu al-Ghadhab (marah) sebagaimana kemarahan yang sesuai dengan kemuliaan-Nya (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 23). Sehingga ia mengandung bantahan bagi orang yang menyimpangkan makna Ghadhab menjadi Irodatul Intiqom/kehendak untuk menghukum (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 35)
  7. Ayat ini juga mengandung bantahan bagi orang-orang yang menganut paham kebebasan beragama (Hurriyat al-Adyan) dan berupaya untuk mempersatukan agama-agama yang ada (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 34)
  8. Berdasarkan ayat ini manusia bisa dibagi ke dalam tiga kelompok; [1] orang-orang yang mendapatkan nikmat; yaitu orang yang mengetahui kebenaran dan tunduk kepadanya, [2] orang-orang yang mengetahui kebenaran akan tetapi menolaknya; mereka itulah orang yang dimurkai, [3] orang-orang yang tidak mengetahui kebenaran; mereka inilah orang-orang yang tersesat (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 60,63)
  9. Ayat ini mengandung bantahan bagi kaum Rafidhah/Syi'ah. Sebab para Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam -yang dimusuhi mati-matian oleh kaum Syi'ah- merupakan orang-orang yang paling mengetahui kebenaran dan paling tunduk kepadanya. Dan hal itu bisa kita buktikan dengan melihat pengaruh nyata dakwah mereka yang sangat mengagumkan dengan ditaklukkannya berbagai negeri dan ditundukkannya hati-hati manusia untuk memeluk agama Allah ta'ala melalui perantara dakwah mereka. Hal ini jelas bertolak belakang dengan Rafidhah; dimana pun mereka berada mereka senantiasa memusuhi Islam dan membantu musuh-musuh Islam dalam menghancurkan kaum muslimin. Maka siapakah gerangan diantara kedua kelompok ini yang lebih pantas dan layak disebut berada di atas shirathal mustaqim?! Oleh sebab itulah para ulama salaf menafsirkan shirathal mustaqim dengan Abu Bakar, 'Umar dan para Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun Rafidhah; maka mereka adalah orang-orang yang paling sengit permusuhan dan kebenciannya kepada Abu Bakar dan 'Umar radhiyallahu'anhuma (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 63-64)
  10. Ayat ini mengandung peringatan kepada umat Islam agar tidak ber-tasyabbuh (meniru-niru) kepada Yahudi dan Nasrani (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 35)
  11. Ayat ini juga mengandung peringatan keras bagi para ulama kaum muslimin dan para ahli ibadah diantara mereka; supaya tidak terjerumus ke dalam kemurkaan Allah -akibat tidak beramal dengan ilmunya- dan selamat dari kesesatan -akibat beribadah tanpa landasan ilmu yang benar- (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 35)
_____________
Sumber:  Ustadz Abu Mushlih Ari Wahyudi 
Website beliau:  www.abumushlih.com

Sabtu, 21 April 2012

Inilah Sepuluh Alasan Mengapa Aku Enggan Berjilbab

Saudaraku yang semoga Allah merahmatimu..
Aku tuliskan catatan ini wahai saudaraku, bukan karena aku lebih baik darimu..
Atau bukan karena aku paling baik diantara kalian.. 

Sungguh, semata-mata ku lakukan karena aku peduli padamu. Karena kau saudaraku dan aku mencintai kebaikan bagimu sama seperti aku mencintai kebaikan untuk diriku sendiri. Dan barangkali kau pernah mendengar, bahwa agama ini adalah nasihat. Maka aku menasihati diriku sendiri yang utama kemudian kau, saudaraku di jalan Allah.

Bagiku hijab adalah suatu kebaikan yang teramat berharga. Ia merupakan kebanggaanku, kehormatanku, kemuliaanku, juga ciri khas serta identitasku sebagai seorang Muslimah. Maka dengan mengharap keridhaan dari Rabb-ku Yang Maha Mulia lagi Maha Tinggi, aku menghendaki agar kebaikan yang kurasakan bersama hijab ini dapat pula kau rasakan.

Aku sampaikan begini sebab aku tidak ingin kemudian kau berkata di belakangku, “Mengapa orang ini mencampuri urusanku?! Ini hidupku dan aku yang menjalaninya. Berjilbab atau tidak biarlah urusanku dengan Tuhanku saja!” 

