Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Main Menu (Do Not Edit Here!)

Sabtu, 31 Desember 2011

Karena Cinta Aku Murtad

Aku seorang wanita berusia 27 tahun. Dua tahun yang lalu aku melahirkan seorang anak ke dunia. Hanya saja mungkin keadaanku sebagai seorang ibu berbeda dengan ibu-ibu yang lain. Mereka senantiasa memandang wajah putra dan putrinya dengan tatapan kasih sayang, bangga dan penuh cinta. Sedangkan aku? Yang kudapat saat menatap bola matanya adalah kepedihan yang teramat perih dari kisi-kisi hati yang tersayat sesal.
Sebelum peristiwa pahit itu menyapa dalam hidupku, kehidupanku yang sederhana senantiasa diliputi oleh ketenangan. Aku bahagia dengan keadaanku, dengan rutinitasku. Setiap hari kujalani dengan hati yang riang sebagai seorang wanita. Kebanggaanku pada kehormatan yang senantiasa kujaga demi satu mimpi mendapatkan keluarga yang bahagia suatu saat nanti. Hingga sosok itu hadir menghancurkannya.

Peristiwa itu bermula saat aku bekerja sebagai salah satu staf tata usaha di sebuah akademi kesehatan di kota Daeng. Aku berkenalan dengan dengan seorang pria yang mengaku bujang. Dia juga bekerja sebagai staf tata usaha di kampus tempatku bekerja, namun jabatannya lebih tinggi dariku.

Seperti kata orang, “mulanya biasa saja,” yah, memang semuanya biasa saja. Saling ber-say hello, bercerita, bercanda, bertegur sapa. Sesuatu yang lazim dilakukan oleh sesama pegawai staf. Apalagi dalam satu kantor. Hingga waktu terus berjalan seiring dengan hubungan kami yang begitu akrab. Semuanya mulai menjadi sesuatu yang tidak biasa lagi.

Jujur saja, dalam hal agama, pengetahuanku memang tidak terlalu dalam. Orang mungkin biasa mengatakannya “awam”. Di alam pikiranku, bergaul dengan lawan jenis itu adalah sesuatu yang biasa. Seperti yang terjadi ditengah masyarakat. Apalagi aku dilahirkan dari lingkungan keluarga yang pendidikan agamanya “biasa-biasa saja” tidak mengenal apa itu tarbiyah, ikhtilath, ghibah, dan istilah-istilah yang lain.

Sebenarnya aku tidak pernah berkeinginan untuk dekat dengannya, karena pertimbangan beda agama. Dia seorang non muslim. Namun rayuan demi rayuannya, perjuangannya mendekatiku, janji manisnya, perhatiannya yang berlebihan dan tidak henti-henti meski selalu kutolak dengan cara yang halus, sedikit demi sedikit meluluhkan hatiku.

Gayung pun bersambut, akhirnya kuterima uluran tangannya. Waktu itu aku tidak berpikir untuk serius. Hanya sekedar pengisi waktu saja. Apalagi dia sudah banyak berkorban untukku, dan aku merasa kasihan padanya. Waktu itu aku berpikir suatu saat nanti aku akan minta putus. Mudah kan?
Hubungan kami pun berjalan secara rahasia, back street. Untuk menghindari ocehan dan desas desus penghuni kampus.

Seiring dengan waktu yang mengantar kebersamaanku dengannya, entah mengapa tanpa sadar aku sudah mulai menyukainya, mencintainya. Aku tidak tahu, apa yang telah membuatku begitu tergila-gila kepadanya. Kehidupannya juga sederhana, wajahnya malah dibawah rata-rata. Apa karena rayuannya? Kelihaiannya mengumbar rayuan gombal menjadikanku merasa tersanjung dan berbunga-bunga. Seakan-akan akulah wanita yang paling menarik di dunia ini. Di sampingnya aku selalu merasa yang terbaik. Dia sungguh pandai menggombal.

Tak pernah kusangka dan kuduga sebelumnya, hubunganku dengannya sudah melewati ambang batas moral dan norma agama.

Tragedi yang tak mungkin pernah bisa kulupakan dalam lembaran sejarah hidupku. Aku hamil. Aku tidak tahu, iblis mana yang merasukiku waktu itu. Mengapa aku bisa menjadi sehina ini? Mengorbankan sesuatu kepada seseorang yang sebenarnya tidak berhak dan tidak boleh mengusiknya.
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak berani lagi pulang ke kampung dengan corengan hitam di wajahku. Tidak sampai di situ, entah darimana pihak birokrasi kampus mengetahui kehamilanku di luar nikah, yang berujung dengan memecatku.

Pihak kampus tidak mengetahui siapa bapak dari bayi yang kukandung. Dia mengancamku dan menyuruhku untuk tutup mulut. Aku tersudut. Entah mengapa dia sudah begitu menguasai hidupku. Seakan membuatku tak mampu bergerak.

Dan aku tidak mengerti, mengapa aku selalu menurut saja pada setiap kata dan perintahnya. Yang bisa kulakukan hanya memohon kepadanya untuk bertanggung jawab atas perbuatannya terhadapku.

Ia bersedia menikahiku dengan satu syarat, aku harus keluar dari Islam dan masuk ke agamanya. Menjadi seorang non muslim sepertinya. Ternyata orang yang selama ini mencurahkan perhatiannya -yang kukira tulus untukku- adalah seorang misionaris.

Istilah ini juga baru kukenal setelah semuanya sudah terlanjur terjadi. Selama ini istilah itu hanya lewat saja di kepalaku. Masuk telinga kiri, keluarpun juga lewat telinga yang sama. Aku tidak pernah membayangkan jika aku akan menjadi korbannya. Aku tidak pernah menduga kalau istilah dan kekhawatiran sebagian kaum muslim tentang misi itu ternyata menimpa kehidupanku.

