Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Main Menu (Do Not Edit Here!)

Selasa, 31 Januari 2012

Keistimewaan Nabi Kita Muhammad

Keistimewaan Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam dapat dibagi menjadi 2:
1. Keistimewaan beliau dari Nabi lainnya
2. Keistimewaan beliau dari umatnya


Keistimewaan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam Dibanding Nabi Lainnya

Pertama: Beliau adalah kholilullah (kekasih Allah) selain Nabi  Ibrahim ’alaihis salam
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

إِنِّي أَبْرَأُ إِلَى اللَّهِ أَنْ يَكُونَ لِي مِنْكُمْ خَلِيلٌ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ اتَّخَذَنِي خَلِيلًا كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيلًا لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلًا

“Sungguh aku memohon pada Allah akan memilih aku di antara kalian sebagai kekasih Allah. Maka Allah Ta’ala memilihku sebagai kekasih-Nya sebagaimana Allah menjadikan Ibrahim juga kekasih-Nya. Seandainya, aku memilih di antara umatku seorang kekasih, maka aku akan memilih Abu Bakr sebagai kekasihku.”[1]

Kholil/khullah adalah tingkatan tertinggi dalam derajat mahabbah (kecintaan) dan inilah yang merupakan tingkatan paling sempurna. Oleh karena itu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Allah Ta’ala memilihku sebagai kekasih-Nya sebagaimana Allah menjadikan Ibrahim juga kekasih-Nya.” Dan tidak ada dalam hadits yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah habibullah[2]. Maka perhatikanlah hal ini!![3]

Kedua: Beliau adalah penutup para Nabi dan risalah (wahyu) yang beliau bawa telah sempurna serta merupakan risalah yang terakhir

Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.” (QS. Al Ahzab: 40)

[4]Dan tidaklah datang orang yang mengaku dirinya sebagai Nabi -sesudah beliau- kecuali mereka adalah dajjal/pendusta. Munculnya orang-orang yang mengaku Nabi ini merupakan kebenaran dari berita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُبْعَثَ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ قَرِيبٌ مِنْ ثَلَاثِينَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ

”Tidak akan terjadi hari kiamat hingga mucul para dajjal/para pendusta, yang berjumlah sekitar 30-an. Mereka semua mengaku sebagai utusan Allah (rasulullah).”[5]

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

وَإِنَّهُ سَيَكُونُ فِي أُمَّتِي ثَلَاثُونَ كَذَّابُونَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لَا نَبِيَّ بَعْدِي

”Sesungguhnya akan ada pada umatku 30 orang pendusta yang mengaku Nabi. Padahal akulah penutup para nabi, tidak ada nabi lagi sesudahku.”[6]

Sabda beliau shallallahu ’alaihi wa sallam ini telah terjadi saat ini. Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Sepeninggal beliau shallallahu ’alaihi wa sallam atau bahkan di zaman beliau masih hidup telah muncul para dajjal. Di antaranya adalah Musailamah al-Kazzab. Yang kemudian di zaman Abu Bakr ash-Shiddiq, dia ditumpas oleh Abu Bakar –radhiyallahu ’anhu-. Begitu juga istri Musailamah juga mengaku sebagai Nabi.
Dan orang yang mengaku dajjal sampai hari kiamat masih bermunculan. Seperti di zaman kita saat ini juga terdapat orang yang mengaku Nabi –yaitu dajjal- seperti Mirza Gulam Ahmad, Lia Aminudin, dll.

Ketiga:
Beliau memiliki kedudukan yang terpuji (Al Maqom Al Mahmudah)
Yaitu syafa’atul ’uzhma[7], sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا

“Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji”. (QS. Al Isra’: 79)

Begitu juga dalam hadits -yang panjang- tentang syafa’at yang telah disepakati keshahihannya:

Sesungguhnya Allah mengumpulkan orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan  di suatu di suatu bukit. Sebagian orang berkata kepada sebagian yang lain: ”Tidakkah kalian memperhatikan apa yang kalian berada di dalamnya. Tidakkah kalian melihat pada apa yang disampaikan pada kalian. Tidakkah kalian melihat siapa yang memberi syafa’at kalian kepada Rabb kalian.” Kemudian mereka mendatangi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, ’Isa, hingga Muhammad –sholawat Allah dan salam-Nya bagi mereka semuanya-. Tiap Nabi tersebut mengatakan:”Pergilah kepada selainku”. Kecuali Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam mengatakan:”Saya memiliki syafa’at tersebut.” Kemudian beliau sujud kepada yang mengizinkan syafa’at baginya (yaitu Allah)

Dengan demikian jelaslah keutamaan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dari seluruh makhluk. Dan beliau dikhususkan dengan kedudukan yang demikian[8].

Keempat:
Risalah beliau adalah umum bagi semesta alam dan beliau diutus kepada jin dan manusia
Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا

“Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.” (QS. Al A’raf: 158)

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba: 28)

تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا

“Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (QS. Al Furqon: 1)

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiya’: 107)

وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآَنَ فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوا أَنْصِتُوا فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَى قَوْمِهِمْ مُنْذِرِينَ

“Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: "Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)." Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.” (QS. Al Ahqaf: 29)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- berkata,

”Wajib bagi manusia untuk mengetahui bahwa Allah ‘azza wa jalla telah mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada manusia dan jin. Dan wajib bagi mereka untuk beriman kepada beliau dan beriman dengan wahyu yang beliau bawa dan mentaati beliau. Mereka (manusia) harus menghalalkan yang Allah dan Rasul-Nya halalkan dan mengharamkan yang diharamkan oleh keduanya. Mereka harus pula mencintai yang Allah dan Rasul-Nya cintai dan membenci yang Allah dan Rasul-Nya benci. Setiap orang yang telah tegak hujjah dengan risalah (wahyu) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan manusia dan jin kemudian tidak beriman padanya, maka berhak mendapat adzab Allah Ta’ala, sebagaiman orang kafir yang telah diutus rasul bagi mereka. Inilah landasan yang telah disepakati oleh sahabat, tabi’in (yang mengikuti para sahabat dengan baik), para imam kaum muslimin, dan seluruh kelompok kaum muslimin yang merupakan ahlus sunnah wal jama’ah dan selain mereka –radhiyallahu ‘anhum ajma’in-.”

Kelima: Beliau diberikan (diturunkan) Al Qur’an yang merupakan mu’jizat terbesar dan hujjah bagi para hamba. Allah sendiri yang akan menjaga Al Qur’an ini dan Allah menantang orang-orang yang meragukan Al Qur’an untuk membuat yang semisalnya.[9]

Allah Ta’ala berfirman pada para penantang Allah yang ingin membuat Al Qur’an,

قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآَنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا

”Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain." (QS. Al Isra’: 88)

Jika tidak mampu membuat seluruh Al Qur’an, Allah menantang lagi dengan cukup membuat 10 ayat. Allah berfirman,

أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

“Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al Quran itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar." (QS. Hud: 13)

Jika tidak mampu membuat 10 surat, silakan jika mampu membuat satu surat saja!!

وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

”Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah[31] satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (Al Baqarah: 23)

Keenam:
Beliau melakukan isro’ ke Baitul Maqdis dan mi’roj ke Sidrotul Muntaha

Keistimewaan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam Dari Umatnya

Di antaranya ialah:
Wajibnya shalat tahajud di waktu malam[10]
Amalan yang khusus ditetapkan untuk beliau, seperti:
Diharamkan zakat bagi beliau dan keluarganya
Dihalalkan bagi beliau puasa wishol
Dihalalkan bagi beliau menikah lebih dari empat wanita
Beliau tidak diwarisi
Tidak boleh menikahi istri beliau setelah beliau wafat[11]


Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com

[1] HR. Muslim
[2] Tingkatan mahabbah (kecintaan) yang berada di bawah khullah. (-peny)
[3] Lihat Syarh wa ta’liq al-Aqidah al-Wasithiyyah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, hal.21. (-peny)
[4] Tambahan dari editor.
[5] HR. Muslim
[6] HR. Tirmidzi, hasan shohih
[7] Satu-satunya Nabi yang diberikan hak oleh Allah untuk memberikan syafa’at pada yaumul masyhar nanti adalah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. (-peny)
[8] Yaitu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dikhususkan dengan syafa’atul ‘udzma. (-peny)
[9] Kalimat ini adalah bantahan untuk para orientalis dan kaum liberalis (yang berada di kampus-kampus Universitas Islam Negeri atau kampus paramadina) yang ingin membuat Al-Qur’an edisi revisi. Silakan mereka membuat semisal Al Quran atau 10 surat saja semisalnya atau 1 surat saja. Cobalah tantangan ini!! (tambahan editor)
[10] Ada yang berpendapat bahwa shalat tahajud adalah wajib bagi beliau hingga beliau meninggal, sebagaimana dalam ayat,”Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya).” (Al Muzzamil: 1-2). Namun pendapat yang kuat adalah wajib bagi beliau, namun perintah ini telah di-naskh/dihapus dengan firman Allah,”Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu (nafilah); mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (Al Isra’: 79). Lihat Al Irsyad ila Shohihil I’tiqod, hal. 232.
[11] Mayoritas bab ini diringkas dari Al Irsyad ila Shohihil I’tiqod, hal.229-233

Inilah Alasan Mencintai Nabi

Mencintai seseorang dapat kembali kepada 2 alasan :

Pertama, berkaitan dengan dzat orang yang dicintai
Semakin sempurna orang yang dicintai, maka di situlah tempat tumbuhnya kecintaan. Sedangkan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam adalah manusia yang paling luar biasa dan sempurna dalam akhlaq, kepribadian, sifat dan dzatnya.

Di antara sifat beliau adalah begitu perhatian pada umatnya, begitu lembut dan kasih sayang pada mereka. Sebagaimana Allah mensifati beliau dalam firman-Nya,

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

”Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)

Kedua, berkaitan dengan faedah yang akan diperoleh

Buah dari Mencintai Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
Sungguh, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam tidak butuh pada kecintaan kita padanya. Dengan adanya kecintaan ini, tidak akan menambah kedudukannya yang mulia dan tidak adanya kecintaan ini pula, tidak akan mengurangi kemuliaan beliau. Karena beliau adalah orang yang paling dicintai di sisi Allah Ta’ala.