Tidak, aku tidak menginginkan kalimat tersebut terucap dari lisanmu. Aku katakan kembali bahwa aku tidak memiliki keinginan untuk mencampuri urusanmu. Aku hanya menginginkan bagimu kebaikan sebagaimana aku menginginkan kebaikan untuk diriku.

Semoga Allah memberiku hidayah demikian pula bagimu..

Dibawah ini kutulis beberapa alasan para wanita Muslimah, mengapa mereka enggan menutupi auratnya, padahal telah datang pada mereka kabar dari Tuhan-nya bahwa mengenakan jilbab adalah wajib. 

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, 
“Hai nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Al-Ahzab: 59] 

Perhatikanlah saudaraku, barangkali satu diantaranya adalah pernyataan yang menjadi alasanmu juga. 

Pertama
“.. ah, yang terpenting bagiku adalah hati, bukan penampilan! Apakah berjilbab ataukah tidak” 

Betulkah begitu saudaraku? Betulkah bahwa penampilan atau hal yang tampak merupakan sesuatu yang kurang begitu penting bagimu? 

Baiklah, bantulah dirimu untuk mengingat apa yang telah kau lakukan sejak pagi tadi. Bukankah pagi tadi kau membersihkan tubuhmu, memakai pakaian bagus, lalu memoles wajahmu dengan blush on dan lipstick berwarna peach, kemudian memberikan sedikit hair mask pada rambutmu, dan tak lupa menyemprotkan parfum lalu keluar menuju kampus atau tempat kerjamu. Kau akan pergi setelah menilai penampilanmu oke. Bukankah hal tersebut menandakan bahwa sebenarnya penampilan teramat penting bagimu? 

Well, aku anggap kau telah sependapat denganku, bahwa baiknya hati sangat penting. Namun penampilan zahir (tampak) pun sangatlah penting.

Selanjutnya aku kutipkan padamu sebuah hadits yang mulia dari Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam, 
“Ingatlah bahwa sesungguhnya dalam jasad itu ada segumpal daging apabila baik gumpalan tersebut maka baiklah jasad tersebut dan sebalikya apabila rusak maka rusaklah jasad tersebut ingatlah bahwa itu adalah hati” 

Perhatikanlah wahai saudaraku..
Bahwa ternyata baiknya hati dan baiknya jasad (penampilan) berbanding lurus, tidak mungkin kau mengambil salah satu dan mengenyampingkan yang lainnya. Jadi jika hatimu baik, maka akan baik pula jasad atau penampilanmu. Dan menutup auratmu dengan mengharap ridha Allah merupakan sebuah amalan zahir (tampak) yang sangat agung dan merupakan salah satu upaya untuk memperbagus penampilanmu. Tentunya merupakan sebuah kewajiban dari Rabb-mu Yang Maha Kuasa tanpa bisa kau negosiasikan kembali. 

Kesimpulannya, tidak mungkin kau melakukan amalan batin sedang tidak diiringi dengan amalan zahir. Dan sesungguhnya seorang yang jujur dalam keimanannya untuk memperbaiki hatinya, pastilah tidak akan melewatkan untuk melakukan ketaatan kepada Allah yakni berhijab dan memperbaiki jasadnya (amalan zahir). 

Kedua
“Aku lihat banyak sekali orang yang berjilbab namun akhlak mereka buruk. Dan ditempat lain banyak kawan-kawanku yang tidak memakai jilbab namun mereka baik..” 
Jadi itulah yang membuatmu enggan berjilbab wahai saudaraku? Dan kau memilih menjadi seperti kawan-kawanmu yang tidak mengenakan jilbab namun mereka telah baik menurutmu?

Aku katakan padamu bahwa aku mengenal seseorang yang baik padaku namun dia adalah seorang pecandu alkohol. Apakah itu menunjukkan bahwa aku mesti menjadi seorang alcoholic? 

Lalu akupun memiliki teman-teman dari kalangan Nasrani, Hindu dan Budha, beberapa dari mereka gemar memberi, suka menolong, dan sikap mereka sangat baik kepada manusia meski tidak seagama dengan mereka. Apakah hal tersebut kemudian membuatku mengatakan “Aku memilih menjadi seperti mereka. Menjadi seorang yang beragama Nasrani, Hindu atau Budha sebab mereka sangat baik” 

Ketiga
“Jujur, aku khawatir kelak susah mendapatkan jodoh dengan jilbab yang ku kenakan” 
O dear..  cobalah bertanya begini pada dirimu sendiri, 
“Laki-laki seperti apa yang ku inginkan untuk dinikahi”
“Ayah yang bagaimana yang aku inginkan untuk anak-anakku kelak?” 