Mirisnya karena aku sudah terlanjur menjadi korbannya. Kakiku sudah sulit dan mungkin tidak bisa lagi aku tarik kembali. Yang ada di kepalaku saat itu bukan lagi tentang aqidahku, tetapi tentang makhluk kecil yang ada di rahimku. Tentang aib, tentang calon bayi yang aku juga mulai mencintainya. Aku tidak ingin menggugurkannya. Ia darahku dan aku ingin merasakan desahan nafasnya. Merasakan kaki-kaki kecilnya nanti akan meronta di dalam dekapanku.

Otakku sudah buntu, bagiku sudah tak ada lagi pilihan lain. Aku tidak sanggup menghadapi aib ini sendiri, imanku begitu lemah. Aku tidak mau bayiku terlahir tanpa ayah dan akan dicemooh kelak di tengah masyarakat. Ditambah lagi siapa yang akan menanggung beban ekonomi kami nanti? Sedangkan aku sudah dipecat dan menjadi salah satu dari sekian banyak pengangguran yang ada di kota ini.

Akhirnya, kuikuti keinginannya. Kujual akidahku dengan harga yang sangat murah dan tak bernilai. Kulepas jilbab yang selama ini menutup kepalaku, beralih ke agamanya, murtad dari agama Islam yang benar dan suci.

Tapi lagi-lagi, keputusanku itu bukanlah hal yang tepat. Saat ini, meskipun ia sudah berhasil menjadikanku sebagai salah satu korban misinya, ia tengah berusaha mendekati dan mengejar seorang mahasiswi, tetap di kampus yang sama. Korban misi yang berikutnya.

Aku sama sekali tidak berdaya, aku sangat lemah dan pengecut. Aku selalu ketakutan dengan ancaman-ancaman dan perlakuannya yang keras dan kasar. Aku ketakutan pada kekasaran tangannya yang selalu menyiksa tubuhku. Rasanya perih. Aku menjadi semakin lemah. Aku tak tahu mengapa harus menjadi seperti ini? Padahal bisa saja aku lari menjauh dari hidupnya. Tapi lagi-lagi tetap saja aku tidak bisa. Ada yang mengikatku dengannya, sesuatu yang tidak aku mengerti.

Tapi hatiku sedikit lega saat kudengar bahwa mahasiswi itu memiliki sahabat seorang akhwat berjilbab besar yang selalu bersamanya. Akhwat itu pastilah lebih mengerti tentang kristenisasi dan akan memahamkan dirinya. Sehingga mau tidak mau, misionaris yang saat ini sudah menjadi suamiku sulit untuk bisa mendekatinya.

Saat kisah ini dituturkan, aku masih dalam keadaan seperti ini, terkatung dalam penderitaan dan penyesalan. Penderitaanku ini mungkin adalah balasan atas dosa besar yag telah kuperbuat.

Hanya ini yang bisa kulakukan untuk para calon ibu di manapun berada. Semoga kisahku ini yang hanya berwujud tinta di atas kertas, dapat dibaca dan dijadikan sebagai pelajaran bagi seluruh perempuan -khususnya para remaja muslimah- bahwa misionaris sedang berkeliaran di sekitar kita dengan metode-metodenya yang beragam.

Selagi masih sempat, belajarlah tentang agama Allah. Jangan tunggu sampai menyesal seperti keadaanku sekarang. Jangan menunggu sampai kau merasa bingung dengan tindakan apa yang harus kau lakukan saat kehancuran kita sebagai wanita yang gagal mempertahankan kehormatannya menyapa.

Selagi muda, belajar dan belajarlah untuk memperkuat aqidah keislaman yang mulia. Kenalilah mereka dari metode-metode apa saja yang mereka gunakan. Tingkatkan kewaspadaan dan tolong sebarkan pada saudarimu yang lain. Agar tidak lagi menjadi tangis penyesalan seperti yang aku alami terhadap mereka. Agar tidak ada lagi terjadi perusakan fitrah terhadap bayi-bayi yang tak berdosa. Jika ibu mereka adalah Islam, maka insya Allah anaknya juga akan Islam.

Habiskan waktumu untuk ilmu, dan jangan kau habiskan untuk mencari-cari trend model terbaru, berjalan di mall tanpa manfaat atau menghabiskannya di kegelapan malam dengan lelaki yang kau pandang sebagai kekasih.

Mereka bukan kekasih …, tetapi serigala yang ingin menelanmu bulat-bulat. Bacalah buku-buku atau majalah-majalah Islami. Jadilah wanita yang cerdas dan tangguh. Belajarlah dari kesalahan dan kelemahanku. Belajarlah dari penyesalan dan penderitaanku. Sungguh …, apa yang kualami sangat menyakitkan. Kau akan merasa antara hidup dan mati. Tak ada lagi senyum ceria. Air matapun mengering. Selagi kau bisa meniti dan merencanakan mada depanmu.

Aku hanya bisa bercerita, setidaknya semoga engkau bisa merenung barang sedetik. Sekali lagi …, belajarlah dari hidupku!!! Dan tolong doakanlah aku semoga saja suatu saat nanti keberanian itu akan muncul dalam diriku, sehingga aku bisa kembali ke jalan-Nya yang benar.

Mudah-mudahan Allah mendengar doamu meski hanya seorang diantaranya. Tolong doakanlah aku barang semenit saja. Karena saat ini aku benar-benar merasakan ketidakberdayaan sebagai seorang wanita dan sebagai seorang manusia.

“Anakku, maafkan Ibu karena telah merusak fithrahmu, cepatlah besar untuk bisa menentukan sendiri jalan hidupmu.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Semua bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu bapaknyalah yang menjadikannya yahudi, nasrani, atau majusi.” (HR.Bukhari)

Dari seorang sahabat, Cahaya Bintang
Semoga Allah selalu menjagamu.
24 Juli 2005

diketik ulang dari buku:
“KARENA CINTA AKU MURTAD; kisah-kisah bertabur hikmah dan insprirasi untuk melewati episode keremajaan kamu” Suherni Syamsul, Penerbit: Gen!mirqat, hal 1-11.
http://jilbab.or.id/archives/516-karena-cinta-aku-murtad/

Jangan Cari Jodoh di Dunia Maya, Keshalihannya Belum Tentu Nyata

Sebelumnya kami hanya membaca nasihat seperti ini di dunia maya. Akan tetapi setelah mendengar dan melihat langsung, dan kasusnya tidak hanya satu. kami melihat bukti langsung bagaimana seorang laki-laki dan wanita, yang sudah mengenal agama dengan manhaj yang benar berdasarkan pemahaman sahabat, mereka berdua malah terjerumus dalam hal ini. Padahal kita sudah diajarkan bagaimana cara yang benar mencari jodoh yaitu dengan ta’aruf yang syar’i. Oleh karena itu maka kami coba menangkat tema ini.