Barang siapa yang mengikuti beliau shallallahu ’alaihi wa sallam (ittiba’), maka Allah akan mencintai dan mengampuni dosa-dosanya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

”Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)

Tidak bisa diambil faedah dari kecintaan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam kecuali bagi siapa yang mencintai beliau. Orang yang demikianlah yang akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Penjabaran dari faedah di atas dapat dilihat dalam pembahasan berikut ini.

# Mencintai Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam merupakan sebab mendapatkan manisnya iman

Allah menjadikan sebab-sebab untuk mendapatkan manisnya iman. Di antara sebab tersebut adalah mencintai Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melebihi seluruh makhluk.

Telah diriwayatkan dari Imam Bukhari dan Muslim dari Anas –radhiyallahu ’anhu- , Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

“Tiga perkara yang membuat seseorang akan mendapatkan manisnya iman yaitu : Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya, dia mencintai saudaranya, tidaklah dia mencintainya kecuali karena Allah, dan dia benci kembali pada kekufuran sebagaimana dia benci dilemparkan dalam api.”

Dan yang dimaksudkan dengan (حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ)  -sebagaimana disebutkan para ulama rahimahumullah- adalah merasakan kelezatan melakukan ketaatan, bersabar dan merasa nikmat dalam beragama, dan yang demikian juga berpengaruh pada perihal keduniaan.

# Mencintai Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam akan menjadikan seseorang bersama beliau di akhirat

Diriwayatkan dari Imam Muslim, Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Datang seorang laki-laki pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bertanya: “Kapan hari kiamat datang?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya:”Apa yang engkau persiapkan untuk hari kiamat?” Dia menjawab,”Cinta Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,”Engkau akan bersama orang yang engkau cintai.”

Anas –radhiyallahu ‘anhu- berkata: Tidaklah kami sangat bergembira setelah nikmat Islam kecuali setelah mendengar sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Engkau akan bersama orang yang engkau cintai.”

Anas –radhiyallahu ‘anhu- berkata:”Maka sungguh aku mencintai Allah, Rasul-Nya, Abu Bakar, dan Umar –radhiyallahu ‘anhuma-. Dan saya berharap bisa bersama mereka, walaupun amalanku tidaklah seperti mereka.”

Allahu akbar!! Renungkanlah begitu agung dan mulianya balasan bagi orang yang mencintai Nabi yang mulia -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.[1]

#  Mencintai Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam akan memperoleh kesempurnaan iman

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Seseorang tidaklah beriman (dengan sempurna, peny) hingga aku lebih dicintainya dari anak dan orang tuanya serta manusia seluruhnya.”[2]

Kesempurnaan iman ini hanya akan diperoleh dengan mentaati dan tunduk patuh, tanpa ada keraguan sedikitpun.

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisa’: 65)

#  Mencintai Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam merupakan bagian dari dzikrullah yang akan membuahkan hilangnya kesedihan, perbaikan keadaan, dan ampunan dosa.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَآَمَنُوا بِمَا نُزِّلَ عَلَى مُحَمَّدٍ وَهُوَ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ كَفَّرَ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَأَصْلَحَ بَالَهُمْ

“Dan orang-orang mukmin dan beramal soleh serta beriman kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah yang haq dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan mereka.” (Muhammad: 2)

Dengan dua alasan ini –yang berkaitan dengan sifat dan faedah dari mencintai beliau yang disebutkan di atas- tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.[3]

Semoga bermanfaat.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
Wisma MTI, Siang hari, 28 Jumada Tsaniyah 1428 H

--------------------------------------------------------------------------------

[1] Semoga kita termasuk orang-orang yang mencintai beliau (dengan benar) sehingga kita dapat bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam di akhirat kelak. Amin Yaa Mujibad Da’awat. (-peny)

[2] HR. Muslim

[3] Bab ini diringkas dari Huququn Nabi bainal Ijlal wal Ikhlal, hal.40-46, Hubbun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wa ‘alamatuhu, hal. 13-15. Dan ada sedikit tambahan dari editor.

Sumber: rumaysho offline

Kesyirikan pada Rajah (Azimat) dengan Tulisan Arab

Rajah biasanya merupakan sekumpulan huruf-huruf atau kalimat (yang terpenggal) membentuk suatu gambar tertentu yang dipercayai sebagai penyembuh, kesaktian, keselamatan atau pengasihan. Bentuk dan jenis hurufnya bermacam-macam, sebagian bisa dibaca dan ada yang hanya berupa huruf saja. Ada yang terkumpul seperti bulatan, kotak, segitiga dan semacamnya. Metodenya, ada yang dicampurkan air putih untuk minum atau mandi. Ada yang disuruh dimasukkan dompet, dikalungkan, ditaruh di bawah bantal atau kasur. Nah, di antara rajah-rajah yang ada biasa menggunakan tulisan Arab, bahkan menggunakan ayat Al Qur’an.

Sekilas Tentang Rajah
Dari beberapa blog atau web dukun yang bergelar “Ki …” (semacam Ki Umar, dst) kami peroleh berbagai macam cerita tentang cara membuat rajah atau azimat. Perdukunan dan klenik saat ini memang telah mengikuti perkembangan zaman, sampai-sampai banyak blog atau web yang sudah kami telusuri. Mereka menyediakan beberapa alat klenik, seperti azimat, rajah, jimat pemikat (pelet) dan semacamnya. Pemasanan dilakukan via blog dan siap dikirimkan dengan biaya ongkos kirim. Info singkat tentang rajah di sini perlu kami utarakan guna menjelaskan hukum rajah lebih lanjut.

RAJAH (wifiq) adalah benda mati yang dibuat sesorang yang mempunyai ilmu hikmah tingkat tinggi, agar  didalam RAJAH  itu mempunyai kekuatan gaib. RAJAH yang ditulis oleh ahli ilmu hikmah biasanya berupa tulisan arab, angka2, gambar, huruf2 tertentu atau simbol2 yang diketahui hanya oleh yang membuatnya. Di dalam RAJAH terdapat kode sandi yang sangat banyak sekali kurang lebih sekitar 10.333 kode sandi. Didalam rajah yang dibuat itu biasanya, sudah mengandung kekuatan gaib dan sudah berkhodam. (indospiritual.com, perguruan sinar buana surabaya)

Dalam menulis rajah pun mesti ada aturan. Tidak bisa asal-asalan.

Di dalam menulis RAJAH itu ada aturan, tata cara, waktu dan sarana yang harus ditaati, apabila ada salah satu tata cara menulis RAJAH tidak ditaati maka fungsi RAJAH yang ditulis pun tidak sempurna dan reaksinyapun sangat lama sekali , walaupun tetap bisa digunakan ala kadarnya. Di dalam menulis RAJAH harus suci terlebih dahulu bagi yang muslim, bagi non muslim cukup wudhu sebisanya, dan menulis RAJAH itu juga ada ilmu khususnya. Untuk menulis RAJAH bisa menggunakan pensil, pena, sepidol atau yang menurut anda bisa digunakan menulis. (indospiritual.com, perguruan sinar buana surabaya)

Dalam menulis rajah harus dengan aturan tertentu, seperti dalam keadaan suci, harus khusyu’ ketika menulis, nafas harus cepat keluar lewat lubang hidung sebelah kanan atau bisa dengan tahan nafas dan memakai wewangian ketika menulis. Sampai-sampai dianjurkan ketika membuat rajah dengan menghadap kiblat (rohjati.blogspot.com).

Lihat saja ritual yang aneh yang mereka persyaratkan ketika membuat rajah. Dari mana mereka dapatkan bahwa hanya menulis harus dengan bersuci, lebih-lebih lagi tahan nafas dan nafas harus keluar cepat, ditambah lagi menulis saja kok harus pakai wewangian.
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura: 21). Dari mana para dukun tersebut mensyariatkan adanya ibadah tertentu dalam penulisan rajah?! Apakah itu wangsit dari jin atau setan atau khodam mereka? Subhanallah …. Ini baru bantahan dari satu sisi dalam hal penulisan rajah. Namun bukan di sini inti pembahasan kami.

Berikut ini satu contoh lagi ajaran bid’ah yang dibuat-buat oleh para dukun yang tidak berdasarkan dalil sama sekali.

Sebelum melakukan penulisan rajah diawali membaca doa ini 3 x: “Bismillahir rohmanir rohim. Qul uhiya ilay’ya anahustama’a nafarun minal jinni wa bihaqqi Kaf Haa Yaa Aiin Shood wa bihaqqi Haa Miim AiinSiin Qoof”
Kemudian dilanjutkan dengan melakukan meditasi sejenak (menjalin energi ghaib) setelah itu baru dilakukan penulisan rajah.
Rajah yang telah selesai ditulis kemudian dillipat dan dibungkus dengan kain lapis 7, agar tidak mudah rusak dan kotor apabila dibawa-bawa.
Saat akan melipat atau membungkus Rajah bacalah :
Surat Al fatihah (1x)
Innaa fatahnaa laka fat’ham mubiinaa (3x)
(Artinya: Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata)
Nasrun minallahi wa fat’hun qoribun, wa bas’syiril mu’miniin (3x)
(Artinya: Pertolongan dari Allah dan kemengan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman)
Allohuma sholi ala sayidina muhammadin (3x)
(Artinya: Ya Allah, limpahkanlah rahmatmu kepada junjungan kami Muhammad)
Astagfirullah hal ‘adhim (3x)
(Artinya: Aku memohan ampun kepada Allah Yang Maha Agung)
Laa illaaha illaallah (3x)
(Artinya: Tidak ada Tuhan selain Allah)
Inna taqorruban ilallohil aliyyil adhim (3x)
(Artinya: Bahwasanya ini merupakan taqorrub kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung) (rohjati.blogspot.com)

Itulah wirid-wirid yang dibaca ketika membuat rajah. Mulai dari membaca beberapa ayat dari surat Al Jin, membaca huruf-huruf muqotho’ah, surat Al Fatihah, ayat dari surat Al Fath, bacaan shalawat, diiringi dengan meditasi. Bacaan-bacan ini jelas bacaan mulia dan dinilai sebagai suatu ibadah. Namun menempatkannya sebagai wirid-wirid ketika membuat rajah (azimat) dari manakah dalilnya padahal rajah-rajah ini akan digunakan untuk pelet, penglaris, dsb. Padahal dalam menentukan semacam itu harus dengan dalil. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Ada pula wirid yang lucu yang dibaca ketika membuat rajah,

NIAT INGSUN NGAPEK BANYU TELOGO INNA A'TOINA KAL JAWAHIR FASOLLILIROBIKA WANHAR INNASAA NIAKA HUAL ANHAR IYYA KANAK BUDU WAIYYA KANAS TAIN.( DISAAT BACAAN NAS TAIN) TINTA DITEMPELKAN KE KERTAS DILANJUT NULIS RAJAH SAMPAI SELESAI. …

Dilihat dari segi bahasa saja sudah sangat lucu dan sungguh mengada-ada bacaan yang satu ini, cuma asal memotong-motong ayat Qur’an. Na’udzu billah …

Aturan lainnya dalam menulis rajah yaitu rajah (azimat) hanya boleh ditulis oleh pewaris yang telah memiliki ijazah. Jika tidak ditulis oleh mereka-mereka, maka azimatnya bisa jadi tidak ampuh karena belum mendapatkan izin. Penulis anggap, “Kenapa mesti dapat izin?” Perasaan kami, karena ini masalah duit saja. Karena untuk mendapatkan ijazah itu butuh duit, ada uang pendaftaran. Intinya ilmu-ilmu penglaris semacam ini ujung-ujungnya kembali pada fulus dan duit sehingga mereka tidak mau tinggalkan karena penghasilan mereka bisa musnah (Rasasejati.wordpress.com menyebutkan cara untuk menjadi pewaris ilmu rajah).

