Test Footer 2

Main Menu (Do Not Edit Here!)

Minggu, 08 Januari 2012

Aqidah Imam Syafi'i Rahimahullah

Oleh: Dr. Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais

Pendapat Imam Syafi’i rahimahullah Tentang Tauhid

- Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari ar-Rabi bin Sulaiman, katanya, Imam Syafii rahimahullah mengatakan: “Barangsiapa yang bersumpah dengan menyebut salah satu asma Allah 'Azza wa jalla, kemudian melanggar sumpahnya, maka ia wajib membayar kaffarat. Dan barangsiapa yang bersumpah dengan menyebutkan selain Allah 'Azza wa jalla, misalnya, “Demi Kabah”, “Demi ayahku” dan sebagainya, kemudian melanggar sumpah itu, maka ia tidak wajib membayar kaffarat.”

Begitu pula apabila ia bersumpah dengan mengatakan “Demi umurku”, ia tidak wajib membayar kaffarat. Namun, bersumpah dengan menyebut selain Allah 'Azza wa jalla adalah haram, dan dilarang berdasarkan Hadits Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah 'Azza wa jalla melarang kami untuk bersumpah dengan menyebut nenek moyang kamu. Siapa yang hendak bersumpah, maka bersumpahlah dengan menyebut asma Allah 'Azza wa jalla, atau lebih baik diam saja.” [1]
 
Imam Syafii rahimahullah beralasan bahwa asma-asma Allah 'Azza wa jalla itu bukan makhluk, karenanya siapa yang bersumpah dengan menyebut asma Allah 'Azza wa jalla, kemudian ia melanggar sumpahnya, maka ia wajib membayar kaffarat.[2]

- Imam Ibn al-Qayyim rahimahullah menuturkan dalam kitabnya Ijtima al-Juyusy, sebuah riwayat dari Imam Syafii rahimahullah, bahwa beliau berkata: “Berbicara tentang Sunnah yang menjadi pegangan saya, shahib-shahib (murid-murid) saya, begitu pula para ahli hadits yang saya lihat dan saya ambil ilmu mereka, seperti Sufyan, Malik, dan lain-lain, adalah iqrar seraya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah 'Azza wa jalla, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah 'Azza wa jalla, serta bersaksi bahwa Allah 'Azza wa jalla di atas 'Arsy di langit, dan dekat dengan makhluk-Nya, terserah kehendak Allah 'Azza wa jalla, dan Allah 'Azza wa jalla itu turun ke langit terdekat kapan saja Allah 'Azza wa jalla berkehendak.” [3]

- Imam adz-Dzahabi meriwayatkan dari al-Muzani rahimahullah, katanya: “Apabila ada orang yang mengeluarkan unek-unek yang berkaitan dengan masalah tauhid yang ada dalam hati saya, maka itu adalah Imam Syafii rahimahullah.”

Saya pernah dengar di Masjid Cairo dengan beliau, ketika saya mendebat di depan beliau, dalam hati saya terdapat unek-unek yang berkaitan dengan masalah tauhid. Kata hatiku, saya tahu bahwa seseorang tidak akan mengetahui ilmu yang ada pada diri Anda, maka apa yang sebenarnya yang ada pada diri Anda?

Tiba-tiba beliau marah, lalu bertanya: “Tahukah kamu, di mana kamu sekarang?” Saya menjawab, “Ya”. Beliau berkata, “Ini adalah tempat di mana Allah 'Azza wa jalla menenggelamkan Firaun. Apakah kamu tahu bahwa Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam pernah menyuruh bertanya masalah yang ada dalam hatimu itu?”. “Tidak”, jawab saya. “Apakah para sahabat pernah membicarakan masalah itu?”, tanya beliau lagi. “Tidak pernah”, jawab saya. “Berapakah jumlah bintang di langit?”, tanya beliau lagi. “Tidak tahu”, jawab saya. “Apakah kamu tahu jenis bintang-bintang itu, kapan terbitnya, kapan terbenamnya, dari bahan apa bintang itu diciptakan?”, tanya beliau. “Tidak tahu” jawab saya. “Itu masalah makhluk yang kamu lihat dengan mata kepalamu, ternyata kamu tidak tahu. Mana mungkin kamu mau membicarakan tentang ilmu Pencipta makhluk itu”, kata beliau mengakhiri.