Umumnya dilakukan oleh yang kurang imannya
Mungkin awalnya tidak bermaksud mencari jodoh, akan tetapi lemahnya iman yang membuatnya bermudah-mudah berhubungan dengan hubungan yang tidak halal, padahal mereka sudah mengetahui ilmunya. Inilah fenomena yang sering terjadi belakangan ini, wanita dibalik hijabnya yang tertutup rapat tetapi hijab kehormatannya tidak tertutup dibalik e-mail, inbox FB, dan SMS. Begitu juga dengan laki-laki dengan penisbatan mereka kepada, “as-salafi”, “al-atsari” dengan hiasan-hiasan status dan link berbau syar’i, akan tetapi sikap dan wara’-nya tidak menunjukkan demikian.

Hubungan laki-laki dengan wanita yang berujung cinta adalah kebahagian hati terbesar bagi manusia terutama pemuda, lebih-lebih bagi mereka yang belum pernah mecicipi sama sekali. Maka ketika bisa merasakan pertama kali sebagaimana berbuka puasa, sangat nikmat dan bahagia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
للصائم فرحتان : فرحة عند فطره و فرحة عند لقاء ربه
Orang yang berpuasa memiliki 2 kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka puasa dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabb-Nya kelak” (HR. Muslim, no.1151)

Mereka yang sudah paham tentu tidak leluasa melakukannya di dunia nyata, baik karena tidak ada kesempatan ataupun malu jika ketahuan. Akan tetapi kedua hal ini hilang ketika berkecimpung di dunia maya. Mulai dari cara halus dengan menyindir dan tersirat ke arah cinta tak halal sampai dengan cara terang-terangan. Ketika mereka merasakan nikmat perasaan cinta yang berbunga-bunga maka lemahnya iman tidak bisa membendung sebagaimana berbuka puasa. Sehingga terjalinlah cinta yang tidak diperkenankan syariat bahkan sampai ke arah pernikahan.

Terkesan shalih dan shalihah di dunia maya
Jangan langsung terburu-buru menilai seseorang alim atau shalih hanya karena melihat aktifitasnya di dunia maya. Sering meng-update status-status agama, menaut link-link agama dan terlihat sangat peduli dengan dakwah. Hal ini belum tentu dan tidak menjadi tolak ukur keshalihan seseorang. Dan apa yang ada di dunia maya adalah teori, bukan praktek langsung. Bisa jadi sesorang sering menulis status agama, menaut link syar’i tetapi malah mereka tidak melaksanakannya dan melanggarnya, apalagi ada beberapa orang yang bisa menjaga image alim di dunia maya, pandai merangkai kata, pandai menjaga diri dan pandai memilih kata-kata yang bisa memukai banyak orang

Tolak ukur kita bisa menilai keshalihan seseorang secara dzahir adalah takwa dan aklaknya yang terkadang langsung bisa kita nilai dan melihatnya di dunia nyata, bukan menilai semata-mata bagaimana teorinya saja di dunia maya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Iringilah kejelekan dengan kebaikan niscaya ia akan menghapuskan kejelekan tersebut dan berakhlaklah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi no. 1987 dan Ahmad 5/153. Abu ‘Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

Syaikh  Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullahu menjelaskan hadist ini,
فمن اتقى الله و حقق تقواه, و خالق الناس غلى اختلاف طبقاتهم بالخلق الحسن
: فقد جاز لخير كله, لآنه قام بجق الله و حقوق الغباد,
ولآنه كان من المحسنين في عبادة الله, المحسنين إلى عباد الله
“Barangsiapa bertakwa kepada Alloh, merealisasikan ketakwaannya dan berakhlak kepada manusia -sesuai dengan perbedaan tingkatan mereka- dengan akhlak yang baik, maka ia medapatkan kebaikan seluruhnya, karena ia menunaikan hak hak Alloh dan Hamba-Nya. [Bahjatu Qulubil Abror hal 62, cetakan pertama, Darul Kutubil ‘ilmiyah]

Tidak amanah ilmiyah
Ada juga yang ingin nampak alim dan berilmu di dunia maya dengan niat yang tidak ikhlas [Alhamdulillah ini cukup sedikit]. Selain cara-cara di atas seperti update status agama setiap jam, menaut link beberapa kali sehari, membuat note setiap hari [waktunya sangat terbuang di dunia maya]. Ada cara lainnya yaitu tidak melakukan amanat ilmiyah misalnya:

- membuat note hampir tiap hari dengan copas dari tulisan orang lain tetapi tidak mencantumkan sumber sehingga orang menyangka dia yang menulisnya

- membuat note dengan copas dari tulisan lainnya, kemudian mengubah-ubah sedikit atau menambah komentar sedikit kemudian menisbatkan tulisan pada dirinya.

Dan masih banyak contoh yang lainnya, silahkan baca Menunaikan Amanah Ilmiyah dan Jujur Dalam Tulisan

Maka tidak heran ada yang mengaku pernah bertemu dengan seseorang yang di dunia maya terkesan sangat alim dan berilmu. Namun tatkala bertemu di dunia nyata, ternyata ia jauh dari apa yang ia sandiwarakan di dunia maya. Jauh dari ilmu, akhlak dan takwa.