Contoh-contoh rajah, kami tampilkan dalam gambar berikut ini.



Ada beberapa pelajaran tentang rajah yang bisa kami simpulkan guna untuk bahasan selanjutnya:
  1. Rajah dibuat dengan ilmu khusus (ilmu yang aneh-aneh dan mengada-ada), tidak bisa sembarang orang bisa membuatnya.
  2. Pembuktian ampuhnya rajah bukanlah dengan cara ilmiah dengan eksperimen. Lihat saja pernyataan para dukun sendiri, “RAJAH yang dibuat menggunakan ILMU RAJAH biasanya bisa ditest menggunakan beberapa cara, dari menggunakan terawangan, getaran, dialog dengan khodam, atau melihat cahaya didalam tulisan dengan doa2 tertentu dll. Selama kita mengetes RAJAH yang kita buat , biasanya kita akan mengalami suatu keanehan keanehan sesuai tata cara mengetes RAJAH , ada yang melihat cahaya didalam RAJAH, ada angin yang tiba2 menerpa kita, ada jin yang mau menampakan pada kita dll sesuai RAJAH yang kita buat.” Artinya ini bukanlah sebab yang terbukti secara syar’i seperti madu dan bukan sebab yang terbukti lewat eksperimen ilmiah seperti obat.
  3. Untuk menyingkap tentang arti dan makna suatu Rajah dibutuhkan ilmu dan pengetahuan khusus, yang melibatkan hati dan rasa (Spiritual). Biasanya ini hanya diketahui oleh para ahli rajah dan paranormal. Ini menunjukkan bahwa rajah tidak bisa dibaca oleh sembarang orang. Hanya para dukun saja yang bisa. Artinya walaupun yang ditulis adalah tulisan Arab, namun itu belum tentu ada makna dan bisa dibaca.
  4. Tulisan dalam rajah biasa dengan tulisan Arab dan kadang dengan potongan ayat Al Qur’an.
Lalu bolehkan azimat atau jimat dari ayat Al Qur’an? Ini yang akan kita bahas selanjutnya.

Dalil Larangan Tamimah
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلاَ أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ اللَّهُ لَهُ
Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada tamimah (jimat), maka Allah tidak akan menyelesaikan urusannya. Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada kerang (untuk mencegah dari ‘ain, yaitu mata hasad atau iri, pen), maka Allah tidak akan memberikan kepadanya jaminan” (HR. Ahmad 4: 154. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan –dilihat dari jalur lain-).

Dalam riwayat lain disebutkan,
مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
Barangsiapa yang menggantungkan tamimah (jimat), maka ia telah berbuat syirik” (HR. Ahmad 4: 156. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy atau kuat. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 492).

Hadits ini menunjukkan bahwa memakai azimat dan rajah termasuk di dalamnya dan dihukumi syirik. Dahulu  memang tamimah dimaksudkan untuk gelang dan lainnya yang digunakan sebagai azimat dan sengaja dipakai dengan tujuan untuk mencegah ‘ain, yaitu penyakit mata hasad (iri). Karena pandangan orang yang iri, anak kecil bisa menangis terus menerus dan itulah yang disebut ‘ain. Orang jahiliyah dahulu bahkan di masyarakat kita masih ada yang mencegah penyakit ‘ain ini dengan gelang atau kalung di antara yang disebut dengan ‘benang pawitra’.  Para ulama menjelaskan bahwa tamimah, lebih luas dari itu.

Tamimah adalah segala sesuatu yang digantung –di rumah misalnya-, dipakai –berupa kalung atau gelang misalnya-, diikat –berupa sabuk, rompi rajah misalnya-, baik berupa tulisan Arab, dari bacaan Al Qur’an, suatu benda pusaka ataukah dari selainnya, dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat -seperti sembuh dari penyakit atau melariskan barang dagangan, membuat orang lain semakin cinta-, atau untuk mencegah bahaya, -seperti tercegah dari suatu penyakit, sebagai penangkal atau rumah akan dilindungi dari berbagai tindak kejahatan-.

Dari ‘Imron bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَبْصَرَ عَلَى عَضُدِ رَجُلٍ حَلْقَةً أُرَاهُ قَالَ مِنْ صُفْرٍ فَقَالَ « وَيْحَكَ مَا هَذِهِ ». قَالَ مِنَ الْوَاهِنَةِ قَالَ « أَمَا إِنَّهَا لاَ تَزِيدُكَ إِلاَّ وَهْناً انْبِذْهَا عَنْكَ فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِىَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَداً
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat di lengan seorang pria gelang yang dinampakkan padanya. Pria tersebut berkata bahwa gelang itu terbuat dari kuningan. Lalu beliau berkata, “Untuk apa engkau memakainya?” Pria tadi menjawab, “(Ini dipasang untuk mencegah dari) wahinah (penyakit yang ada di lengan atas). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Gelang tadi malah membuatmu semakin lemah. Buanglah! Seandainya engkau mati dalam keadaan masih mengenakan gelang tersebut, engkau tidak akan beruntung selamanya.” (HR. Ahmad 4: 445 dan Ibnu Majah no. 3531).

Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang memakai azimat apa pun tujuannya tidak akan beruntung selamanya. Dan ini tanda bahwa memakai azimat termasuk dosa besar.

Hadits berikut menceritakan bahwa dahulu tamimah itu berupa kalung dan digunakan untuk melindungi unta dari ‘ain dan penyakit lainnya, artinya digunakan sebagai azimat. Sehingga ‘ain itu bukan hanya penyakit hasad pada manusia saja, juga terdapat pada hewan.
عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ أَنَّ أَبَا بَشِيرٍ الأَنْصَارِىَّ - رضى الله عنه - أَخْبَرَهُ أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فِى بَعْضِ أَسْفَارِهِ - قَالَ عَبْدُ اللَّهِ حَسِبْتُ أَنَّهُ قَالَ - وَالنَّاسُ فِى مَبِيتِهِمْ ، فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - رَسُولاً أَنْ لاَ يَبْقَيَنَّ فِى رَقَبَةِ بَعِيرٍ قِلاَدَةٌ مِنْ وَتَرٍ أَوْ قِلاَدَةٌ إِلاَّ قُطِعَتْ
Dari ‘Abbad bin Tamim, bahwasanya Abu Basyir Al Anshori radhiyallahu ‘anhu mengabarkan padanya bahwa ia suatu saat pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebagian safarnya. ‘Abdullah berkata bahwa ia menyangka orang-orang saat itu sedang tidur. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengutus seseorang agar tidak membiarkan kalung (dari tali busur) atau kalung pada leher unta melainkan dipotong  (HR. Bukhari no. 3005 dan Muslim no. 2115).

Ada pelajaran penting dalam hadits di atas. Inilah pengingkaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap kesyirikan, sampai memotong jimat-jimat yang ada. Dan pengingkaran kesyirikan lebih mesti diprioritaskan daripada pengingkaran pada maksiat lainnya, walaupun itu juga dosa atau termasuk dosa besar. Karena orang yang mengingkari berbagai tradisi kesyirikan, berbagai bentuk sihir dan perdukunan atau klenik, akan membersihkan masyarakat dari berbagai macam khurofarat dan membersihkan negeri kaum muslimin dari bentuk peribadahan pada kubur. Keutamaan mengingkari kesyirikan ini lebih besar dari pengingkaran pada perzinaan, pencurian, korupsi, dan minuman keras. Apalagi yang diingkari adalah syirik akbar yang bisa membuat pelakunya murtad.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
Sesungguhnya mantera-mantera, jimat-jimat dan pelet adalah syirik” (HR. Abu Daud no. 3883, Ibnu Majah no. 3530 dan Ahmad 1: 381. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Hadits ini menambahkan bahwa pelet untuk mengikat cinta apa pun bentuknya, baik susuk atau bulu perindu juga termasuk perbuatan syirik.

Dari Ruwaifi’ bin Tsabit berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya,
يَا رُوَيْفِعُ لَعَلَّ الْحَيَاةَ سَتَطُولُ بِكَ بَعْدِى فَأَخْبِرِ النَّاسَ أَنَّهُ مَنْ عَقَدَ لِحْيَتَهُ أَوْ تَقَلَّدَ وَتَرًا أَوِ اسْتَنْجَى بِرَجِيعِ دَابَّةٍ أَوْ عَظْمٍ فَإِنَّ مُحَمَّدًا -صلى الله عليه وسلم- مِنْهُ بَرِىءٌ
Wahai Ruwaifi’, semoga umurmu panjang sepeninggalku. Katakanlah pada orang-orang bahwa siapa saja yang mengikat jenggotnya (dalam rangka sombong atau untuk mempercantik diri seperti wanita, pen) atau memakai kalung atau beristinja’ dengan kotoran hewan atau dengan tulang, maka Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- benar-benar berlepas diri darinya (dari pelaku dan perbuatannya).” (HR. Abu Daud no. 36, An Nasai no. 5067 dan Ahmad 4: 108. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Sahabat Sa’id bin Jubair radhiyallahu ‘anhu berkata,
من قطع تميمة عن إنسان كان كعدل رقبة
Barangsiapa yang memotong tamimah dari seseorang, maka ia seperti membebaskan seorang budak” (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 5: 36).