Kemudian beliau menanyakan kepada saya tentang masalah wudhu, ternyata jawaban saya salah. Beliau lalu mengembangkan masalah itu menjadi empat masalah, ternyata jawaban saya juga tidak ada yang benar. Akhirnya beliau berkata: “Masalah yang kamu perlukan tiap hari lima kali saja tidak kamu pelajari. Tetapi kamu justru berupaya untuk mengetahui ilmu Allah 'Azza wa jalla ketika hal itu berbisik dalam hatimu. Kembali saja kepada firman Allah 'Azza wa jalla :

وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ . إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

“Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Satu. Tidak ada Tuhan (yang Haq) selain Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (gersang) dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Al-Baqarah : 163-164)

“Karenanya”, lanjut Imam Syafii rahimahullah, “Jadikanlah makhluk itu sebagai bukti atas kekuasaan Allah 'Azza wa jalla, dan janganlah kamu memaksa-maksa diri untuk mengetahui hal-hal yang tidak dapat dicapai oleh akalmu.” [4]

- Imam Ibn Abdil Bar meriwayatkan dari Yunus bin Abdul Ala, katanya: “Apabila kamu mendengar ada orang berkata bahwa nama itu berlainan dengan apa yang diberi nama, atau sesuatu itu berbeda dengan sesuatu itu, maka saksikanlah bahwa orang itu adalah kafir zindiq”

- Dalam kitabnya ar-Risalah, Imam Syafiirahimahullah berkata: “Segala puji bagi Allah 'Azza wa jalla yang memiliki sifat-sifat sebagaimana Dia mensifati diri-Nya, dan di atas yang disifati oleh makhluk-Nya.”

- Imam adz-Dzahabi dalam kitabnya Siyar Alam an Nubala menuturkan dari Imam Syafii rahimahullah, kata beliau: “Kita menerapkan sifat-sifat Allah 'Azza wa jalla ini sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam, dan kita meniadakan tasybih (menyamakan Allah 'Azza wa jalla dengan makhluk-Nya), sebagaimana Allah 'Azza wa jalla juga meniadakan tasybih itu dalam firman-Nya:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Tidak ada satu pun yang serupa dengan Dia.” (Asy-Syura : 11)[5]

- Imam Ibn Abdil Bar meriwayatkan dari ar-Rabi bin Sulaiman, katanya, saya mendengar Imam Syafii rahimahullah berkata tentang firman Allah 'Azza wa jalla : 

كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu (Hari Kiamat) benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka.” (al-Muthaffifin : 15) 

“Ayat ini memberitahu kita bahwa pada Hari Kiamat nanti ada orang-orang yang tidak terhalang, mereka dapat melihat Allah 'Azza wa jalla dengan jelas.” [6]

- Imam al-Lalakai menuturkan dari ar-Rabi bin Sulaiman, katanya: “Saya datang ke rumah Imam Syafii rahimahullah, ketika itu ada sebuah pertanyaan kepada beliau: “Apakah pendapat Anda tentang firman Allah 'Azza wa jalla dalam surat al-Muthaffifin ayat 15, yang artinya, “Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu (Hari Kiamat) benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhannya?.” 
Imam Syafii rahimahullah menjawab, “Apabila orang- orang itu tidak dapat melihat Allah 'Azza wa jalla karena dimurkai Allah 'Azza wa jalla, maka ini merupakan dalil bahwa orang-orang yang diridhai Allah 'Azza wa jalla akan dapat melihat-Nya.” 

Ar-Rabi lalu bertanya: “Wahai Abu Abdillah, apakah Anda berpendapat seperti itu?. “Ya, saya berpendapat seperti itu, dan itu saya yakini kepada Allah 'Azza wa jalla”, begitu jawab Imam Syafii .[7]

- Imam Ibn Abdil Bar meriwayatkan, katanya, di hadapan Imam Syafii rahimahullah ada orang yang menyebut-nyebut nama Ibrahim bin Ismail bin Ulayah. Kemudian Imam Syafii rahimahullah berkata: “Saya berbeda pendapat dengan dia dalam segala hal. Begitu pula dalam kalimat “La ilaha illAllah”. Saya tidak berpendapat seperti pendapatnya. Saya mengatakan, bahwa Allah 'Azza wa jalla berfirman kepada Nabi Musa secara langsung tanpa penghalang. Sedangkan dia mengatakan, ketika Allah 'Azza wa jalla berfirman kepada Nabi Musa, Allah 'Azza wa jalla menciptakan ucapan-ucapan yang kemudian dapat didengar oleh Nabi Musa secara tidak langsung (ada penghalang).” [8]

- Imam al-Lalakai meriwayatkan dari ar Rabi bin Sulaiman, katanya, Imam Syafii rahimahullah mengatakan: “Barangsiapa mengatakan bahwa al-Quran itu makhluk, maka dia telah menjadi kafir.”[9]

- Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Muhammad az-Zubairi, katanya, ada seorang yang bertanya kepada Imam Syafii rahimahullah, “Benarkah al-Quran itu itu Khaliq (pencipta)?”, Jawab beliau, “Tidak benar”. “Apakah al-Quran itu makhluk?”, tanyanya lagi. “Tidak”, jawab Imam Syafii rahimahullah. “Apakah al-Quran itu bukan makhluk?”, tanyanya lagi “Ya, begitu”, jawab Imam Syafii rahimahullah.  