Pikirkanlah untuk menjawab pertanyaan tersebut.. 
Saudaraku, apakah kau ingin menikah dengan laki-laki yang hanya ingin mencari pasangan dengan gaya rambut menarik dan betis yang mulus? 

Dimana laki-laki tersebut tidak akan berpikir sedikitpun untuk menikahi wanita yang membungkus tubuhnya dengan jilbab sebab yang menarik hatinya adalah para wanita yang gemar berganti gaya rambut dan mempertontonkan setengah dadanya. Benarkah laki-laki seperti demikian yang kau inginkan untuk menikah denganmu? 

Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam tanzil-Nya, 
“…wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji pula, dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula…” [An-Nuur: 26]

Subhanallah..
Kau punya waktu untuk merenungkannya kembali dengan pikiranmu yang jernih saudaraku.. 

Tidakkah kau inginkan seorang laki-laki shalih?

Bukankah kau pernah mengatakan bahwa kau menginginkan suamimu kelak yang dapat menjadi seorang Imam bagimu dan anak-anakmu? 

Seorang laki-laki yang dapat membimbingmu dan mengarahkanmu kepada kebaikan..

Seorang laki-laki yang menjaga kehormatanmu dan kehormatan keluargamu..

Seorang laki-laki yang memuliakanmu..

Seorang laki-laki yang memiliki tekad kuat untuk mengamalkan ayat Allah yang mengatakan: 
“Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka..” [Lihat At-tahrim ayat 6] 

Bukankah kau menginginkan seorang laki-laki yang menjadi teladan baik bagi anak-anakmu kelak?

Bukankah kau pernah bercita-cita memiliki keluarga yang sakinah, mawaddah warrahmah? 

Jawablah pertanyaanku.. 

Bagaimana bisa kau mendapatkan apa yang kau ingini dan kau cita-citakan dari seorang laki-laki yang hanya menginginkan keindahan tubuh wanita untuk dipamerkan, yang bahkan tidak memiliki cukup iman untuk menyukai jilbab bagi istrinya??

Keempat
“Aku pun khawatir akan sulit mendapatkan pekerjaan  dan sulit untuk berkarir.”
Saudaraku, tidak pernahkah kau memperhatikan seekor burung? 
Dia terbang pada pagi harinya meninggalkan sangkarnya, kemudian tidak lama kembali pada keluarganya dan membawakan mereka makanan. 

Lalu siapakah Dzat yang memberi burung-burung tersebut rizki dari langit? 
Aku yakin kau akan menjawab “Allah-lah Maha Pemberi Rizki”

Apakah kau berpikir bahwa Allah memberi rizki pada burung-burung tersebut dan tidak memberi rizki kepadamu? 

Apakah kau berpikir bahwa Allah Ta’ala zalim?

Apakah kau akan berpikir bahwa Allah memerintahkan sesuatu untukmu kemudian Dia menyulitkanmu?

Bahwa Dia memerintahkanmu untuk berjilbab lalu membiarkanmu hidup di dunia tanpa memperoleh rizki? 

Apa yang kau khawatirkan wahai saudaraku? 

Perhatikanlah kalam Allah berikut, 
“Tidak ada satu makhluk melatapun di muka bumi kecuali Allah yang menanggung rezekinya, dan Dia yang mengetahui tempat berdiamnya dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)” [Huud : 6]

Saudaraku, aku berdoa kepada Allah agar melembutkan hati-hati kita..

Barangkali saat ini angan-anganmu terhadap dunia begitu tinggi..

Kau bercita-cita begini..  berambisi itu.. ingin menjadi begini dan begitu..

Kau ingin agar sukses di dunia kemudian melakukan sebab dan upaya agar tercapai keinginanmu tersebut. Namun sudahkah kau berpikir dan bercita-cita untuk kehidupanmu di akhirat nanti?

Maka akan kau jawab, “Tentu saja sista! Siapa-lah yang tidak ingin mencapai kesuksesan di akhirat?!” 

Lalu sejauh mana upayamu dalam menggapai kesuksesan dan kebahagiaan tersebut wahai saudaraku? 

Kau diam. 

Bahkan kau ingin mendapatkan surga dalam keadaan enggan untuk taat kepada Rabb-mu? Enggan untuk berjilbab?