Tamimah dari Ayat Al Qur’an
Bagaimana jika tamimah atau jimat berasal dari Al Qur’an? Seperti seseorang menggantung mushaf Al Qur’an di rumahnya untuk melindungi rumah dari gangguan dan makhluk jahat, atau menggantungkan surat Al Ikhlas di dadanya. Semisal ini pula yaitu menggantungkan ayat kursi di dinding rumah agar rumah tidak kemasukan setan dan makhluk jahat.

Untuk masalah tamimah berasal dari Al Qur’an para ulama berselisih pendapat. Sebagian ulama memberikan keringanan, sebagian lagi tetap melarang. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Mas’ud. (Lihat Kitab Tauhid, Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab)

Dalil ulama yang membolehkan tamimah dari Al Qur’an yaitu di antaranya firman Allah Ta’ala,
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآَنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Al Isro’: 82).

Ulama yang melarang tamimah dari Al Qur’an beralasan:

Pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
Sesungguhnya mantera-mantera, jimat-jimat dan pelet adalah syirik”.
Hadits ini umum menunjukkan seluruh tamimah, baik dari Al Qur’an atau selainnya. Jadi seluruh tamimah itu syirik. Namun mengatakan bahwa tamimah dari Al Qur’an itu syirik tidaklah tepat karena yang digantung adalah kalamullah.

Kedua, tamimah yang berasal dari Al Qur’an bisa jadi dibawa ke tempat kotor seperti toilet sehingga jadinya malah melecehkan Al Qur’an.

Ketiga, tidak bisa dibedakan apakah itu tamimah ataukah itu Qur’an sehingga sulit diingkari.

Keempat, tidak bisa dibedakan manakah ayat Qur’an dan manakah rajah-rajah yang berbau syirik karena sama-sama tulisan Arab. Sehingga seseorang bisa memakainya padahal itu hanyalah tulisan rajah yang tidak bermakna.

Pendapat kedua yang menyatakan tamimah dari Al Qur’an itu terlarang, itulah yang lebih tepat dengan alasan untuk saddudz dzaro’i, yaitu menutup jalan dari hal-hal yang terlarang. Kaedah inilah yang diterapkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah.

Adapun mafsadat (kerusakan) dari menggantung tamimah dari Al Qur’an adalah sebagai berikut:
  1. Bisa membuat rancu, apakah yang digantung itu Al Qur’an ataukah memang azimat.
  2. Orang yang jahil (bodoh) ketika ia menggantungkan tamimah dari Al Qur’an, maka hatinya bergantung padanya, menganggap bahwa tamimah tersebut punya keistimewaan, bisa membuat rizki lancar, rumah terlindungi, dst. Padahal Al Qur’an itu cuma digantung, tidak dipelajari dan ditadabburi.
  3. Al Qur’an jadi dilecehkan dan dihinakan, karena tamimah semacam ini bisa dibawa tidur sehingga akhirnya ditindih atau bisa dibawa ke tempat kotor seperti toilet.
Dari sini seseorang tetap tidak boleh atau diharamkan menggunakan jimat, azimat atau rajah dari Al Qur’an. Wallahu a’lam.

Simak pembahasan rumaysho.com lainnya: Hukum Memajang Ayat Kursi.

Sebenarnya: Rajah Berbeda dengan Tamimah dari Ayat Al Qur’an
Namun sebenarnya rajah yang ada bukanlah dari Al Qur’an. Lihat saja rajah yang ada hanya berupa huruf, bahkan kadang tidak bermakna. Jika memang jelas bukan dari ayat Qur’an, hanya berupa huruf-huruf atau angka-angka Arab saja, jelas syiriknya.
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
Sesungguhnya mantera-mantera, jimat-jimat dan pelet adalah syirik”.

- Lihatlah azimat berikut, jelas tidak bermakna dan tidak diketahui maksud tulisan ini -
rajah_2

Rajah Cuma Sebagai Sebab?
Ini perkataan seorang dukun, di mana kita bisa memesan azimat atau berbagai macam rajah darinya:
Bagi saya, Azimat / rajah hanya sekedar sarana, daya dan kekuatan tetap dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Mulai dari sini kita akan semakin menyadari, bukan hanya sekedar tahu, salah satu keagungan dari asma suci-NYA. (Ki Umar Jogja)
Inilah keyakinan pengguna rajah secara umum, mereka meyakini rajah hanyalah sebagai sarana atau sebab, sedangkan yang menyembuhkan dan memberikan kekuatan adalah Allah. Keyakinan semacam ini pun tetap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam larang. Coba perhatikan hadits berikut.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat di lengan seorang pria gelang yang dinampakkan padanya. Pria tersebut berkata bahwa gelang itu terbuat dari kuningan. Lalu beliau berkata, “Untuk apa engkau memakainya?” Pria tadi menjawab, “(Ini dipasang untuk mencegah dari) wahinah (penyakit yang ada di lengan atas). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Gelang tadi malah membuatmu semakin lemah. Buanglah! Seandainya engkau mati dalam keadaan masih mengenakan gelang tersebut, engkau tidak akan beruntung selamanya.” (HR. Ahmad 4: 445 dan Ibnu Majah no. 3531).

Lihatlah keyakinan pria dalam hadits ini sama persis dengan Ki Umar, yaitu gelang tadi hanyalah sebagai sebab, namun tetap yang menyembuhkan adalah Allah. Ini pun tetap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam larang. Bahkan beliau katakan pemakai azimat semacam ini tidak akan beruntung selamanya. Jadi kita paham bahwa dengan alasan semacam itu pun, tetap azimat dinilai syirik.

Sedangkan jika meyakini bahwa azimat atau rajah itu yang mendatangkan kesembuhan dan kekuatan, bukan Allah, ini lebih parah lagi karena orang yang meyakininya telah terjerumus dalam syirik akbar yang mengeluarkannya dari Islam. Sedangkan yang pertama seperti keyakinan umumnya orang termasuk syirik ashgor (syirik kecil). Namun tetap syirik kecil lebih parah dari dosa besar. Ingat baik-baik hal ini!
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS An Nisa: 48)

Lalu bagaimana dengan obat? Rajah berbeda dengan obat yang telah diuji keampuhannya dari eksperimen ilmiah. Juga beda halnya dengan madu dan hababatus sauda, karena obat-obat ini telah ada bukti otentik dalam berbagai hadits. Sedangkan rajah, tidaklah demikian. Pembuktian rajah hanya melalui khodam atau penentian jin. Ini bukan ilmiah, namun ini mengada-ada. Jadi sekali lagi dalam pengambilan sebab, ingatlah 3 syarat:
  1. Sebab yang diambil benar terbukti secara syar’i akan ampuhnya atau lewat eksperimen ilmiah.
  2. Sebab yang telah terbukti tidak menjadi tempat bergantung, namun bergantungnya hati hanyalah pada Allah.
  3. Keampuhan sebab hanyalah dengan takdir atau ketentuan Allah.
Ya Allah, lindungilah kami dan keturunan kami dari segala macam bentuk kesyirikan. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Referensi:
  1. At Tamhid Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Sholeh bin ‘Abdul ‘Aziz ‘Alu Syaikh, terbitan Darut Tauhid, cetakan pertama, 1423 H.
  2. Fathul Majid Syarh Kitab At Tauhid, Syaikh 'Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, terbitan Darul Ifta', cetakan ketujuh, 1431 H.
  3. Syarh Kitab At Tauhid, Syaikh Hamd bin 'Abdullah Al Hamd, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan kedua, 1431 H.

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 3 Robi’ul Awwal 1433 H
www.rumaysho.com

Berkah Bukan Dari Jimat Penglaris

Ada sebuah kisah mengenai seseorang yang dagangannya bebas dari jimat penglaris, tapi –masya Allah- tetap laris. Ia menceritakan:

Kami tertawa, saat sahabat saya menceritakan bahwa ketika dia di pasar tuk membeli beberapa bahan baku buat mie xxx, ada pedagang yang bertanya tentang apa sih jimat penglarisan mie xxx sehingga laris terus dan cepat sekali maju usahanya. Pedagang tersebut percaya kalau usaha bisa laris kalau jimat penglarisannya itu bagus. Hehe, mungkin memang jimat penglarisan dia gak manjur makanya bertanya pada sahabat saya, kali aja ada bocoran. Terang saja sahabat saya pun tersenyum. Karena kami memang tak mengenal jimat penglarisan. Jangankan jimat penglarisan, nepok-nepok dagangan pakai uang penghasilan pertama terus bilang “penglaris, penglaris” aja tidak, apalagi beneran pakai jimat. (Sumber)

Itulah keyakinan sebagian masyarakat kita yang masih awam dan masih menganut tradisi dahulu, tanpa berpikir logis. Ada yang sangka bahwa dagangan hanyalah bisa laris dengan jimat penglaris. Anggapan semacam ini seakan-akan mematahkan prinsip pemasaran yang sudah diajarkan para ekonom. Masa’ dengan penglaris saja bisa meningkatkan pemasaran? Kadang gak masuk di logika. Sama dengan orang yang menyatakan tumbal kepala kerbau tidak akan membuat jembatan ambruk lagi. Mana nyambungnya?

Datangnya Keberkahan
Barokah atau keberkahan dalam Al Qur’an dan As Sunnah bermakna langgengnya kebaikan, kadang pula bermakna bertambahnya kebaikan dan bahkan bisa bermakna kedua-duanya. Dan perlu dipahami bahwa segala kebaikan itu datang dari Allah, bukan dari makhluk yang tidak memiliki apa-apa. Allah Ta’ala berfirman,
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. Ali Imron: 26).

Yang dimaksud ayat “di tangan Allah-lah segala kebaikan” adalah segala kebaikan tersebut atas kuasa Allah. Tiada seorang pun yang dapat mendatangkannya kecuali atas kuasa-Nya. Karena Allah-lah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Demikian penjelasan dari Ath Thobari rahimahullah sebagaimana dalam Jaami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an (6: 301).