Orang tadi bertanya lagi: “Mana buktinya bahwa al-Quran itu bukan makhluk?”. Imam Syafii rahimahullah kemudian mengangkat kepala, dan ia berkata: “Maukah kamu mengakui bahwa al-Quran itu Kalam Allah 'Azza wa jalla?”. “Ya, mau”, kata orang tadi. Kemudian Imam Syafii rahimahullah berkata, “Kamu telah didahului oleh ayat:

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ
“Dan jika di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepada kamu, maka lindungilah ia, supaya ia sempat mendengar Kalam Allah.” (At-Taubah : 6)

وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
“Dan Allah telah berbicara dengan Musa secara langsung.” (An-Nisa : 164) 

Imam Syafii rahimahullah kemudian berkata lagi kepada orang tersebut: “Maukah kamu mengakui bahwa Allah 'Azza wa jalla itu ada dan demikian pula Kalam-Nya? Atau Allah 'Azza wa jalla itu ada, sedangkan Kalam-Nya belum ada ?”. Orang tadi menjawab, ”Allah 'Azza wa jalla ada, begitu pula Kalam-Nya.” 
 
Mendengar jawaban itu Imam Syafii rahimahullah tersenyum, lalu berkata: “Wahai orang-orang Kufah, kamu akan membawakan sesuatu yang agung kepadaku, apabila kamu mengakui bahwa Allah 'Azza wa jalla itu ada sejak masa azali, begitu pula Kalam-Nya. Lalu dari mana kamu pernah punya pendapat bahwa Kalam itu Allah 'Azza wa jalla atau bukan Allah 'Azza wa jalla?”. Mendengar penegasan Imam Syafii rahimahullah itu, orang tadi terdiam, kemudian keluar.[10]


- Dalam kitab Juz al-Itiqad yang disebut-sebut sebagai karya Imam Syafii rahimahullah dari riwayat Abu Thalib al-Isyari, ada sebuah keterangan sebagai berikut:

“Imam Syafii rahimahullah pernah ditanya tentang sifat-sifat Allah 'Azza wa jalla, dan hal-hal yang perlu diimani, jawab beliau, “Allah Tabaraka wa Taala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang disebutkan dalam al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam, yang siapa pun dari umatnya tidak boleh menyimpang dari ketentuan seperti itu setelah memperoleh keterangan (hujjah). Apabila ia menyimpang dari ketentuan setelah ia memperoleh hujjah tersebut, maka kafirlah dia. Namun apabila ia menyimpang dari ketentuan sebelum ia memperoleh hujjah, maka hal itu tidak apa-apa baginya. Ia dimaafkan karena ketidaktahuannya itu. Sebab untuk mengetahui sifat-sifat Allah 'Azza wa jalla itu tidak mungkin dilakukan oleh akal dan fikiran, tetapi hanya berdasarkan keterangan-keterangan dari Allah 'Azza wa jalla. Bahwa Allah 'Azza wa jalla itu mendengar, Allah 'Azza wa jalla mempunyai dua tangan:

بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ
“Tetapi kedua tangan Allah itu terbuka.” (Al-Maidah : 64)

Dan Allah 'Azza wa jalla itu mempunyai tangan kanan: 

وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ
“Dan langit itu dilipat tangan kanan Allah”. (az-Zumar: 67) 

Dan Allah 'Azza wa jalla juga punya wajah:

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ
“Segala sesuatu akan hancur kecuali wajah Allah.” (al-Qashash : 88)

وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
“Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman : 27) 

Allah 'Azza wa jalla juga mempunyai telapak kaki, ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam :

حَتَّى يَضَعَ الرَّبُّ عَزَّوَجَلَّ فِيْهَا قَدْمَهُ
“Sehingga Allah meletakkan telapak kaki-Nya di Jahanam.”[11]
 
Allah 'Azza wa jalla tertawa terhadap hamba-hamba-Nya yang mukmin, sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam kepada orang yang terbunuh dalam Jihad fi sabilillah, bahwa “kelak akan bertemu dengan Allah 'Azza wa jalla, dan Allah 'Azza wa jalla tertawa kepadanya.” [12]
 
Allah 'Azza wa jalla turun setiap malam ke langit yang terdekat dengan bumi, berdasarkan hadits Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam tentang hal itu. Mata Allah 'Azza wa jalla tidak pecak sebelah, sesuai dengan hadits Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam yang menyebutkan, bahwa “Dajjal itu pecak sebelah matanya, sedangkan Allah tidak pecak mata-Nya.” [13]

Orang-orang mukmin kelak akan melihat Allah 'Azza wa jalla pada hari kiamat dengan mata kepala mereka, seperti halnya mereka melihat bulan purnama. Allah 'Azza wa jalla juga punya jari-jemari, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam :

مَا مِنْ قَلْبٍ إِلاَّ هُوَ بَيْنَ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ
“Tidak ada satu buah hati kecuali ia berada di antara jari-jari Allah ar-Rahman.” [14]
 
Pengertian sifat seperti ini, di mana Allah 'Azza wa jalla telah mensifati diri-Nya sendiri dan Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam juga mensifati-Nya, tidak dapat diketahui hakikatnya oleh akal dan fikiran