Kau berpikir untuk mengejar dunia, padahal sesungguhnya dunia akan berpaling darimu, membelakangimu serta mengkhianatimu. Sebab dunia pastilah akan musnah. Sedang akhirat, itulah negeri yang kekal dan abadi. Maka bagaimana kau mengejar sesuatu yang akan musnah dan membelakangi sesuatu yang kekal? 

Alangkah indah nasihat dari Hasan Al-Bashri yang mengatakan. 
“Permisalan antara dunia dan akhirat adalah seperti timur dan barat. Semakin engkau dekat pada satu sisi, semakin jauh engkau pada sisi yang lainnya.” 

Saudaraku yang semoga Allah memberkahimu..
Sungguh, bukanlah aku menasihatimu untuk melupakan dan membelakangi dunia. Sebaliknya aku menasihati diriku sendiri kemudian kau agar bersemangat dalam memperoleh apa-apa yang bermanfaat bagi kita, baik di dunia maupun di akhirat. 

“Bersemangatlah memperoleh sesuatu yang bermanfaat begimu dan mintalah pertolongan kepada Allah. Serta jangan merasa lemah.” (HR. Muslim)

Dan agar bersemangat dalam menatap masa depan.

Disebabkan masa depan dunia memiliki ujung dan tidak kekal, maka akan sangat adil bagi kita untuk memilih memprioritaskan masa depan yang lebih cemerlang, menjanjikan, serta abadi.

Allah Al-Ghaniy, Yang Maha Kaya berfirman dalam kalam-Nya yang mulia, 
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya”. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”. [Ath-Thalaq: 2-4] 

Tersenyumlah saudaraku sebab Allah Ta’ala telah berjanji padamu dalam keadaan kau mengetahui bahwa janji Allah adalah benar. 

Tersenyum lalu hiburlah lagi dirimu dengan hadits yang mulia berikut, 
“Barang siapa yang Akhirat menjadi harapannya, Allah akan menjadikan rasa cukup di dalam hatinya serta mempersatukannya, dan dunia akan datang kepadanya dalam keadaan patuh dan hina. Tetapi siapa yang dunia menjadi harapannya. Allah akan menjadikan kefakiran  berada di depan matanya serta mencerai-beraikannya, dan dunia tidak akan datang  kepadanya kecuali sekedar apa yang telah ditetapkan baginya.” [HR. Tirmidzi]

Saudaraku, aku berharap kau tidak lagi khawatir akan rizki dan duniamu. Dan semoga hal ini tidak lagi menjadi alasanmu mengapa enggan berjilbab. Allah saja-lah Yang Memberi taufiq. 

Kelima
“Pelan-pelan, aku ingin menjilbabi hatiku terlebih dahulu..”
Aku tersenyum. Sebab pernyataan inilah yang paling sering kau jadikan pelurumu dalam menyangkal nasihat-nasihat kawanmu tentang jilbab. Seringkali ku dengar para wanita mengucapkan ini dengan senyum mengembang dan rasa puas. 

Aku bertanya padamu saudaraku, apa yang kau maksudkan dengan “menjilbab i”?

Apakah maksud dari menjilbabi olehmu adalah mensucikan,  membersihkan,  memperbaiki bagitu? 

Baiklah aku ambil kesimpulan bahwa saat ini kau tengah berupaya memperbaiki, membersihkan dan mensucikan hatimu. 

Lalu bagaimana upayamu sejauh ini?

Apa yang tengah kau lakukan untuk memperbaiki dan mensucikan hatimu tersebut? 

Saudaraku, semoga Allah memperbaiki urusanmu..

Aku beri tahu sesuatu yang sangat penting untuk kau ketahui. Bahwa mensucikan hati dan menjadikannya bersih dari segala kotoran dan penyakit tidaklah dapat ditempuh kecuali dengan beberapa sebab seperti meninggalkan perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh Allah, melakukan ketaatan dan memperbanyak bertaubat kepada-Nya. 

Allah Ta’ala berfirman, 
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman hendaknya mereka menundukkan pandangan mereka dan menjaga kehormatannya, yang demikian itu lebih suci bagi mereka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” [An-Nur: 30]

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan di dalam ayat ini bahwa sucinya hati itu terjadi setelah menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan, yaitu menundukkan pandangan dari yang diharamkan Allah Ta’ala. 