Perlu husnudzan juga
Kita perlu mengedapankan husnudzon juga, karena ada mereka yang memang kerjanya berhubungan dengan dunia internet seperti ahli IT dan berdagang via internet. Jadi mereka sangat memanfaatkan kesempatan tersebut untuk berdakwah mengingat sekarang dunia maya sangat digandrungi oleh masyarakat dunia. Sebaiknya kita jangan berburuk sangka kepada mereka dengan mengira sok alim, sok update status bahasa arab, sok serba syar’i dan sok suci. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. (QS al-Hujuraat: 12)

Kita juga perlu melihat panutan para ulama dan ustadz, mereka lebih sibuk dan lebih memprioritaskan dengan ilmu dan dakwah di dunia nyata, karena kita hidup di dunia nyata. Ilmu dan dakwah di dunia maya adalah prioritas kemudian setelah ilmu dan dakwah di dunia nyata.

Terperdaya dengan cinta dunia maya
Dan mereka yang tidak kuat imannya, terperdaya sekaligus dengan hubungan tak halal yang mereka lakukan, mereka sudah terperangkap cinta. maka semakin lengkap sudah, mereka melihatnya sebagai sebuah keindahan tiada tara sampai-sampai menutup beberapa kekurangan yang harusnya menjadi pertimbangan paling terdepan yaitu agama dan ahklak.

Keindahan bisa membuat jatuh cinta…
Dan cinta bisa membuat segalanya menjadi indah…

Seorang penyair berkata,
هويتك إذ عينى عليها غشاوة … فلما انجلت قطعت نفسي ألومها
“Kecintaanku kepadamu menutup mataku
Namun ketika terlepas cintaku, semua aibmu menampakkan diri”
[[Al-Jawabul Kaafi 214, Darul Ma’rifah, cetakan pertama, Asy-Syamilah]

Inilah salah satu yang dikhawatirkan, karena cinta sudah menancap tidak peduli lagi, padahal kenal hanya di dunia maya, kemudian memutuskan untuk ketemu, ta’aruf ala kadar dan menikah. untuk mengetahui bagaimana kehidupan dunianya saja sulit, bagaimana wajah aslinya [walaupun tukar foto, maka foto sekarang bisa berbalik 180 derajat dengan aslinya], bagaimana masa depannya dan bagaimana tanggung jawabnya, apalagi untuk mengetahui agama dan akhlaknya yang menjadi prioritas utama, walaupun terkesan shalih tetapi sekali lagi itu hanya di dunia maya, belum tentu.

Wanita korban utama
Jelas wanita yang lebih menjadi korban, karena wanita umumnya memiliki hati yang lemah, lemah dengan pujian, lemah dengan perhatian, lemah dengan kata-kata puitis. Bisa kita lihat di berita-berita bagaimana wanita tidak sedikit yang menjadi korban, baik korban kejahatan, pelecehan seksual sampai pemerkosaan oleh teman yang ia kenal di dunia maya.

Begitu juga dengan wanita penuntut ilmu agama, mengingat pentingnya agama dan akhlak suami, sampai-sampai ada yang berkata, “agama istri mengikuti suaminya, jika ada wanita yang multazimah menikah dengan laki-laki yahudi, maka ia akan terpengaruh”. Jika wanita tersebut terjerumus dengan cinta di dunia maya dan sudah tertancap cinta dan sudah tertutup kekurangan laki-laki tersebut dengan cinta buta.

Sebagaimana kisah nyata yang kami dapatkan, mereka berdua kenal di dunia maya, kemudian sang laki-laki dari kota yang jauh menyebrang dua pulau datang untuk bertemu ke kota wanita tersebut. Maka sang wanita yang sudah terperangkap cinta, langsung “klepek-klepek” dengan sedikit pengorbanan laki-laki tersebut dan langsung ingin menikah. Padahal lak-laki tersebut, wajahnya kurang, porsi tubuh juga kurang, ilmu agama juga belum jelas, dan masa depan juga masih belum jelas karena hanya lulusan SMA. [Semoga mereka berdua bertaubat dan selalu berada dalam penjagaan Allah, Amin]

Jangan memulai sesuatu yang suci dengan kemurkaan Allah
Pernikahan dan membangun rumah tangga adalah sesuatu yang suci dan anjuran syariat. Dari pernikahan berawal segala sesuatu dan mengubah kehidupan seseorang dengan perubahan yang besar. Kemudian dari pernikahan lahirnya manusia, lahirlah masyarakat dan lahir berbagai perihal kehidupan. Maka janganlah kita memulainya dengan kemurkaan dan ketidakridhaan dari Allah. Jangan kita mulai dengan hubungan yang tidak halal. Karena ia adalah dasar dan pondasinya.

Hendaklah yakin dengan janji Allah dan bersabar dengan ta’aruf yang syar’i, perbaiki diri dan tingkatkan kualitas ilmu, iman, akhlak dan takwa maka kita akan mendapat pasangan yang baik. Allah Ta’ala berfirman,
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ
“Wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yang keji pula. Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik. Dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik pula.” (QS. An Nur: 26)

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Disempurnakan di Lombok, pulau seribu masjid
6 Shafar 1432 H, Bertepatan  31 Desember 2011

Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel http//muslimafiyah.com

Macam-Macam Kemurtadan

MURTAD

Murtad berasal dari kata irtadda yang artinya raja’a (kembali), sehingga apabila dikatakan irtadda ‘an diinihi maka artinya orang itu telah kafir setelah memeluk Islam (lihat Mu’jamul Wasith, 1/338)
Perbuatannya yang menyebabkan dia kafir atau murtad itu disebut sebagai riddah (kemurtadan). 

Secara istilah makna riddah adalah : menjadi kafir sesudah berislam. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Barangsiapa diantara kalian yang murtad dari agamanya kemudian mati dalam keadaan kafir maka mereka itulah orang-orang yang terhapus amalannya di dunia dan akhirat. Dan mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal berada di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah : 217) (lihat At-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 32)

Macam-macam riddah

1.Riddah dengan sebab ucapan
Seperti contohnya ucapan mencela Allah ta’ala atau Rasul-Nya, menjelek-jelekkan malaikat atau salah seorang rasul. Atau mengaku mengetahui ilmu gaib, mengaku sebagai Nabi, membenarkan orang yang mengaku Nabi. Atau berdoa kepada selain Allah, beristighotsah kepada selain Allah dalam urusan yang hanya dikuasai Allah atau meminta perlindungan kepada selain Allah dalam urusan semacam itu.