Orang yang tidak mendengar keterangan tentang hal itu tidak dapat disebut kafir. Apabila ia telah mendengar sendiri secara langsung, maka ia wajib meyakininya seperti halnya kita harus menetapkan sifat-sifat itu tanpa mentasybihkan (menyerupakan) Allah 'Azza wa jalla dengan makhluk-Nya, sebagaimana juga Allah 'Azza wa jalla tidak menyerupakan makhluk apa pun dengan diri-Nya. Allah سبحانه و تعالي berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura: 11)[15]


1 Shahih al-Bukhari, Kitab al-Aiman wa an-Nadzair, II/530 Shahih Muslim, III/266. Manaqib asy-Syafii, I/405
2 Ibn Abi Hatim, Adab asy-Syafii, hal.193, al-Hilyah, IX/112-113 al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, X/28
3 kk
4 Siyar Alam an-Nubala, X/31
5 Siyar Alam an Nubula, XX/341
6 al-Intiqa, hal.79
7 Syarh Ushul Itiqad Ahl as Sunnah, II/506
8 al-Intiqa, hal. 79. Al-Baihaqi, Manaqib asy-Syafii, I/35
9 Syarh Ushul Itiqad Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah, I/252
10 Manaqib asy-Syafii, I/407-408
11 Shahih Bukhari, Kitab at-Tafsir, VII/594, Shahih Muslim, Kitab Al-Jannah, IV/2187
12 Shahih Bukhari, Kitab al-Jihad, VI/39, Shahih Muslim, Kitab al-Imarat, III/1504
13 Shahih Bukhari, Kitab al-Fitan, XIII/91. Shahih Muslim, Kitab al-Fitan, IV/2248
14 Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, IV/ 182. Sunan Ibn Majah, I/72.Mustadrak al-Hakim, I/525. Al-Ajiri, asy-Syariah hal. 317. Ibn Mandah, ar-Radd.
15 Aqidah Imam Syafii rahimahullah ini dinukil dari sebuah manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Pusat Universitas Leiden, Belanda.


Pendapat Imam Syafi’i rahimahullah Tentang Taqdir

- Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari ar-Rabi bin Sulaiman, katanya, Imam Syafii rahimahullah pernah ditanya tentang taqdir, jawaban beliau :

Apa yang Engkau kehendaki terjadi
Meskipun aku tidak menghendaki
Apa yang aku kehendaki tidak terjadi
Apabila Engkau tidak menghendaki
Engkau ciptakan hamba-hamba
Sesuai apa yang Engkau ketahui
Maka dalam ilmu-Mu
Pemuda dan kakek berjalan
Yang ini Engkau karuniai
Sementara yang itu Engkau rendahkan
Yang ini Engkau beri pertolongan
Yang itu tidak Engkau tolong
Manusia ada yang celaka
Manusia juga ada yang beruntung
Manusia ada yang buruk rupa
dan ada juga yang bagus rupawan[1]


- Imam al-Baihaqi menuturkan dalam kitab Manaqib asy Sayfii, bahwa Syafii rahimahullah mengatakan: “Kehendak manusia itu terserah kepada Allah 'Azza wa jalla. Manusia tidak berkehendak apa-apa kecuali dikehendaki oleh Allah Rabbul alamin. Manusia itu dapat mewujudkan perbuatan-perbuatan mereka. Perbuatan-perbuatan itu adalah salah satu makhluk Allah 'Azza wa jalla. Taqdir baik maupun buruk, semuanya dari Allah 'Azza wa jalla. Adzab kubur itu hak (benar), pertanyaan kubur juga hak, bangkit dari kubur juga hak, hisab (perhitungan amal) itu juga hak, surga dan neraka juga hak, begitu dalam sunnah Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam.” [2]

- Imam al-Lalakai meriwayatkan dari al-Muzani rahimahullah, katanya, Imam Syafii rahimahullah berkata: “Tahukah kamu siapa penganut paham Qadariyah itu? Yaitu orang yang mengatakan bahwa Allah 'Azza wa jalla tidak pernah menciptakan sesuatu sampai hal itu dikerjakan orang.”[3]

- Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari asy Syafii rahimahullah, beliau berkata: “Kelompok Qadariyah yang oleh RasulullahShallallahu'alaihi wa sallam disebut sebagai kelompok Majusi dari Umat Islam[4] adalah orang-orang yang berpendapat bahwa Allah 'Azza wa jalla itu tidak mengetahui maksiat sampai ada orang yang mengerjakannya.”[5]

- Imam al-Baihaqi juga meriwayatkan dari ar-Rabi bin Sulaiman dari Imam Syafii rahimahullah, bahwa beliau tidak mau shalat menjadi makmum di belakang penganut paham Qadariyah.[6]


1 Manaqib asy-Syafii, 1/412-413. Syarh Ushul Itiqad Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah, II/702.
2 Manaqib asy- Syafii, I/415
3 Syarh Ushul Itiqad Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah,II/701
4 Sunan Abi Daud, Kitab as-Sunnah, V/66. Mustadrak al-Hakim. U/85
5 Manaqib asy Syafii, I/413
6 Ibid