Barangsiapa hendak mensucikan qalbunya maka ia harus mengutamakan Allah dibanding keinginan dan nafsu jiwanya. (Ibnul Qayyim) 

Dan wahai saudaraku, dengan apa kau dapat menundukkan pandangan serta menjaga kehormatanmu jika bukan dengan berhijab? 

Maka kau telah keliru dalam berpandangan dan mengambil sikap. Kau mengira dengan menunda berjilbab dan melakukan apa yang kau sebut dengan upaya menjilbabi hati adalah sebuah cara yang sudah benar, ternyata sebaliknya. 

Cobalah kau berpikir lagi, bagaimana mungkin kau dapat mensucikan hatimu, sedang tidak kau tempuh sebuah upaya yang berarti. Yang bahkan kau menunda-nunda kebaikan dan enggan untuk memenuhi perintah Rabb-mu. Lalu dengan tersenyum kau berkata“Aku ingin menjilbabi hati dulu..”. Tidakkah hal tersebut sia-sia belaka? 

Saudaraku, tempuhlah sebab-sebabnya serta berlapang dadalah. Sungguh, mengenakan jilbab dan menjaga kehormatanmu itulah cara tepat untuk menjilbabi hati. 

Keenam
“Yang penting aku shalat 5 waktu, berpuasa pada Ramadhan dan mengeluarkan zakat!” 
Ya, kau benar saudaraku. Shalat, berpuasa dan mengeluarkan zakat adalah amalan-amalan yang agung dan termasuk kedalam kewajiban utama sebagai Muslim. Sebab islam dibangun dengan 5 rukun yang 3 diantaranya apa yang telah kau sebutkan tadi bukan? Kau pasti menghapal rukun tersebut.

Namun tentu kau mengetahui betul bahwa syariat Islam yang telah Allah turunkan dengan Hikmah dan Keadilan-Nya ini bukanlah sebatas perkara shalat atau puasa saja.

Kau tahu bahwa perintah mengenakan jilbab adalah nyata tertulis didalam Kitabullah Al Karim. Bahwa tidak ada pertentangan dari zaman dahulu hingga sekarang antara para ulama tentang wajibnya menutupi aurat. Jika kau mendengar ada tokoh-tokoh yang menyerukan bahwa berjilbab tidaklah wajib, maka yakinlah bahwa mereka sejatinya tidak menginginkan syariat Allah melainkan mempertuankan hawa nafsu-nya . Berdoalah kepada Allah agar dijauhkan dari kesesatan mereka.

Dan aku katakan padamu bahwa tidaklah Allah turunkan perintah dan larangan bagi hamba-hamba-Nya kecuali Dia menghendaki kemudahan, kebaikan dan keselamatan.

Dalam Kitab-Nya yang mulia, Ar Rahman berfirman yang artinya, 
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya..” [An-Nur: 31]

“Hai nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Al-Ahzab: 59]

Maka khawatirlah wahai saudaraku, jika jiwamu condong kepada menerima syariat Allah yang satu lalu menolak syariat yang lainnya. Khawatirlah dengan ucapanmu yang enggan berjilbab dengan mengatakan, “Yang terpenting aku shalat, puasa, dan berzakat..”

Khawatirlah sebab Allah telah mencela Bani Israil, dengan sebab mereka melakukan sebagian perintah dan meninggalkan sebagian yang lain. 

“…Apakah kamu beriman kepada sebahagian AI-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tidaklah balasan bagi orang-orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat, Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat” [Al-Baqarah: 85] 

Ketujuh
“Jilbab membatasi kebebasan saya!” 
Bagimu jilbab membatasi kebebasanmu, namun bagiku sebaliknya. Eye Shadowlipstickshort dress, dan high heels lah yang sama sekali telah membatasi kebebasanku. 

Lalu aku bertanya, apa definisi kebebasan menurutmu?

Barangkali kau hendak mengatakan bahwa kebebasan adalah “Ketika aku bebas melakukan apapun yang aku ingin lakukan”.

Demi Allah, bukan itu yang Rabb-mu kehendaki wahai saudaraku..

Kebebasan adalah dalam melakukan hal yang benar, bukan melakukan apapun yang ingin kau lakukan!

Saudaraku kau seorang Muslimah. Dan kau beriman kepada kitab Allah. Maka hal yang semestinya kau lakukan adalah berbangga dengan identitas seorang muslimah yakni hijab. Manakala orang-orang selainmu yakni kaum kafir berbangga dengan hot pant dan bikini maka kau berbangga jilbabmu. Tidakkah kau berpikir bahwa ini istimewa?