2.Riddah dengan sebab perbuatan
Seperti contohnya melakukan sujud kepada patung, pohon, batu atau kuburan dan menyembelih hewan untuk diperembahkan kepadanya. Atau melempar mushaf di tempat-tempat yang kotor, melakukan prakatek sihir, mempelajari sihir atau mengajarkannya. Atau memutuskan hukum dengan bukan hukum Allah dan meyakini kebolehannya.

3.Riddah dengan sebab keyakinan
Seperti contohnya meyakini Allah memiliki sekutu, meyakini khamr, zina dan riba sebagai sesuatu yang halal. Atau meyakini roti itu haram. Atau meyakini bahwa sholat itu tidak diwajibkan dan sebagainya. Atau meyakini keharaman sesuatu yang jelas disepakati kehalalannya. Atau meyakini kehalalan sesuatu yang telah disepakati keharamannya.

4.Riddah dengan sebab keraguan
Seperti meragukan sesuatu yang sudah jelas perkaranya di dalam agama, seperti meragukan diharamkannya syirik, khamr dan zina. Atau meragukan kebenaran risalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para Nabi yang lain. Atau meragukan kebenaran Nabi tersebut, atau meragukan ajaran Islam. Atau meragukan kecocokan Islam untuk diterapkan pada zaman sekarang ini (lihat At-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 32-33)

Hukum yang terkait dengan orang murtad

1.Orang yang murtad harus diminta bertobat sebelum dijatuhi hukuman. Kalau dia mau bertobat dan kembali kepada Islam dalam rentang waktu tiga hari maka diterima dan dibebaskan dari hukuman.

2.Apabila dia menolak bertobat maka wajib membunuhnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah dia.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)

3. Kemurtadannya menghalangi dia untuk memanfaatkan hartanya dalam rentang waktu dia diminta tobat. Apabila dia bertobat maka hartanya dikembalikan. Kalau dia tidak mau maka hartanya menjadi harta fai’ yang diperuntukkan bagi Baitul Maal sejak dia dihukum bunuh atau sejak kematiannya akibat murtad. Dan ada pula ulama yang berpendapat hartanya diberikan untuk kepentingan kebaikan kaum muslimin secara umum.

4. Orang murtad tidak berhak mendapatkan warisan dari kerabatnya, dan juga mereka tidak bisa mewarisi hartanya.

5. Apabila dia mati atau terbunuh karena dijatuhi hukuman murtad maka mayatnya tidak dimandikan, tidak disholati dan tidak dikubur di pekuburan kaum muslimin akan tetapi dikubur di pekuburan orang kafir atau di kubur di tanah manapun selain pekuburan umat Islam (lihat At-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 33)

http://abumushlih.com/murtad.html/


Berbagai Hal yang Bisa Membuat Seseorang Murtad

Tanya: Dengan apakah seorang itu terjerumus ke dalam kekafiran besar alias murtad? Apakah hanya karena keyakinan, pengingkaran dan pendustaan ataukah lebih luas daripada sekedar hal-hal tadi?

Jawab:
Kekafiran atau murtad itu karena beberapa sebab, bisa dikarenakan mengingkari sesuatu yang sudah diketahui secara pasti sebagai bagian dari agama atau dengan melakukan perbuatan kekafiran, ucapan kekafiran atau karena tidak peduli dan cuek dengan agama Allah.

Jadi ada orang yang batal imannya karena keyakinan semisal berkeyakinan bahwa Allah memiliki istri atau anak. Atau menyakini bahwa Allah memiliki sekutu dalam memiliki atau mengatur alam semesta. Atau menyakini ada makhluk yang memiliki nama, sifat atau perbuatan sebagaimana Allah. Atau menyakini ada suatu makhluk yang berhak disembah atau menyakini bahwa Allah memiliki sekutu dalam rububiyyah. Dengan keyakinan-keyakinan ini seorang itu terjerumus dalam kekafiran besar yang mengeluarkan dari Islam.

Seorang itu juga bisa murtad karena perbuatan semisal bersujud kepada berhala, mempraktekkan ilmu sihir atau melakukan berbagai bentuk kesyirikan seperti berdoa kepada selain Allah, menyembelih hewan untuk selain Allah, bernadzar untuk selain Allah atau berthawaf di selain Ka’bah dalam rangka mendekatkan diri kepada selain Allah. Jadi orang bisa murtad karena perbuatan sebagaimana murtad karena ucapan.

Seorang juga bisa murtad gara-gara ucapan semisal mencaci Allah, mencaci rasulNya, mencaci Islam, atau mengolok-olok Allah, kitabNya, rasulNya, atau agamaNya.

Allah berfirman tentang sekelompok orang dalam perang Tabuk yang mengejek Nabi dan para shahabat

قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُم

Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa (QS at Taubah 65-66).

Dalam ayat ini Allah menetapkan bahwa mereka kafir setelah dulunya beriman, maka ini menunjukkan bahwa kekafiran itu bisa karena perbuatan sebagaimana bisa sebab keyakinan dan bisa dengan ucapan semisal dalam ayat di atas. Orang-orang tersebut kafir gara-gara omongan.

Murtad karena pengingkaran bisa kita nilai sama dengan murtad karena keyakinan. Namun bisa juga kita bedakan. Bedanya yang dimaksud pengingkaran adalah mengingkari hal-hal yang jelas-jelas diketahui secara pasti merupakan bagian dari agama. Misalnya adalah mengingkari sifat rububiyyah atau uluhiyyah untuk Allah, atau mengingkari bahwa Allah-lah yang berhak disembah atau mengingkari adanya malaikat tertentu, mengingkari adanya rasul atau kitab suci tertentu, mengingkari ba’ats (bangkit dari kubur), surga, neraka, balasan amal, hisab, mengingkari wajibnya shalat, wajibnya zakat, haji, puasa, berbakti dengan orang tua, silaturahmi dan hal-hal lain yang telah diketahui secara pasti sebagai bagian dari agama yang hukumnya adalah wajib. Demikian pula halnya dengan mengingkari haramnya zina, riba, minum khamr, durhaka dengan orang tua, memutus hubungan kekerabatan, suap dan hal-hal lain yang diketahui secara pasti merupakan bagian dari agama yang hukumnya adalah haram.