Dalam sebuah do’a istiftah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan,
وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِى يَدَيْكَ
Seluruh kebaikan di tangan-Mu.” (HR. Muslim no. 771)

Begitu juga dalam beberapa ayat lainnya disebutkan bahwa nikmat (yang merupakan bagian dari kebaikan) itu juga berasal dari Allah. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ
Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, Maka dari Allah-lah (datangnya)” (QS. An Nahl: 53).

قُلْ إِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ
Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah” (QS. Ali Imron: 73).

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا
Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghitungnya” (QS. Ibrahim: 34 dan An Nahl: 18).

Setelah kita mengerti dengan penjelasan di atas, maka untuk meraih barokah sudah dijelaskan oleh syari’at Islam yang mulia ini. Sehingga jika seseorang mencari berkah namun di luar apa yang telah dituntunkan oleh Islam, maka ia berarti telah menempuh jalan yang keliru. Karena ingatlah sekali lagi bahwa datangnya barokah atau kebaikan hanyalah dari Allah. Termasuk dalam hal ini menggapai barokahnya rizki dan larisnya dagangan, mesti dengan meniti jalan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam karena itulah jalan yang Allah tunjuki.

Coba kita perhatikan di antara contohnya adalah meraih berkah ketika berdagang yaitu dengan modal jujur. Ketika ada ‘aib pada barang dagangan, lalu kita terang-terangan menjelaskan pada pembeli, itulah di antara sebab datang barokah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
Orang yang bertransaksi jual beli masing-masing memilki hak khiyar (membatalkan atau melanjutkan transaksi) selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan terbuka, maka keduanya akan mendapatkan keberkahan dalam jual beli, tapi jika keduanya berdusta dan tidak terbuka, maka keberkahan jual beli antara keduanya akan hilang” (HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532).

Ketika seseorang mencari harta dengan tidak diliputi rasa tamak atau dengan sifat qona’ah (penuh rasa cukup_, maka keberkahan pun akan mudah datang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada Hakim bin Hizam,
يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ ، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ كَالَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ ، الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى
Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu hijau lagi manis. Barangsiapa yang mencarinya untuk kedermawanan dirinya (tidak tamak dan tidak mengemis), maka harta itu akan memberkahinya. Namun barangsiapa yang mencarinya untuk keserakahan, maka harta itu tidak akan memberkahinya, seperti orang yang makan namun tidak kenyang. Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah” (HR. Bukhari no. 1472).

Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Qona’ah dan selalu merasa cukup dengan harta yang dicari akan senantiasa mendatangkan keberkahan. Sedangkan mencari harta dengan ketamakan, maka seperti itu tidak mendatangkan keberkahan dan keberkahan pun akan sirna.” (Syarh Ibni Batthol, 6: 48)

Namun modal utama untuk meraih berkah dari hal-hal yang dicontohkan di atas adalah dengan sifat takwa. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’rof: 96). Maka perbanyaklah ketaatan dan perbaiki ketakwaan, maka keberkahan akan mudah turun di tengah-tengah kita.

Jimat Penglaris Menjauhkan dari Berkah
Jika ketaatan dan ketakwaan adalah jalan mudah meraih berkah, sebaliknya segala macam maksiat menjauhkan dari berkah.

Ibnul Qayyim rahimahullah yang ma’ruf dengan kalimat-kalimat penyejuk hati berkata, “Di antara akibat dari berbuat maksiat adalah hilangnya nikmat dan datangnya bencana. Tidaklah suatu nikmat itu hilang melainkan karena dosa, begitu pula halnya suatu bencana datang juga karena dosa. Dan mengangkat musibah tersebut hanyalah dengan taubat. Sebagaimana kata ‘Ali bin Abi Tholib, “Tidaklah musibah itu turun melainkan karena dosa. Musibah itu bisa terangkat hanyalah dengan taubat.” (Ad Daa’ wad Dawaa’, 113)

Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura: 30).

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Al Anfal: 53).

Demikianlah dengan jimat penglaris yang termasuk syirik akan menjauhkan dari berkah. Bukti bahwa jimat penglaris adalah kesyirikan dan syirik termasuk maksiat terbesar dapat dilihat pada hadits berikut ini.

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلاَ أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ اللَّهُ لَهُ
Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada tamimah (jimat), maka Allah tidak akan menyelesaikan urusannya. Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada kerang (untuk mencegah dari ‘ain, yaitu mata hasad atau iri, pen), maka Allah tidak akan memberikan kepadanya jaminan” (HR. Ahmad 4: 154. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan –dilihat dari jalur lain-).

Dalam riwayat lain disebutkan,
مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
Barangsiapa yang menggantungkan tamimah (jimat), maka ia telah berbuat syirik” (HR. Ahmad 4: 156. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy atau kuat. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 492).

Jika dikatakan bahwa orang yang memakai tamimah atau jimat tidak akan dibantu dalam urusan, maka ini menunjukkan bahwa keberkahan tidak akan menghampirinya. Dan sudah sangat jelas bahwa memakai atau menggantungkan jimat termasuk dalam kategori syirik. Karena pemakai jimat sangat bergantung pada jimat tersebut, padahal jimat penglaris hanyalah sebab yang mengada-ada, secara ilmiah tidak terbukti sebagai penglaris. Barangkali cuma karena sugesti atau hanya sekedar bukti sekali dua kali, dagangannya bisa laris. Namun belum tentu terbukti laris bagi yang lain. Bahkan yang tidak memakai jimat penglaris, malah lebih laris. Ketergantungan hati pada jimat-jimat yang serba aneh ini yang dinilai syirik. Di sini para ulama memberikan rincian sebagai berikut:
  1. Jika yakin bahwa tamimah atau jimat bisa mendatangkan manfaat dan menolak bahaya (mudhorot), maka ini termasuk syirik akbar. Karena yang mendatangkan manfaat dan bisa menolak bahaya hanyalah Allah, bukanlah jimat.
  2. Jika yakin bahwa jimat hanyalah sebagai sebab atau sarana untuk penyembuhan –misalnya-, namun yang sebenarnya menyembuhkan adalah Allah, maka ini termasuk syirik ashgor. Demikianlah keyakinan kebanyakan orang yang memakai jimat pada umumnya. Hal ini tetap dinilai syirik karena adanya ketergantungan hati pada jimat, bukan pada Allah dan jimat sendiri tidak terbukti ampuh secara syar’i maupun empiris.
Tawakkal, Itu Kunci Sukses
Barangsiapa yang menjadikan hatinya bergantung pada Allah, itulah yang membuat urusannya mudah. Bukan bergantung pada jimat yang katanya bisa memudahkan urusan dan melariskan dagangan. Namanya tawakkal memang dengan memenuhi dua rukun, yaitu melakukan sebab dan bergantungnya hati pada Allah. Namun sebab yang dimaksudkan di sini adalah sebab yang dibolehkan, bukan sembarang sebab dan mengada-ada.

Dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Ukaim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
Barangsiapa menggantung hati pada sesuatu, urusannya akan diserahkan padanya” (HR. Tirmidzi no. 2072 dan Ahmad 4: 310. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Barangsiapa menggantungkan hatinya pada jimat, maka Allah akan menyerahkan urusan orang tersebut pada benda-benda tadi dan Allah akan menghinakannya. Beda halnya jika Allah yang dijadikan tempat bergantung. Jika seseorang bergantung pada Allah, maka urusannya akan diselesaikan oleh Allah, yang sulit akan menjadi mudah, dan yang jauh akan didekatkan. Jika Allah yang menjadi sandaran, maka sebagaimana disebutkan dalam ayat,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Tholaq: 3).

Yakin Allah Pemberi Rizki
Kita sudah sangat yakin bahwa Allah-lah pemberi rizki sebagaimana firman-Nya,
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ
Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?" Katakanlah: "Allah.” (QS. Saba’: 24)

Selain Allah sama sekali tidak dapat memberi rizki. Allah Ta’ala berfirman,
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَمْلِكُ لَهُمْ رِزْقًا مِنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ شَيْئًا وَلَا يَسْتَطِيعُونَ
Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberikan rizki kepada mereka sedikitpun dari langit dan bumi, dan tidak berkuasa (sedikit juapun).” (QS. An Nahl: 73)

Namun perlu dipahami bahwa Allah memiliki berbagai hikmah dalam pemberian rizki. Ada yang Allah jadikan kaya dengan banyaknya rizki dan harta. Ada pula yang dijadikan miskin. Ada hikmah berharga di balik itu semua. Allah Ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ
Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rizki.” (QS. An Nahl: 71)

Dalam ayat lain disebutkan,
إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rizki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS. Al Isro’: 30)

Dalam ayat kedua di atas, di akhir ayat Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya”. Ibnu Katsir menjelaskan maksud penggalan ayat terakhir tersebut, “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat manakah di antara hamba-Nya yang pantas kaya dan pantas miskin.” Sebelumnya beliau rahimahullah berkata, “Allah menjadikan kaya dan miskin bagi siapa saja yang Allah kehendaki. Di balik itu semua ada hikmah.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘zhim, Ibnu Katsir, 8: 479)

Jika kita sudah memahami hal rizki ini, maka tidak perlu lagi ada rasa cemburu sesama pedagang. Yang namanya dagang, pasti ada yang amat laris dan ada yang biasa-biasa saja. Itu semua ada hikmahnya. Karena barangkali jika Allah membuat semuanya laris, nanti malah semakin sombong. Ingatlah, Allah tidaklah menakdirkan sesuatu dengan sia-sia. Sehingga jika sudah dipahami, maka mengapa mesti ada yang pakai jimat penglaris? Pemakaian jimat ini bisa jadi muncul karena rasa iri, tidak memahami rizki makhluk yang berbeda-beda dan tidak mengetahui hikmah Allah sehingga akhirnya syirik jimatlah yang diterjang.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 8 Rabi’ul Awwal 1433 H
www.rumaysho.com

Kesyirikan pada Jimat dan Rajah

Negeri ini menyimpan begitu banyak kekayaan, itu patut kita syukuri. Sayangnya, banyak kekayaan berupa jimat-jimat tradisional yang justru malah menyesatkan pemiliknya. Maklum, masyarakat kita masih banyak yang mencampuradukkan antara klenik dan akidah. Jimat lainnya, ada yang berupa penglaris dagang dan untuk menambah kesaktian. Jimat yang berupa tulisan disebut dengan rajah. Tulisan berikut akan memberikan contoh berbagai macam jimat dan rajah, serta membuktikan pula kesyirikan benda-benda tersebut.  