Pendapat Imam rahimahullah Syafi’i Tentang Iman 

- Imam Ibn Abdil Bar meriwayatkan dari Imam ar-Rabi, katanya, saya mendengar Imam Syafii rahimahullah berkata: “Iman itu adalah ucapan, perbuatan, dan keyakinan (itiqad) di dalam hati. Tahukah kamu firman Allah 'Azza wa jalla: 

وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
“Allah tidak menyia-nyiakan iman kamu.” (Al-Baqarah: 143) 

Maksud kata “Imanakum” (iman kamu) adalah shalatmu ketika menghadap ke Baitul Maqdis. Allah 'Azza wa jalla menamakan shalat itu iman, dan shalat adalah ucapan, perbuatan dan itiqad.” [1]

- Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Muhammad az-Zubairi, katanya, ada seorang bertanya kepada Imam Syafii rahimahullah, “Apakah amal yang paling utama?” Imam Syafii rahimahullah menjawab: “Yaitu sesuatu yang apabila hal itu tiak ada, maka semua amal tidak akan diterima.” “Apakah itu?”, tanya orang itu lagi. Dijawab oleh Imam Syafii rahimahullah, “Yaitu iman kepada Allah 'Azza wa jalla di mana tidak ada Tuhan (yang hak disembah) selain Dia. Iman adalah amal yang paling tinggi derajatnya; paling mulia kedudukannya, dan paling bagus buah yang dipetik darinya.”

Orang tadi bertanya lagi: “Bukankah iman itu ucapan dan perbuatan, atau ucapan tanpa perbuatan?” Imam Syafii rahimahullah menjawab: “Iman itu adalah perbuatan untuk Allah 'Azza wa jalla, dan ucapan itu merupakan sebagian dari amal tersebut.” Ia bertanya lagi, “Saya belum paham bagaimana itu, coba jelaskan lagi.” 

Imam Syafii rahimahullah menjelaskan, “Iman itu memiliki tingkatan-tingkatan, ada iman yang sangat sempurna, ada iman yang berkurang yang jelas kekurangannya dan ada pula iman yang bertambah.” “Apakah iman itu ada yang tidak sempurna, berkurang dan bertambah?”, tanya orang itu. “Ya”, jawab Imam Syafii rahimahullah. “Apakah buktinya?”, tanyanya lagi. Imam Syafii rahimahullah menjawab, “Allah 'Azza wa jalla telah mewajibkan iman atas anggota-anggota badan manusia. Allah 'Azza wa jalla membagi iman itu untuk semua anggota badan. Tidak ada satupun anggota badan manusia kecuali telah diserahi iman secara berbeda-beda. Semua itu berdasarkan kewajiban yang ditetapkan Allah 'Azza wa jalla

Hati misalnya, di mana manusia dapat berfikir dan memahami sesuatu, merupakan “pemimpin” badan manusia. Tidak ada gerak anggota badan kecuali berdasarkan pendapat dan perintah hati. Begitu pula dua biji mata, di mana manusia melihat, dua daun telinga di mana manusia mendengar, kedua tangan yang dipakai untuk memukul, kedua kaki yang dipakai untuk memenuhi keinginan hatinya, lisan yang dipakai untuk berbicara, dan kepala di mana terdapat wajahnya. 

Allah 'Azza wa jalla mewajibkan kepada hati akan hal-hal yang tidak diwajibkan kepada lisan. Pendengaran (telinga) diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan kepada mata. Kedua tangan juga mendapat kewajiban yang tidak sama dengan kaki. Begitu pula farji mendapat kewajiban yang tidak sama dengan wajah. 

Adapun kewajiban yang dibebankan oleh Allah 'Azza wa jalla kepada hati adalah iman, maka berikrar (mengakui), mengetahui, meyakini, ridha, menyerahkan diri, bahwa tidak ada Tuhan (Yang Hak) selain Allah 'Azza wa jalla, Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak memiliki isteri dan anak. Dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah 'Azza wa jalla, serta mengaku semua yang datang dari Allah 'Azza wa jalla, baik Nabi maupun Kitab. Semua itu merupakan hal-hal yang diwajibkan oleh Allah 'Azza wa jalla kepada hati, dan hal itu adalah amal (pekerjaan) hati.

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar.” (An-Nahl: 106)

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (Ar-Rad :28)

مِنَ الَّذِينَ قَالُوا آَمَنَّا بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ قُلُوبُهُمْ
“Di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka, “Kami telah beriman”, padahal hati mereka tidak beriman.” (Al-Maidah: 41) 

Allah 'Azza wa jalla juga berfirman :

وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ
“Dan jika Allah menampakkan apa yang ada dalam hati kamu, atau menyembunyikannya, niscaya Allah akan melakukan hisab (perhitungan) dengan kamu tentang perbuatan itu.” (Al-Baqarah: 284)

Maka keimanan seperti itulah yang diwajibkan oleh Allah 'Azza wa jalla kepada hati, dan itu adalah pekerjaan hati; dan juga merupakan pangkal iman. 