Orang juga bisa murtad karena cuek terhadap agama Allah dan meninggalkan atau menolak agama Allah semisal cuek tidak mau mempelajari agama dan tidak mau menyembah Allah. Orang yang semisal ini murtad disebabkan sikap cueknya.

وَالَّذِينَ كَفَرُوا عَمَّا أُنْذِرُوا مُعْرِضُونَ

Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka (QS al Ahqaf:3).

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِآياتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنْتَقِمُونَ .

Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa (QS as Sajdah:22).

Walhasil murtad itu bisa gara-gara pengingkaran, perbuatan, ucapan atau cuek dan tidak peduli.

Orang yang dipaksa untuk mengucapkan ucapan kekafiran atau perbuatan kekafiran itu dimaafkan jika paksaannya adalah paksaan yang menyebabkan tidak ada pilihan lain. Semisal dipaksa oleh seseorang yang bisa mewujudkan ancamannya dengan diancam untuk dibunuh dan orang tersebut memang bisa membunuh. Atau orang tersebut meletakkan pedang dileher orang yang dipaksa. Dalama kondisi semisal ini orang yang dipaksa tadi dimaafkan jika melakukan perbuatan kekafiran atau ucapan kekafiran dengan catatan hatinya tetap mantep dengan keimanan. Jika hatinya mantep dengan kekafiran yang dipaksakan pada dirinya tersebut maka orang yang dipaksa tadi berstatus murtad meskipun dia adalah seorang yang dipaksa.

Seorang yang melakukan kekafiran itu terbagi dalam lima kondisi
1) melakukan perbuatan kekafiran secara serius
2) melakukan perbuatan kekafiran secara main-main
3) melakukan perbuatan kekafiran dalam kondisi ketakutan
4) melakukan perbuatan kekafiran dalam kondisi dipaksa namun hatinya merasa mantep dengan kekafiran. Pelaku kekafiran dalam empat kondisi di atas imannya batal.
5) melakukan perbuatan kekafiran dalam kondisi dipaksa sedangkan hati merasa tetap mantep dengan keimanan. Dalam kondisi kelima ini pelaku kekafiran tidaklah murtad mengingat firman Allah

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْراً فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّوا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الْآخِرَةِ وَأَنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.yang demikian itu disebabkan karena Sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir (QS an Nahl 106-107).


http://ustadzaris.com/berbagai-hal-yang-bisa-membuat-seseorang-murtad

Pemahaman Bid’ah Untuk Orang Awam


بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمـَنِ الرَّحِيمِ

Innalhamdalillahi nahmaduhu wanasta’iinuhu wanastaghfiruhu Wana’udzubiillah minsyurruri ‘anfusinaa waminsayyi’ati ‘amaalinnaa manyahdihillah falah mudhillalah Wa man yudhlil falaa haadiyalah wa-asy-hadu allaa ilaaha illallaahu wah-dahu laa syariikalah wa-asy-hadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuuluh.

Mari memahami Bid’ah dengan Logika (bukan berarti kita main akal atau mu’tazilah lhoo)

Kenapa saya memilih bahasan dengan logika ? alasannya adalah karena saya ingin memberikan pengetahuan “Dasar” kepada kaum muslimin, khususnya bagi yang baru saja belajar mendalami agama Islam terlebih tentang kaidah Bid’ah.

Baiklah, saya tekankan bahwa kata “Bid’ah” itu jika di “Indonesia” kan berarti INOVASI, untuk itu saya akan menyebut INOVASI dalam penjelasan – penjelasan di bawah ini (Supaya lebih familiar di telinga OK .. )


1. Apa itu INOVASI ?
INOVASI adalah hal baru, hal-hal yang sudah diberi penambahan dan pengurangan sehingga menjadi baru atau berubah dari kondisi sebelumnya.

2. Apa yang mendasari INOVASI ini tercipta ?
Kecenderungan manusia yang selalu mengembangkan akal pikiran, ilmu pengetahuan dan rasa ketidakpuasan terhadap sesuatu yang sudah ada (Selalu merasa kurang).

3. Apa sebab INOVASI ini ada ?
Waktu yang menyebabkan INOVASI ini terus berkembang.

4. Apakah INOVASI selalu baik buat manusia?
Tentu Tidak !! Ada INOVASI yang baik dan bermanfaat buat sesama manusia ada juga yang INOVASI yang berakibat buruk buat manusia.

5. Contoh INOVASI yang baik buat manusia ?
  • Kereta kuda menjadi Mobil
  • Telegram menjadi SMS
  • Surat menjadi E-Mail
  • Mesin Ketik menjadi Laptop
  • Kurir Pesan menjadi Gelombang Radio/Signal Telephone
  • Bedah pisau menjadi bedah laser
  • Dan masih buaanyaaaaaak lagi hampir semua teknologi dan fasilitas yang kita pake saat ini merupakan hasil dari INOVASI dari jaman sebelumnya

6. Contoh INOVASI yang berakibat buruk buat manusia ?
  • Robot yang gagal produk
  • Kawin silang manusia dengan hewan
  • Produk yang menyebarkan radiasi
  • Mesin yang menimbulkan pencemaran (polusi)
  • Peralatan yang mudah meledak tanpa pengamanan khusus
  • Pencampuran melamin dalam susu
  • Penggunaan bahan kimia dalam jamu
  • Penggunaan narkotik untuk konsumsi harian
  • Dan masih banyak lagi contohnya