Mengenal Tamimah
Tamimah pada asalnya digunakan untuk mencegah ‘ain, yaitu pandangan dari mata hasad (dengki). Dengan pandangan yang hasad, seorang anak bisa menangis terus menerus, atau lumpuh atau terkena penyakit. Untuk melindungi anak kecil dari penyakit ‘ain ini, di masa silam –zaman Jahiliyah- digunakanlah tamimah, yang bentuk pluralnya tamaa-im. Ketika  Islam datang, tamimah atau jimat semacam ini dihapus (Lihat Fathul Majid, 131).

Namun tamimah beralih digunakan lebih umum yaitu pada segala sesuatu yang digantung untuk mencegah ‘ain atau lainnya, baik berupa gelang, kalung, benang, atau ikatan. Ini semua disebut tamimah. Nah, kalau di sekitar kita, jimat dan rajah dengan berbagai macam bentuknya dengan berbagai macam penggunaan, itulah yang termasuk dalam tamimah.

Di sekeliling kita, tamimah dapat berupa keris untuk melindungi rumah misalnya, berupa benang pawitra untuk melindungi anak agar tidak terkena bahaya, dan berupa tulisan rajah yang dipasang di atas pintu masuk warung untuk melariskan dagangan.

Berikut contoh-contoh jimat dan rajah yang kami peroleh. Kadang jimat ini menjadi sarangnya jin, namun masih disimpan di rumah-rumah sebagai benda pusaka dan tujuan lainnya.



Dalil Larangan Jimat dan Rajah
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah". Katakanlah: "Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?. Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku". Kepada-Nya-lah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.” (QS. Az Zumar: 38)

Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh rahimahullah –penulis Fathul Majid- berkata, “Ayat ini dan semisalnya adalah dalil yang menunjukkan tidak bolehnya menggantungkan hati kepada selain Allah ketika ingin meraih manfaat atau menolak bahaya. Ketergantungan hati kepada selain Allah dalam hal itu termasuk kesyirikan“ (Fathul Majid, 127-128).

Jimat dan rajah termasuk yang dimaksudkan dalam ayat yang mulia ini. Karena orang yang memakai jimat dan memasang rajah di dinding dan tempat lainnya, bermaksud untuk mendatangkan manfaat –seperti dagangannya laris atau agar penyakitnya sembuh- atau ingin menolak mudhorot (bahaya) –seperti menolak ‘ain (mata dengki) atau menolak wabah penyakit-.

Dari ‘Imron bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَبْصَرَ عَلَى عَضُدِ رَجُلٍ حَلْقَةً أُرَاهُ قَالَ مِنْ صُفْرٍ فَقَالَ « وَيْحَكَ مَا هَذِهِ ». قَالَ مِنَ الْوَاهِنَةِ قَالَ « أَمَا إِنَّهَا لاَ تَزِيدُكَ إِلاَّ وَهْناً انْبِذْهَا عَنْكَ فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِىَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَداً
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat di lengan seorang pria gelang yang dinampakkan padanya. Pria tersebut berkata bahwa gelang itu terbuat dari kuningan. Lalu beliau berkata, “Untuk apa engkau memakainya?” Pria tadi menjawab, “(Ini dipasang untuk mencegah dari) wahinah (penyakit yang ada di lengan atas). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Gelang tadi malah membuatmu semakin lemah. Buanglah! Seandainya engkau mati dalam keadaan masih mengenakan gelang tersebut, engkau tidak akan beruntung selamanya.” (HR. Ahmad 4: 445 dan Ibnu Majah no. 3531).

Al Hakim mengatakan, “Kebanyakan guru kami berpendapat bahwa Hasan Al Bashri mendengar hadits ini langsung dari ‘Imron (Lihat Fathul Majid, 128). Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz termasuk  ulama yang menyatakan bahwa sanad hadits ini jayyid, artinya tidak bermasalah (Fatawa Nur ‘ala Darb, 1: 383). Ulama lain mengatakan bahwa Al Hasan Al Bashri tidak mendengar hadits ini langsung dari ‘Imron, sehingga sanad hadits ini inqitho’ (terputus). Inilah pendapat Ibnu Ma’in, Ibnu Abi Hatim dan Ahmad. Oleh karenanya, hadits ini lemah, walaupun maknanya shahih (Lihat Syarh Kitabit Tauhid, 54). Yang mendho’ifkan hadits ini adalah Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiq Musnad Imam Ahmad dan Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Adh Dho’ifah no. 1029.

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلاَ أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ اللَّهُ لَهُ
Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada tamimah (jimat), maka Allah tidak akan menyelesaikan urusannya. Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada kerang (untuk mencegah dari ‘ain, yaitu mata hasad atau iri, pen), maka Allah tidak akan memberikan kepadanya jaminan” (HR. Ahmad 4: 154. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan –dilihat dari jalur lain-).

Dalam riwayat lain disebutkan,
مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
Barangsiapa yang menggantungkan tamimah (jimat), maka ia telah berbuat syirik” (HR. Ahmad 4: 156. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy atau kuat. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 492).

Dalam tafsir Ibnu Abi Hatim (43: 179), dari Hudzaifah, di mana ia pernah melihat seseorang memakai benang untuk mencegah demam, kemudian ia memotongnya. Lantas Hudzaifah membacakan firman Allah Ta’ala,
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf: 106)

Begitu pula Waki’  pernah meriwayatkan dari Hudzaifah. Beliau pernah mengunjungi orang sakit. Lantas beliau melihat-lihat di lengan atas orang sakit tersebut dan mendapati benang. Hudzaifah pun bertanya, “Apa ini?” “Ini adalah sesuatu yang bisa menjagaku dari rasa sakit tersebut”, jawab orang sakit tadi. Lantas Hudzaifah pun memotong benang tadi. Lantas Hudzaifah berkata, “Seandainya engkau mati dalam keadaan engkau masih mengenakan benang ini, aku tidak akan menyolatkanmu” (Fathul Majid, 132).

Lihatlah bagaimana sikap keras para sahabat bagi orang yang mengenakan jimat untuk melindungi dirinya dari sakit, dalam rangka meraih maslahat. Jimat tersebut sampai dipotong, walau tidak diizinikan. Dalam penjelesan di atas menunjukkan bahwa seseorang bisa berdalil dengan ayat yang menjelaskan tentang syirik akbar (besar) untuk maksud menjelaskan syirik ashgor (kecil) karena kedua-duanya sama-sama syirik (Lihat Fathul Majid, 132).

Jimat Benarkah Sebab yang Dibolehkan?
Orang yang memakai jimat jelas telah terjerumus dalam kesyirikan walau ia menyatakan bahwa jimat atau rajah hanyalah sebagai perantara atau sebab saja. Ia jelas keliru karena mengambil sebab yang tidak diperkenankan dan tidak terbukti secara syar’i dituntunkan atau secara eksperimen ilmiah benar-benar terbukti ampuhnya.

Berbeda halnya jika kita sakit, lalu kita meminum obat. Obat ini sudah terbukti secara eksperimen akan keampuhannya. Hal ini jauh berbeda dengan jimat dan rajah. Masa’ dengan memasang rambut dan tulang, bisa langsung menangkal musibah? Apa buktinya? Apa sudah pernah diuji kelayakannya di laboratorium atau lewat berbagai eksperimen? Itulah mengapa memakai jimat sebagai perantara atau sebab semata, sedangkan yakin Allah yang beri maslahat dan menolak mudhorot (bahaya) tetap masuk dalam kategori syirik. Lihat saja contoh-contoh yang dikisahkan dalam beberapa hadits di atas yang menjadikan benang, ikatan atau gelang supaya terhindar dari penyakit atau ‘ain. Itu pun tetap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam larang dan menyuruh disingkirkan atau dibuang. Demikian halnya perlakuan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam nantinya pada jimat penglaris dagang, jimat penolak ‘ain, jimat benang yang dikenal di kalangan orang jawa dengan ‘benang pawitra’ (untuk melindungi anak dari bahaya), semua akan diperintahkan untuk dibuang dan disingkirkan karena yang memakainya bermaksud mengambil sebab sebagai perantara padahal tidak terbukti secara syar’i, juga tidak terbukti secara eksperimen ilmiah.

Jadi intinya di sini dalam mengambil sebab untuk meraih manfaat atau menolak mudhorot (bahaya) harus memenuhi dua syarat:
  1. Sebab tersebut terbukti secara syar’i, ditunjukkan dalam dalil atau terbukti lewat eksperimen ilmiah.
  2. Ketergantungan hati hanyalah pada Allah, bukan pada sebab. Semisal orang yang mengambil sebab untuk sembuhnya penyakit dengan meminum obat, maka hatinya harus bergantung pada Allah, bukan pada obat, bukan pula pada ‘Pak Dokter’.
  3. Harus yakin bahwa ampuhnya suatu sebab adalah dengan takdir atau ketentuan Allah. (Faedah dari guru kami –Ustadz Abu Isa hafizhohullah- dalam kajian Kitab Tauhid)

Apakah Memakai Jimat Termasuk Syirik?
Memakai jimat memang termasuk kesyirikan, namun apakah termasuk syirik akbar ataukah syirik ashgor? Di sini para ulama memberikan rincian sebagai berikut:
  1. Jika yakin bahwa tamimah atau jimat bisa mendatangkan manfaat dan menolak bahaya (mudhorot), maka ini termasuk syirik akbar. Karena yang mendatangkan manfaat dan bisa menolak bahaya hanyalah Allah, bukanlah jimat.
  2. Jika yakin bahwa jimat hanyalah sebagai sebab untuk penyembuhan –misalnya-, maka ini termasuk syirik ashgor. Demikianlah keyakinan kebanyakan orang yang memakai jimat pada umumnya. (Lihat Syarh Kitabit Tauhid, 55)
Walaupun jimat dikatakan syirik ashgor (kecil), namun syirik tetap lebih parah dari dosa besar. Dan kita tetap harus waspada dari dosa syirik tersebut walaupun kecil karena Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS An Nisa: 48)

Dan waspadalah dengan kesyirikan karena syirik itu sangat samar dari jejak semut di atas batu hitam di tengah kegelapan malam.