Allah 'Azza wa jalla juga mewajibkan kepada lisan, yaitu mengucapkan dan menyebutkan apa yang telah diikrarkan dan diyakini di dalam hati. Allah 'Azza wa jalla berfirman:

قُولُوا آَمَنَّا بِاللَّهِ‏
“Ucapkanlah, “Kami beriman kepada Allah,” (Al-Baqarah: 136) 

Allah 'Azza wa jalla juga berfirman:

‏ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
“Dan katakanlah yang baik kepada manusia.” (Al-Baqarah: 83) 

Itulah ucapan-ucapan yang diwajibkan oleh Allah 'Azza wa jalla kepada lisan, yaitu mengatakan yang ada dalam hati. Dan hal itu merupakan pekerjaan lisan, dan keimanan yang diwajibkan kepadanya. 

Allah 'Azza wa jalla juga mewajibkan kepada telinga (pendengaran) untuk tidak mendengarkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah 'Azza wa jalla. Allah 'Azza wa jalla berfirman:

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آَيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka” (An-Nisa: 140) 

Namun ada pengecualian, bila seseorang itu lupa sehingga duduk bersama orang-orang kafir itu. Allah 'Azza wa jalla berfirman :

وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan itu), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zhalim itu sesudah ingat (akan larangan itu). (Al-Anam: 68) 

Dan Allah 'Azza wa jalla juga berfiman :

فَبَشِّرْ عِبَادِ . الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Maka sampaikanlah kabar gembira itu kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk, dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (Az-Zumar :17-18) 

Allah 'Azza wa jalla juga berfirman :

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ . الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ . وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ . وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyu di dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna. Dan orang-orang yang selalu membersihkan dirinya.” (Al-Muminun: 1-4)

Allah 'Azza wa jalla berfirman pula :

وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ
“Apabila mereka mendengar (perkataan) yang tidak berguna, mereka berpaling meninggalkannya.” (Al-Qashash: 55) 

Begitu pula firman Allah 'Azza wa jalla:

وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang melakukan perbuatan yang tidak berguna, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Al-Furqan: 72) 

Ayat-ayat itu semua menunjukkan adanya kewajiban yang ditetapkan Allah 'Azza wa jalla kepada telinga agar ia membersihkan diri dari hal-hal yang haram didengar. 

Dan hal itu, merupakan telinga, dan itu termasuk iman. 

Allah 'Azza wa jalla juga meriwayatkan dua mata manusia untuk tidak melihat hal-hal yang diharamkan. Dalam hal ini Allah 'Azza wa jalla berfirman: 

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ
“Katakanlah kepada orang-orang mukmin, agar mereka menahan pandangan matanya dan menjaga kemaluannya.” (An-Nur: 30) 

Dalam ayat ini Allah 'Azza wa jalla melarang orang mukmin untuk melihat kemaluan orang lain, dan menyuruh agar menjaga kemaluannya agar tidak dilihat orang lain. Setiap ungkapan “menjaga kemaluan” di dalam al-Quran, maksudnya adalah berkaitan dengan zina, kecuali dalam ayat-ayat an-Nur ini, maksudnya adalah melihat. 

Dan itulah kewajiban yang ditetapkan oleh Allah 'Azza wa jalla kepada kedua mata manusia, dan itu merupkan pekerjaan mata termasuk dalam iman. 

Allah 'Azza wa jalla kemudian memberitahukan apa yang wajib dikerjakan oleh hati, telinga dan mata, dalam sebuah ayat berikut ini:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti hal-hal yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati itu, semuanya akan dimintai pertanggung jawabannya.” (Al-Isra : 36) 

Maksud ayat ini adalah bahwa Allah 'Azza wa jalla mewajibkan kepada farj (kemaluan) agar tidak digunakan untuk hal-hal yang haram. Allah 'Azza wa jalla berfirman: 
 
وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ
“Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu.” (Fushshilat: 22) 

Yang dimaksud dengan “kulitmu” dalam ayat ini adalah “kemaluan dan paha”. Dan itulah yang diwajibkan oleh Allah 'Azza wa jalla kepada kemaluan agar menjaga dirinya dari hal-hal yang tidak halal. Dan itu merupakan pekerjaan kemaluan. 

Allah 'Azza wa jalla juga mewajibkan kedua tangan agar tidak digunakan untuk hal-hal yang diharamkan, tetapi justeru digunakan dalam hal-hal yang diperintahkan Allah 'Azza wa jalla, seperti sadaqah, silaturahmi, jihad fi sabilillah, bersuci untuk shalat dan lain-lain. Allah 'Azza wa jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ ...
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu, tanganmu sampai siku-siku …dst.” (Al-Maidah : 6) 

Allah 'Azza wa jalla juga berfirman :

فَإِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ حَتَّى إِذَا أَثْخَنْتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً
“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga jika kamu telah mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka, dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan.” (Muhammad : 4) 

Memerangi orang-orang kafir, silaturrahmi, sadaqah, dan lain-lain adalah perbuatan tangan. 