7. INOVASI di atas bisa dalam kehidupan sehari-hari, banyak contoh barangnya, adakah INOVASI dalam agama ?
Ada !

8. INOVASI apa contohnya ?
INOVASI dalam beribadah kepada Tuhannya

9. Ibadah kok ber-INOVASI ? Apa boleh ?
Dalam Islam TIDAK BOLEH ! tapi agama lain mungkin DIBIARKAN..

10. Contoh INOVASI yang dibiarkan oleh agama lain ?
Kitab injil yang keluar dengan beberapa versi pembaharuan (INOVASI )

11. Contoh INOVASI beribadah dalam Islam yang dilarang ?
Semuanya dilarang dong …
  • Cara sholat yang tidak sesuai ajaran Rasulullah
  • Cara puasa yang tidak sesuai ajaran Rasulullah
  • Cara berdo’a yang tidak sesuai ajaran Rasulullah
  • Cara berdzikir yang tidak sesuai ajaran Rasulullah
  • Cara berwudhu yang tidak sesuai ajaran Rasulullah
  • Cara adzan yang tidak sesuai ajaran Rasulullah
  • Dan semua bentuk ibadah kepada Allah yang tidak sesuai ajaran Rasulullah

12. INOVASI untuk ibadah kok dilarang ? kalo lebih baik kenapa tidak ?
Islam sudah sempurna bro !! Kenapa ada penambahan dan pengurangan kalo Allah sendiri sudah bilang SEMPURNA !!

13. Nah itu .. Mobil, Laptop dan fasilitas INOVASI lain kok boleh dilakukan ?
Itu bukan INOVASI beribadah bro .. tapi INOVASI pada kebutuhan dunia.

14. Bukankah mobil untuk ke masjid, pesawat terbang untuk pergi Haji adalah bentuk ibadah ? Berarti mobil, pesawat dan lainnya juga bisa saja termasuk INOVASI dalam hal ibadah dong ?
Itukan tujuan selanjutnya, bukan tujuan utamanya ..

15. Maksud bukan tujuan utamanya ?
  • Mobil, pesawat, kereta api, kapal pesiar dibuat sebagai bentuk INOVASI dengan tujuan asal adalah INOVASI dalam bentuk transportasi baik darat, laut atau udara.
  • Begitu Juga dengan speaker, gelombang radio, telephone dibuat sebagai bentuk INOVASI dengan tujuan asal INOVASI untuk komunikasi baik yang berupa pengeras suara maupun komunikasi jarak jauh.
  • Contoh lain dakwah melalui Internet, tujuan utama dari INTERNET adalah bentuk INOVASI dalam hal teknologi informatika dan elektronika.
16. Berarti untuk membedakan apakah INOVASI itu bentuk ibadah atau bukan musti dilihat tujuannya dulu ya ?
Yup .. benar

17. Nah kalo Al-Quran yang disusun menjadi kitab, itu INOVASI dalam bentuk apa ?
Menyusun Al-Quran bukan INOVASI bro .. tapi udah dari jaman Rasulullah.

18. Ah masak sih ? Buktinya ?
Iya .. pengumpulan dan penyusunannya melalu hafalan (disimpan di ingatan dan hati) para sahabat, ditulis di atas daun, kulit, tulang dan sejenisnya.

19. Tapi kok sekarang Al-Quran jadi buku (kitab) yang sangat menarik dan mudah dibaca ? Bukankah ini juga termasuk INOVASI yang baik ? Karena memudahkan buat kita di jaman ini.. dan membaca Al-Quran ini adalah ibadah apakah ini juga dilarang karena termasuk INOVASI dalam ibadah ?

INOVASInya kan dari media cetaknya bro .. dari daun menjadi kertas, dari diikat (disatukan) menjadi dijilid, so ini INOVASI di media cetak dan sekarang juga ada INOVASI dari media cetak menjadi media digital dengan tujuan untuk memudahkan apa yang akan dilihat, dibaca pada media cetak atau media digital itu.

20. Jadi INOVASI pembuatan Al-Quran itu ada di medianya ya .. bukan INOVASI di cara membacanya Al-Qurannya ?
Betul sekali, kalo ada orang yang membaca Al-Quran dengan selalu menambahkan ayat atau menambahkan bacaan lain itu baru namanya INOVASI dalam beribadah.

21. Emang ada INOVASI dalam membaca Al-Quran ?
Ada .. Contohnya :
  • Aliran (sekte) yang sholat membaca ayat Al-Quran kemudian ditambah dengan terjemahannya dalam sholatnya
  • Setelah selesai membaca Ayat selalu diakhiri dengan bacaan sodaqollahul adziim.

22. Berarti kesimpulannya INOVASI itu ada 2 pengelompokkan pokok ya ?
Betul .. yaitu :
  • INOVASI dalam segi bahasa yang berarti penemuan baru, hal baru , perkara baru yang tidak menjadi dasar pokok untuk beribadah kepada Allah.
  • INOVASI dalam beribadah kepada Allah.

23. Terus kalo INOVASI dalam segi bahasa terbagi juga kan ?
Ya .. yaitu :
  • INOVASI yang baik, terpuji, dan bermanfaat.
  • INOVASI yang buruk, tercela dan merugikan.
  • Mungkin ada juga INOVASI yang ditengah – tengah , tidak baik dan juga tidak buruk.

24. Kalo INOVASI dalam beribadah ada pembagiannya juga gak ?
Gak Ada !! Karena INOVASI dalam beribadah semuanya DILARANG ! DOSA ! ancamannya neraka bro.

25. Kalo masih ada yang bingung ? Ragu ? Dan berselisih ? Gimana dong ?
Gampang.. kalo ada dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah berarti jalanin, kalo gak ada berarti termasuk INOVASI dalam beribadah yang musti kita tinggalkan.

26. Kalo ada yang berdalil, Ulama ini bilang baik, Imam ini bilang boleh, Wali ini bilang sunnah gimana dong ?
Gampang .. Kalo Rasulullah dan 3 generasi sahabat tidak pernah mengajarkan dan mengamalkan berarti tinggalkan !!