Menggantungkan Hati pada Jimat
Mengapa dalam menyelesaikan masalah, ingin lepas dari musibah, ingin menangkal diri dari berbagai penyakit, seseorang malah mencari selain Allah sebagai tempat mengadu. Padahal Allah-lah yang Maha Mencukupi, Allah-lah yang Ghoni, Yang Maha Kaya dan Mencukupi segalanya. Sungguh aneh, sebagian kita malah bergantung pada makhluk yang lemah, pada jimat yang bisa saja rusak dan punah, padahal ada Allah yang selalu mengawasi dan selalu menolong kita.

Dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Ukaim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
Barangsiapa menggantung hati pada sesuatu, urusannya akan diserahkan padanya” (HR. Tirmidzi no. 2072 dan Ahmad 4: 310. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Barangsiapa menggantungkan hatinya pada jimat dan rajah, maka Allah akan menyerahkan urusan orang tersebut pada benda-benda tadi dan Allah akan menghinakannya. Beda halnya jika Allah yang dijadikan tempat bergantung. Jika seseorang bergantung pada Allah, maka urusannya akan diselesaikan oleh Allah, yang sulit akan menjadi mudah, dan yang jauh akan didekatkan. Jika Allah yang menjadi sandaran, maka sebagaimana disebutkan dalam ayat,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Tholaq: 3). (Lihat Fathul Majid, 138)

Tawakkal, Itu Kunci Kemudahan
Bersandarnya hati Allah diikuti dengan melakukan sebab yang benar, itulah tawakkal dan itulah jalan meraih berbagi kemudahan dan kecukupan. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا  وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3)

Ibnu Jarir Ath Thobari rahimahullah ketika menjelaskan surat Ath Tholaq ayat 3 mengatakan, “Barangsiapa yang bertakwa pada Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menyandarkan hatinya pada-Nya, maka Allah akan memberi kecukupan bagi-Nya.” (Tafsir Ath Thobari, 23: 46)

Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Barangsiapa yang menyandarkan diri pada Allah dalam urusan dunia maupun agama untuk meraih manfaat dan terlepas dari kemudhorotan (bahaya), dan ia pun menyerahkan urusannya pada Allah, maka Allah yang akan mencukupi urusannya. Jika urusan tersebut diserahkan pada Allah Yang Maha Mencukupi (Al Ghoni), Yang Maha Kuat (Al Qowi), Yang Maha Perkasa (Al ‘Aziz) dan Maha Penyayang (Ar Rohim), maka hasilnya pun akan baik dari cara-cara lain. Namun kadang hasil tidak datang saat itu juga, namun diakhirkan sesuai dengan waktu yang pas.” (Taisir Al Karimir Rahman).  

Masya Allah suatu keutamaan yang sangat luar biasa sekali dari orang yang bertawakkal.
Semoga Allah melindungi kita dan keluarga kita dari berbagai macam kesyirikan dan budaya jimat. Semoga Allah mematikan kita dalam keadaan bertauhid dan bersih dari syirik.

Referensi Utama:
1. Fathul Majid Syarh Kitab At Tauhid, Syaikh 'Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, terbitan Darul Ifta', cetakan ketujuh, 1431 H.
2. Syarh Kitab At Tauhid, Syaikh Hamd bin 'Abdullah Al Hamd, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan kedua, 1431 H.

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 1 Rabi’ul Awwal 1433 H (24/01/2012)
www.rumaysho.com

Shalat Jum’at Haruskah dengan 40 Jama’ah?

Sebagaimana telah dijelaskan dalam tulisan yang telah lewat bahwa shalat Jum’at disyaratkan dengan berjama’ah di masjid. Sebagian ulama menyaratkan harus minimal 40 jama’ah agar bisa dinyatakan sah. Sebagian lainnya menyatakan dengan jumlah tertentu, 2, 3, 4, 12, dan Imam Ahmad sendiri menyaratkan 50 orang sebagaimana disebutkan dalam Al Mughni. Saat ini rumaysho.com akan meninjau masalah tersebut secara ringkas. Moga Allah mudahkan.

Shalat Jum’at dengan Berjama’ah

Dipersyaratkan demikian karena shalat Jum’at bermakna banyak orang (jama’ah). Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menunaikan shalat ini secara berjama’ah, bahkan hal ini menjadi ijma’ (kata sepakat) para ulama. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 27: 202)


Jumlah Jama’ah Jum’at yang Disyaratkan[1]
Menurut madzhab Hanafiyah, jika telah hadir satu jama’ah selain imam, maka sudah terhitung sebagai jama’ah shalat Jum’at. Karena demikianlah minimalnya jamak. Dalil dari pendapat Hanafiyah adalah seruan jama’ dalam ayat,
فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ‌ اللَّـهِ وَذَرُ‌وا الْبَيْعَ
Maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli” (QS. Al Jumu’ah: 9). Seruan dalam ayat ini dengan panggilan jamak. Dan minimal jamak adalah dua orang. Ada pula ulama Hanafiyah yang menyatakan tiga orang selain imam.


Ulama Malikiyyah menyaratkan yang menghadiri Jum’at minimal 12 orang dari orang-orang yang diharuskan menghadirinya. Mereka berdalil dengan hadits Jabir,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَجَاءَتْ عِيرٌ مِنْ الشَّامِ فَانْفَتَلَ النَّاسُ إِلَيْهَا حَتَّى لَمْ يَبْقَ إِلَّا اثْنَا عَشَرَ رَجُلًا
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri berkhutbah pada hari Jum’at, lalu datanglah rombongan dari Syam, lalu orang-orang pergi menemuinya sehingga tidak tersisa, kecuali dua belas orang." (HR. Muslim no. 863)


Ulama Syafi’iyah dan Hambali memberi syarat 40 orang dari yang diwajibkan menghadiri Jum’at. Penulis Al Mughni (2: 171) berkata, “Syarat 40 orang dalam jama’ah Jum’at adalah syarat yang telah masyhur dalam madzhab Hambali. Syarat ini adalah syarat yang diwajibkan mesti ada dan syarat sahnya Jum’at. … Empat puluh orang ini harus ada ketika dua khutbah Jum’at.”


Dalil yang menyatakan harus 40 jama’ah disimpulkan dari perkataan Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
لأَسْعَدَ بْنِ زُرَارَةَ قَالَ لأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ جَمَّعَ بِنَا فِى هَزْمِ النَّبِيتِ مِنْ حَرَّةِ بَنِى بَيَاضَةَ فِى نَقِيعٍ يُقَالُ لَهُ نَقِيعُ الْخَضِمَاتِ. قُلْتُ كَمْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ قَالَ أَرْبَعُونَ.
As’ad bin Zararah adalah orang pertama yang mengadakan shalat Jum’at bagi kami di daerah Hazmi An Nabit dari harrah Bani Bayadhah di daerah Naqi’ yang terkenal dengan Naqi’ Al Khadhamat. Saya bertanya kepadanya, “Waktu itu, ada berapa orang?” Dia menjawab, ”Empat puluh.” (HR. Abu Daud no. 1069 dan Ibnu Majah no. 1082. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut hasan).


Begitu pula ditarik dari hadits Jabir bin ‘Abdillah,
مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ فِيْ كُلِّ أَرْبَعِينَ فَمَا فَوْقَهَا جُمْعَةٌ
Telah berlalu sunnah (ajaran Rasul) bahwa setiap empat puluh orang ke atas diwajibkan shalat Jum’at." (HR. Al Baihaqi dalam Al Kubro 3: 177. Hadits ini dho’if sebagaimana didho’ifkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwaul Gholil 603. Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Talkhish Habir 2: 567 berkata bahwa di dalamnya terdapat ‘Abdul ‘Aziz di mana Imam Ahmad berkata bahwa haditsnya dibuang karena ia adalah perowi dusta atau pemalsu hadits. An Nasai berkata bahwa ia tidaklah tsiqoh. Ad Daruquthni berkata bahwa ia adalah munkarul hadits). Kesimpulannya hadits terakhir ini adalah hadits yang lemah (dho’if) sehingga tidak bisa menjadi dalil pendukung.


Sedangkan hadits Ka’ab bin Malik di atas hanya menjelaskan keadaan dan tidak menunjukkan jumlah 40 sebagai syarat. Sehingga pendapat yang rojih (kuat) dalam masalah ini adalah jama’ah shalat Jum’at tidak beda dengan jama’ah shalat lainnya. Artinya, sah dilakukan oleh dua orang atau lebih karena sudah disebut jamak.


Adapun hadits yang menceritakan dengan 12 jama’ah, maka hadits ini tidak dapat dijadikan dalil pembatasan hanya dua belas orang saja karena terjadi tanpa sengaja, dan ada kemungkinan sebagiannya kembali ke masjid setelah menemui mereka.


Adapula pendapat Imam Ahmad yang menyaratkan 50 orang, namun haditsnya lemah sehingga tidak bisa dijadikan pendukung. Seperti hadits Abu Umamah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
عَلَى الْخَمْسِيْنَ جُمْعَةٌ وَلَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ ذَلِكَ
"Diwajibkan Jum’at pada lima puluh orang dan tidak diwajibkan jika kurang dari itu. (HR. Ad Daruquthni dalam sunannya 2: 111. Haditsnya lemah, di sanadnya terdapat Ja’far bin Az Zubair, seorang matruk).


Juga hadits Abu Salamah, ia bertanya kepada Abu Hurairah,
عَلَى كَمْ تَجِبُ الْجُمُعَةُ مِنْ رَجُلٍ ؟ قَالَ : لَمَّا بَلَغَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمْسِينَ جَمَّعَ بِهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Berapa jumlah orang yang diwajibkan shalat jama’ah?” Abu Hurairah menjawab, ”Ketika sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berjumlah lima puluh, Rasulullah mengadakan shalat Jum’at” (Disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al Mughni 2: 171). Al Baihaqi berkata, ”Telah diriwayatkan dalam permasalahan ini hadits tentang jumlah lima puluh, namun isnadnya tidak shahih.” (Sunan Al Kubra, 3: 255).


Pendapat Terkuat
Perlu diperhatikan bahwa jumlah jama’ah yang menjadi syarat sah Jum’at diperselisihkan oleh para ulama sebagaimana penjelasan di atas. Namun jumlah jamak itu menjadi syarat sah shalat Jum’at berdasarkan ijma’ (kata sepakat ulama) (Lihat Syarh ‘Umdatul Fiqh, Prof. Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Jibrin, 1: 396). Berapakah minimal jamak? Ada yang mengatakan dua dan mayoritas ulama menyatakan minimal jamak adalah tiga (Lihat catatan kaki Syarh ‘Umdatul Fiqh, 1: 396).