Allah 'Azza wa jalla juga mewajibkan kedua kaki manusia untuk tidak berjalan kepada hal-hal yang diharamkan oleh Allah 'Azza wa jalla. Allah 'Azza wa jalla berfirman: 

وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (Al-Isra: 37) 

Allah 'Azza wa jalla mewajibkan wajah untuk sujud kepada Allah 'Azza wa jalla siang dan malam, dan pada waktu-waktu shalat. Allah 'Azza wa jalla berfirman: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, rukulah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu, dan berbuatlah kebajikan supaya kamu mendapatkan kemenangan.” (Al-Hajj: 77)

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah, maka janganlah kamu menyembah seseorang di samping Allah.” (Al-Jin: 18) 

Maksudnya menyembah di masjid, di mana manusia melakukan shalat dengan sujud. Dan itulah kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Allah 'Azza wa jalla kepada anggota badan. 

Allah 'Azza wa jalla juga menyebutkan bersuci dan shalat (sembahyang) sebagai iman, yaitu ketika Allah 'Azza wa jalla memerintahkan kepada Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam untuk memalingkan wajahnya dari menghadap ke Baitul Maqdis dalam shalat beralih menghadap ke Kabah di Makkah. Sementara kaum muslimin telah melakukan shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas bulan. Mereka kemudian mengadu kepada Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam, “Ya Rasulullah, bagaimana dengan shalat kami yang menghadap ke Baitul Maqdis, apakah diterima oleh Allah 'Azza wa jalla?”. Allah 'Azza wa jalla kemudian menurunkan ayat:

وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyia-nyiakan iman kamu. Karena sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (Al-Baqarah: 143) 

Dalam ayat ini Allah 'Azza wa jalla telah menamakan shalat dengan iman. Maka siapa kelak bertemu dengan Allah 'Azza wa jalla dengan menjaga shalat-shalatnya, menjaga anggota badannya, mengerjakan dengan seluruh anggota badannya apa yang diperintahkan dan diwajibkan Allah 'Azza wa jalla, maka ia bertemu dengan Allah 'Azza wa jalla dengan iman yang sempurna dan ia termasuk penghuni surga. Sebaliknya, siapa yang anggota badannya dengan sengaja meninggalkan perintah-perintah Allah 'Azza wa jalla, maka ia akan bertemu dengan Allah 'Azza wa jalla dalam keadaan imannya berkurang.” 

Begitulah penjelasan Imam Syafii rahimahullah tentang iman. Kemudian orang yang bertanya kepada Imam Syafii rahimahullah tadi bertanya lagi, “Saya sudah paham tentang berkurang dan sempurnanya iman. Dari mana datang tambahnya iman itu?” Imam Syafii rahimahullah menjawab dengan menyebutkan firman Allah 'Azza wa jalla:

وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيمَانًا فَأَمَّا الَّذِينَ آَمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ . وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُونَ
“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafiq) ada yang berkata, “Siapa di antara kamu yang bertambah imannya dengan turunnya (surat) ini? Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. Adapun orang-orang yang hatinya ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka di samping kekafirannya (yang telah ada), dan mereka mati dalam kekafiran.” (At-Taubah : 124-125) 

Allah 'Azza wa jalla juga berfirman :

إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آَمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
“Mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (Al-Kahfi : 13) 

Imam Syafii rahimahullah kemudian mengatakan, “Sekiranya iman itu satu, tidak ada yang tambah dan kurang, maka tidak ada kelebihan apa-apa bagi seseorang, dan semua manusia sama. Tetapi, dengan sempurnanya iman, orang mukmin akan masuk ke surga, dan dengan tambahnya iman pula orang mukmin akan memperoleh keunggulan tingkatan di dalam surga. Sebaliknya bagi orang-orang yang imannya kurang, mereka akan masuk ke neraka. 

Kemudian Allah 'Azza wa jalla akan mendahulukan orang beriman lebih dahulu. Manusia akan memperoleh haknya berdasarkan kedahuluannya dalam beriman. Setiap orang akan memperoleh haknya, tidak dikurangi sedikitpun. Yang datang belakang tidak akan didahulukan; yang tidak mulia (karena rendahnya iman) tidak akan didahulukan daripada yang mulia (karena ketinggian iman). Itulah kelebihan orang-orang terdahulu dari ummat ini. Seandainya orang-orang yang beriman lebih dahulu itu tidak mempunyai kelebihan, niscaya akan sama nilainya orang yang beriman belakangan dengan orang-orang yang beriman lebih dulu.”[2]


1 al-Intiqa hal. 81
2 Manaqib asy-Syafii, I/387-393


Pendapat Imam Syafi’i rahimahullah Tentang Sahabat 

- Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Imam Syafii rahimahullah, “Allah 'Azza wa jalla telah memuji para Sahabat Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam di dalam al-Quran, Taurat dan Injil. Dan Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam sendiri telah memuji keluhuran mereka, sementara untuk yang lain tidak disebutkan. Maka semoga Allah 'Azza wa jalla merahmati mereka, dan menyambut mereka dengan memberikan kedudukan yang paling tinggi sebagai shiddiqin, syuhada dan shalihin.
 