Hal isitimewa yang dikehendaki oleh Pencipta-mu untukmu, yang tidak dikehendaki oleh wanita-wanita kafir.

Bahwa Dia menghendaki kemuliaan bagimu. Semakin kau menutup rapat auratmu, maka semakin tinggi harga dirimu sebagai wanita. Semakin tinggi kehormatanmu. Dan ini adil sekali.

Aku sampaikan sebuah hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam, bahwa beliau bersabda, 

“Sesungguhnya di antara apa yang didapati manusia dari ucapan nabi-nabi yang terdahulu adalah ‘Apabila engkau tidak malu, maka lakukan apa pun yang engkau mau’.”

Lagi-lagi “malu” menjadi tolok ukur seseorang dalam banyak perbuatannya. Bahwa orang yang menginginkan untuk berbuat sesuka hati menandakan kurang sekali rasa malunya.

Benarlah apa yang dikatakan seorang sahabat, Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu,
“Malu dan iman itu senantiasa ada bersama-sama. Bila hilang salah satu dari keduanya, hilang pula yang lainnya.

Dan benar sekali bahwa kau bebas untuk melakukan apa yang kau mau. Kau bebas berbuat, berpikir, berucap. Kau bebas memilih beragama ataukah tidak. Kau bebas memutuskan ingin menjilbabi tubuhmu atau tidak. Kau bebas melangkahkan kakimu kemana saja kau inginkan.

“If you feel no shame, then do as you wish”

Dan jangan putus mengingat bahwa Tuhanmu pun bebas membuat perhitungan denganmu !

Kedelapan
“Ya, aku tahu bahwa jilbab itu wajib bagi setiap wanita Muslim, namun aku betul-betul belum siap. Aku khawatir jika jika dipaksakan, nantinya akan on-off dalam memakainya” 
Aku nasihatkan pertama-tama untukku kemudian engkau wahai saudaraku agar memperbanyak memohon ampun dan memohon hidayah kepada Rabb At Tawwab dan Al Haadii, Rabb Yang Maha Penerima Taubat serta Maha Pemberi Petunjuk. Berharaplah semoga dengan begitu Allah melembutkan hati-hati kita dan memudahkan kita dalam melakukan ketaatan.

Sungguh jika kau ketahui wahai saudaraku, perintah yang Allah tujukan bagimu dan kau enggan melaksanakannya maka siapakah yang kelak merugi? Apakah Dia, Allah Yang Maha Suci akan merugi??

Saudaraku, bahkan jika seluruh makhluk dari generasi pertama hingga generasi terakhir kalangan jin dan manusia mendurhakai Allah hingga taraf  kedurhakaan paling tinggi, maka tidaklah hal tersebut mengurangi kemuliaan Allah sedikitpun. Allah tidak pernah rugi sama sekali.

Maka semestinya kau mengetahui bahwa yang rugi adalah dirimu sendiri. Allah tidaklah memaksamu memilih jalan hidupmu. Bahkan kau bebas berbuat sekehendak hatimu. Dia hanya menolongmu agar kelak kau selamat. Sebab Dialah yang menghisabmu nanti.

Dan wahai saudaraku yang semoga Allah memuliakanmu..

Aku percaya kau memiliki kepercayaan diri untuk berdiri dan mengatakan:
“Aku yakin bisa memulai untuk menempatkan perintah Allah di atas keinginan atau kekhawatiranku sendiri. Dengan pertolongan-Nya aku percaya dapat melakukannya ‘Kami dengar dan kami taat’.”

Ketahuilah, apabila niatmu benar dan ada kesungguhan atasnya maka dengan pertolongan Allah, Dia-lah yang akan memberimu kesiapan dan kemantapan, tanpa perlu kau katakan,  “..nanti saja jika sudah mantap..”

Dia pulalah yang akan memberimu keistiqamahan. Tanpa perlu ragu dan mengatakan, “..nanti saja, khawatir jilbab-nya on-off” 

Kesembilan
“Suatu hari nanti aku pasti berjilbab, tidak sekarang..!” 
Semoga Allah memberi hidayah dan taufiq kepada kita.. 

Andaikan sahabat karibmu saat ini meneleponmu kemudian berkata “Nonton yuk!”, maka kemungkinan besar kau akan menjawab dengan bersemangat “yuk…kapan?? “

Lihatlah begitu semangatnya kau bersegera untuk melakukan sesuatu demi kesenangan duniamu. Sedangkan untuk kesenangan di akhiratmu kau mengatakan “..tidak sekarang!” 