Asy Syaukani rahimahullah berkata, “Shalat Jum’at adalah seperti shalat jama’ah lainnya. Yang membedakannya adalah adanya khutbah sebelumnya. Selain itu tidak ada dalil yang menyatakan bahwa shalat juma’at itu berbeda. Perkataan ini adalah sanggahan untuk pendapat yang menyatakan bahwa shalat Jum’at disyaratkan dihadiri imam besar, dilakukan di negeri yang memiliki masjid Jaami’, dan dihadiri oleh jumlah jama’ah tertentu. Persyaratan ini tidak memiliki dalil pendukung yang menunjukkan sunnahnya, apalagi wajibnya dan lebih-lebih lagi dinyatakan sebagai syarat. Bahkan jika ada dua orang melakukan shalat Jum’at di suatu tempat yang tidak ada jama’ah lainnya, maka mereka berarti telah memenuhi kewajiban.” (Ad Daroril Mudhiyyah Syarh Ad Durorul Bahiyyah, 163)


Wallahu a’lam bish showwab. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.


@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 25 Shafar 1433 H
www.rumaysho.com



[1] Sebagian bahasan setelah ini dikembangkan dari Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 27: 202 dan sumber lainnya.

Senin, 30 Januari 2012

6 Hal Penting Tentang Hamil di Luar Nikah

Zina adalah perbuatan yang terlarang dalam semua agama samawi. Karena hinanya dosa zina, Islam mengharamkan segala sebab yang bisa mengantarkan pada perbuatan zina. Salah satunya adalah pacaran. Penyakit akut yang telah menimpa remaja muslim saat ini. Wajar saja, jika saat ini banyak gadis SMA dan mahasiswi yang tidak perawan. Allahul musta’an 

Diluar pembahasan dosa zina, ada beberapa hal perlu diperhatikan terkait hamil di luar nikah:

Pertama, Janin Hasil Zina Tidak Boleh Digugurkan
Bagaimanapun proses janin ini muncul, dia sama sekali tidak menanggung dosa orang tuanya. Baik dari hasil zina maupun pemerkosaan. Karena itu, mengganggu janin ini, apalagi menggugurkannya adalah sebuah kezaliman dan kejahatan. Allah berfirman,

وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ – بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
“Dan apabila anak-anak yang dibunuh itu ditanya, dengan sebab dosa apakah dia dibunuh?” (QS. At-Takwir: 8 – 9)

Bisakah Anda bayangkan, jawaban apa yang akan Anda sampaikan di hadapan Allah, ketika ditanya apa alasanmu membunuh anakmu?

Kedua, anak hasil zina dinisbahkan kepada ibunya dan Tidak Boleh Kepada Bapaknya
Alasannya karena bapak biologis bukanlah bapaknya. Ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abdullah bin Amr bin Ash, beliau mengatakan,

قَضَى النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ لَمْ يَمْلِكْهَا ، أَوْ مِنْ حُرَّةٍ عَاهَرَ بِهَا فَإِنَّهُ لا يَلْحَقُ بِهِ وَلا يَرِثُ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keputusan bahwa anak dari hasil hubungan dengan budak yang tidak dia miliki, atau hasil zina dengan wanita merdeka TIDAK dinasabkan ke bapak biologisnya dan tidak mewarisinya… (HR. Ahmad, Abu Daud, dihasankan Al-Albani serta Syuaib Al-Arnauth).

Dalil lainnya adalah hadis dari Aisyah radhiallahu’anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الولد للفراش وللعاهر الحجر
“Anak itu menjadi hak pemilik firasy, dan bagi pezina dia mendapatkan kerugian.”

Imam An-Nawawi mengatakan, “Ketika seorang wanita menikah dengan lelaki atau seorang budak wanita menjadi pasangan seorang lelaki, maka wanita tersebut menjadi firasy bagi si lelaki. Selanjutnya lelaki ini disebut “pemilik firays”. Selama sang wanita menjadi firasy lelaki maka setiap anak yang terlahir dari wanita tersebut adalah anaknya. Meskipun bisa jadi, ada anak yang tercipta dari hasil yang dilakukan istri selingkuh laki-laki lain. Sedangkan laki-laki selingkuhannya hanya mendapatkan kerugian, artinya tidak memiliki hak sedikitpun dengan anak hasil perbuatan zinanya dengan istri orang lain.” (Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi, 10:37)

Berdasarkan keterangan di atas, para ulama menyimpulkan bahwa anak hasil zina SAMA SEKALI bukan anak bapaknya. Karena itu, tidak boleh di-bin-kan ke bapaknya.

Bagaimana jika di-bin-kan ke bapaknya?
Hukumnya terlarang bahkan dosa besar. Ini berdasarkan hadis dari Sa’d, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من ادعى إلى غير أبيه وهو يعلم أنه غير أبيه فالجنة عليه حرام
“Siapa yang mengaku anak seseorang, sementara dia tahu bahwa itu bukan bapaknya maka surga haram untuknya.” (HR. Bukhari no. 6385)

Karena bapak biologis bukan bapaknya maka haram hukumnya anak itu di-bin-kan ke bapaknya.
Bagaimana dengan nasabnya?

Karena anak ini tidak punya bapak, maka dia dinasabkan ke ibunya, misalnya: paijo bin fulanah. Sebagaimana Nabi Isa ‘alaihis salam di-bin-kan ke ibunya, Isa bin Maryam (dari sudut pandang penasaban).

Ketiga, Wali Nikah
Jika anak yang terlahir dari zina perempuan, maka anak ini tidak punya wali dari pihak keluarganya. Karena dia tidak memiliki bapak, sehingga tidak ada jalur keluarga dari pihak bapak. Sementara wali nikah hanya ada dari pihak keluarga bapak. Karena itu, wali nikah pindah ke hakim (KUA). Penjelasan selengkapnya tentang wali nikah telah dikupas di alamat: http://konsultasisyariah.com/urutan-wali-nikah

Keempat, Laki-Laki yang Menzinai Hingga  Hamil, Tidak Boleh Menikahi Wanita Tersebut Sampai Melahirkan
Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا توطأ حامل حتى تضع
“Wanita hamil tidak boleh diajak berhubungan sampai dia melahirkan.” (HR. Abu Daud, Ad-Darimi, dan disahihkan Al-Albani)

Laki-laki yang berzina dengan wanita, bukanlah suaminya. Sementara pengecualian yang boleh melakukan hubungan badan dengan wanita hamil adalah suami. Sebagaimana yang pernah di jelaskan di: http://konsultasisyariah.com/menggauli-istri-yang-sedang-hamil. Karena konsekwensi nikah, yaitu halalnya hubungan badan, tidak ada. Oleh karena itu, nikah dalam kondisi demikian hukumnya tidak sah.

Kemudian, dalil lain yang menunjukkan terlarangnya menikahi wanita hamil hasil zina adalah hadis dari Ruwaifi’bin Tsabit Al-Anshari radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ لاِمْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ يَسْقِىَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ
“Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, untuk mengairi tanaman orang lain.” (HR. Abu Daud, Ahmad dan dishahihkan Ibnu Katsir dan Al-Albani)

Maksud hadis di atas adalah seorang laki-laki dilarang ‘mengairi’ (memasukkan air mani) ke rahim wanita, yang di dalamnya terdapat janin orang lain. Padahal, janin yang berada di rahim si wanita, sama sekali bukanlah tanaman lelaki yang menzinainya. Karena hasil hubungannya sama sekali tidak dianggap sebagai keturunannya.

Kelima, Pernikahan Tidaklah Menghilangkan Dosa Zina
Dosa zina tidak bisa hilang hanya dengan menikah. Jangan sampai Anda punya anggapan bahwa dengan menikah berarti pelaku zina telah mendapatkan ampunan. Dosa zina bisa hilang dengan taubat yang sungguh-sungguh. Seseorang akan tetap dianggap sebagai PEZINA selama dia belum bertaubat dari dosa zina.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
التائب من الذنب كمن لا ذنب له
“Orang yang bertaubat dari perbuatan dosa, seperti orang yang tidak melakukan dosa.” (HR. Ibnu Majah, Baihaqi, dan dishahihkan Al-Albani)

Untuk bisa disebut sebagai orang yang telah bertaubat, dia harus membuktikan bentuk penyesalannya dalam kehidupannya, di antaranya:
  1. Dia merasa sangat sedih dengan perbuatannya.
  2. Meninggalkan semua perbuatan yang menjadi pemicu zina, seperti melihat gambar atau film porno.
  3. Meninggalkan komunitas dan teman yang menggiring seseorang untuk kembali berzina. Seperti pergaulan bebas, teman yang tidak menjaga adab bergaul, suka menampakkan aurat, dst..
  4. Berusaha mencari komunitas yang baik, yang menjaga diri, dan hati-hati dalam pergaulan.
  5. Berusaha membekali diri dengan ilmu syar’i. Karena inilah yang akan membimbing manusia menuju jalan kebenaran.
  6. Berusaha meningkatkan amal ibadah, sebagai modal untuk terus bersabar dalam menahan maksiat.
Keenam, Laki-Laki dan Wanita yang Berzina Tidak Boleh Menikah Sampai Bertaubat
Allah mengharamkan laki-laki yang baik untuk menikah dengan wanita pezina, dan sebaliknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

الزَّانِي لاَ يَنكِحُ إِلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنكِحُهَا إِلاّ زَانٍ أَوْ مُشْرِكُ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى المؤْمِنِينَ
“Lelaki pezina tidak boleh menikah, kecuali dengan wanita pezina atau wanita musyrik. Demikian pula wanita pezina tidak boleh menikah kecuali dengan lelaki pezina atau lelaki musyrik. Dan hal itu diharamkan bagi orang yang beriman.” (QS. An-Nur: 3)

Selama pelaku zina itu belum bertaubat dengan sungguh-sungguh maka gelar pezina akan senantiasa melekat pada dirinya. Selama gelar ini ada, dia tidak diperkenankan menikah dengan pasangannya, sampai dia bertaubat.

Allahu a’lam

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)