Mereka telah menyampaikan sunnah-sunnah Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam kepada kita. Mereka juga telah menyaksikan turunnya wahyu kepada Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam. Karenanya, mereka mengetahui apa yang dimaksud oleh Rasulullah, baik yang bersifat umum maupun khusus, kewajiban maupun anjuran. Mereka mengetahui apa yang kita ketahui dan apa yang tidak kita ketahui tentang sunnah Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam. Mereka di atas kita di dalam segala hal, ilmu dan ijtihad, kehati-hatian dan pemikiran, dan hal-hal yang diambil hukumnya. Pendapat-pendapat mereka, menurut kita, juga lebih unggul daripada pendapat-pendapat kita sendiri.”[1]

- Imam al-Baihaqi menuturkan dari ar-Rabi bin Sulaiman bahwa ia mendengar Imam Syafii rahimahullah memandang Abu Bakar adalah yang paling utama di antara semua sahabat, kemudian Umar, Ustman dan kemudian Ali radhiyallahu'anhuma.[2]

- Imam al-Baihaqi juga meriwayatkan dari Muhammad bin Abdullah bin Abd al-Hakam, katanya, ia mendengar Imam Syafii rahimahullah berkata: “Manusia yang paling mulia sesudah Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman dan kemudian Ali radhiyallahu'anhuma.” [3]

- Imam al-Harawi meriwayatkan dari Yusuf bin Yahya al-Buwaiti, katanya, saya bertanya kepada Imam Syafii rahimahullah: “Apakah saya boleh shalat bermakmum di belakang orang Rafidhi (Syiah) ?” Beliau menjawab: “Jangan kamu shalat menjadi makmum orang Rafidhi, Qadari (penganut paham Qadariyah), dan penganut paham Murjiah.” Saya bertanya lagi: “Apakah tanda-tanda mereka itu?” Beliau menjawab: “Orang yang berpendapat bahwa iman itu hanyalah ucapan saja, maka ia penganut paham Murjiah. Orang yang berpendapat bahwa Abu Bakar dan Umar itu bukan imam umat Islam adalah penganut paham Rafidhah. Dan orang yang berpendapat bahwa manusia itu mempunyai kehendak mutlak dan dapat menentukan nasibnya sendiri, ia adalah penganut paham Qadariyah.” [4]


1 Manaqib Imam asy-Syafii, I/442
2 Ibid
3 Ibid, I/433
4 Dzamm al-Kalam, lembar 215. adz-Dzahabi, Siyar Alam an-Nubala, X/31


Larangan Imam Syafi’i rahimahullah Terhadap Ilmu Kalam dan Berdebat dalam Agama 

- Imam al-Harawi meriwayatkan dari ar-Rabi bin Sulaiman, katanya, saya mendengar Imam Syafii rahimahullah berkata: “Seandainya ada orang berwasiat kepada orang lain untuk mengambil kitab-kitabnya yang berisi ilmu-ilmu keislaman, sementara di antara kitab-kitab itu ada kitab-kitab Kalam, maka kitab-kitab Kalam ini tidak masuk di dalam wasiat, karena Kalam itu tidak termasuk ilmu-ilmu keislaman.” [1]

- Imam al-Harawi meriwayatkan dari al-Hasan az-Zafarani, katanya, saya mendengar Imam Syafii rahimahullah berkata: “Saya tidak pernah berdiskusi dengan seorangpun dalam masalah Kalam kecuali hanya satu kali saja. Dan itu kemudian saya membaca istighfar, minta ampun kepada Allah.” [2]

- Imam al-Harawi meriwayatkan dari Rabi bin Sulaiman, katanya, Imam Syafii rahimahullah pernah berkata: “Seandainya saya mau, saya akan membawa kitab yang besar untuk berdiskusi dengan lawan pendapatku. Tetapi untuk berdiskusi tentang masalah Kalam, saya tidak suka dikait-kaitkan dengan Kalam.” [3]

- Imam Ibn Battah meriwayatkan dari Abu Tsaur katanya, Imam Syafii rahimahullah pernah berkata kepadaku: “Saya tidak pernah melihat orang menyandang sedikitpun tentang Kalam kemudian ia menjadi orang yang beruntung.”[4]

- Imam Harawi meriwayatkan dari Yunus al-Mishri, katanya, Imam Syafii rahimahullah pernah berkata: “Seandainya Allah 'Azza wa jalla memberikan cobaan (ujian) kepada seseorang, sehingga ia melakukan larangan-larangan Allah 'Azza wa jalla selain syirik, hal itu masih lebih bagus dari pada ia mendapati cobaan (ujian) dengan terperosok pada Ilmu Kalam.” [5]

Itulah rangkuman pendapat-pendapat Imam Syafii rahimahullah tentang masalah Ushuluddin, dan sikap beliau tentang Ilmu Kalam.


1 Ibid, X/30. Dzamm al-Kalam, lembar 213
2 Ibid
3 Ibid. lembar 215
4 al-Ibanah al-Kubra, hal. 535-536
5 Ibn Abi Hatim, Manaqib asy-Syafii, hal. 182

***

0 komentar:

Posting Komentar