Saudaraku, beritahu aku apa yang kau maksudkan dengan suatu hari nanti PASTI?
Jangan katakan bahwa kau dapat meramal masa depanmu dimana kau mengatakan, “Hari itu.. aku pasti memakai jilbab!”

Semoga Allah memberimu kecerdasan. Kau tahu bahwa seorang yang cerdas adalah yang paling banyak mengingat pemutus kelezatan (maut). Cobalah berpikir untuk meluangkan sedikit waktumu demi mengingat kematian. Sebab yang pasti terjadi adalah hari dimana kau mati.

Kau tidak pernah tahu kapan dan di bumi mana kau akan diwafatkan. Maka berpikirlah kembali sebelum mengatakan, “.. tidak sekarang, biarlah suatu saat nanti.”

Bahkan saudaraku, kau tidak pernah tahu apakah esok hari kau masih diberi kesempatan oleh Rabb-mu menuju tempat kerjamu dengan gaya rambut terbaru.

Kesepuluh
“Hidayah belumlah sampai kepadaku..” 
Saudaraku, apabila kau menginginkan sebuah sepatu baru, anggaplah kau pernah melihatnya di sebuah swalayan di kotamu. Kemudian kau duduk di rumahmu tanpa mengupayakan sesuatu berupa uang yang cukup dan usahamu untuk membeli sepatu tersebut lantas kau mengatakan, “Aku berharap sepatu dambaanku tersebut tiba dirumahku secepatnya.” Apakah kau berpikir sepatu tersebut akan benar-benar datang padamu?

Sungguh hidayah terlalu mahal untuk kau tunggui tanpa mengupayakan sesuatu yang berarti saudaraku.. 

Sesuai dengan usaha yang engkau berikan, 
maka engkau akan mendapatkan apa yang engkau angan-angankan.

Bahwa “Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”[Al-Baqarah: 213]

Namun hidayah perlu untuk dipinta. Bahkan wajib bagi setiap hamba Allah untuk meminta hidayah kepada-Nya. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman dalam hadits qudsi yang artinya, 

“Wahai hamba-hambaKu, kalian semua sesat, kecuali orang yang Aku beri petunjuk, maka mintalah petunjuk kepadaKu, niscaya Aku akan memberikannya kepada kalian.”

Maka lakukanlah sesuatu yang berarti wahai saudaraku!

Bersemangatlah untuk memperbanyak meminta hidayah dan taufiiq kepada Allah Azza wajalla, serta tempuhlah sebab agar semakin dekat dengan-Nya. Sungguh melakukan ketaatan dan amalan shalih serta berupaya menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah merupakan suatu upaya yang sangat berarti untuk memperoleh hidayah yang kau dambakan tersebut.

Sebagai penutup, izinkanlah aku mengutip sebuah nasihat indah dari seorang mantan petinju dunia, Muhammad Ali kepada putrinya Hana. Barangkali saja semakin menambah motivasimu untuk tidak menunda berhijab. Semoga Allah menjagamu.. 

“Hana, segala sesuatu ciptaan Allah yang berharga di muka bumi ini senantiasa tertutup dan sulit untuk didapatkan. Di manakah engkau menemukan berlian? Jauh di dalam tanah, tertutup dan terlindungi. Di manakah engkau menemukan mutiara? Jauh di dasar samudera, tertutup dan terlindungi dalam sebuah cangkang yang keras. Di manakah engkau menemukan emas? Jauh di dalam tanah yang ditambah, tertutup oleh banyak lapisan batuan… Engkau harus bekerja keras untuk mendapatkannya.” 

Ia memandang dengan tatapan mata yang serius. 

“Demikian pula tubuhmu. Jauh lebih berharga dari pada berlian dan mutiara, maka engkau juga harus mengenakan hijab agar tertutup.” 

Hanya kepada Allah aku meminta agar menjadikan kita semua sebagai kunci-kunci pembuka kebaikan dan penutup kejelekan, dan tidak ada daya serta upaya kecuali dengan pertolongan Allah.

Wallahu Ta’ala A’lam
Allah Saja-lah yang memberi taufiq
_______________
http://referensiislam.blogspot.com/2011/09/inilah-sepuluh-alasan-mengapa-aku.html