27. Kalo ada yang berdalih.. tapi Sahabat bilang boleh, sahabat bilang baik gimana dong ? Dia kan juga 3 generasi sahabat.. umat terbaik ?
Kalo dibenarkan Rasulullah berarti dilakukan dong.. tapi kalo bertentangan dengan Rasulullah tinggalkan.. tinggian mana keislaman dan keimanan antara Rasulullah dengan sahabat .. hayo ??!!

28. Walaupun banyak yang melakukan, bahkan sebagian besar melakukan amalan itu karena dianggap baik menurut Imam, Ulama dan Wali ? Masak kita gak boleh ikut ikutan yang baik to?
Baik menurut siapa bro ??!! Apakah mungkin Rasulullah menyembunyikan amalan baik yang bisa mendatangkan ridha Allah ? Kalo itu baik menurut Rasulullah, pasti sudah diajarkan dan diamalkan oleh para sahabat dan 3 generasi terbaik dong ..

29. Trus apa bedanya amalan baik yang belum di contohkan Rasulullah dan para sahabat dengan INOVASI dalam beribadah ?
Gak Ada Bedanya !! Amal baik kan merupakan ibadah .. kalo dulu (3 generasi terbaik) belum ada terus sekarang jadi ada berarti kan INOVASI amalan .. alias INOVASI dalam beribadah.

30. Kenapa banyak orang selalu diributkan dengan INOVASI beribadah ini ya ? Bahkan sampe ada yang jotos jotosan .. ?
Ya soalnya orang yang berINOVASI dalam ibadah menganggap dirinya bertambah lebih baik .. padahal yang benar-benar baik adalah yang sudah mengambil KESEMPURNAAN dalam Islam .. bukan malah MENYEMPURNAKAN ..!! Emang kita tu siapa ?? Berani-beraninya MENYEMPURNAKAN (menambah nambahi) amalan lain di dalam Agama yang telah sempurna ..

31. Trus kalo kita timbul perselisihan gimana ? Kita menganggap itu INOVASI, sebagian yang lain menganggap Amalan yang baik .. gimana ??
Bersabar, berikan penjelasan pelan pelan, kembalikan kepada Al-Quran dan As-Sunnah dan bertawakal pada Allah.

32. Kalo mereka memaksa kita untuk mengikuti INOVASI ibadah mereka gimana ?
Ya silahkan aja ikut .. kalo kamu gak takut pada neraka dan adzab Allah..

33. Trus mungkin gak mereka yang suka berINOVASI dalam agama itu bisa sadar akan hal ini ?
Hanya Allah yang mengetahui kebenarannya, karena sesungguhnya INOVASI dalam ibadah ini lebih disukai syetan daripada perbuatan maksiat.

34. Lha kok bisa syetan lebih suka INOVASI dalam ibadah dari maksiat ?
Orang bermaksiat tahu kalo maksiat itu jelek jadi kemungkinan untuk menjauh dari kejelekan dan bertobat banyak .. Tapi orang berINOVASI dalam ibadah ini menganggap inilah yang LEBIH BAIK .. Jadi bagaimana mungkin orang yang SUDAH beranggapan yang dilakukannya itu baik tapi suruh bertobat dari kebaikannya (yang dia anggap baik) itu.

35. Berarti bahaya banget ya INOVASI dalam ibadah ini ?
Betul bro .. inilah justru yang menyebabkan Perselisihan, perpecahan sesama muslim.

36. Sebab perselisihan muslim ? Apa maksudnya ?
Iya .. coba kalo semua dikembalikan pada Al-Quran dan As-Sunnah, pasti ketemunya satu titik yaitu Islam yang benar !! Tapi karena ada dan banyak yang berINOVASI dalam beribadah akhirnya umat Islam jadi terpecah belah, ada yang ikut INOVASInya ulama A, ada yang ikut INOVASI nya ulama B dan seterusnya.

37. Kalo semua kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah tapi masih saja ada INOVASI dalam ibadah gimana dong ?
Berarti cara memahami Islam tidak sama dengan pemahaman pendahulu kita yang sholeh.

38. Pendahulu kita yang sholeh itu siapa ?
Dia adalah Salafush Sholeh yaitu 3 generasi terbaik setelah jaman Rasulullah.

39. Berarti selain dikembalikan pada Al-Quran dan As-Sunnah cara memahaminya gak boleh sembarangan ya ?
Iya dong … Agamanya Islam, landasan utamanya Al-Quran dan As-Sunnah, jalan-cara memahami dan mempelajarinya musti sesuai dengan orang-orang yang paling sholeh menurut Rasulullah yaitu 3 generasi sahabat.

40. Itukan generasi jaman dahulu ? Kalo sekarang siapa ?
Mereka adalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

41. OK deh … Trus kesimpulannya berarti ?
  • Perbanyak belajar ilmu Syar’i
  • Pahami Islam dengan pemahaman Salafush Sholeh
  • Ikuti petunjuk Al-Quran dan As-Sunnah
  • Jauhi INOVASI dalam beribadah
  • Kalo terjadi hal yang membingungkan tinggalin dulu sampe tahu benar apakah sudah sesuai dengan ajaran Rasulullah ato malah gak ada ajaran dan tuntunannya sama sekali, kalo ada tuntunan dari Rasulullah jalanin, kalo gak tinggalin !

42. Kalo masih belom puas dengan penjelasan singkat ini ?
Baca lagi berulang ulang.
Renungi dengan hati yang paling bersih.

Yah … Semoga dengan pengetahuan saya yang minim tapi udah berusaha maksimal untuk menjelaskan INOVASI dengan bahasa sehari-hari, dapat memberikan kebaikan buat pembaca sekalian.

“Subhanakallahumma wabihamdika Asyhadu anlaa ilaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaihi”
Wassalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
___________

Pengertian Manhaj Salaf dan Salafiyyah: Menurut Bahasa, Istilah dan Zaman

Pertama: Definisi Manhaj 

Manhaj menurut bahasa artinya jalan yang jelas dan terang. Allah Ta’ala berfirman:

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا 
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (Al-Maa-idah, QS 5: 48)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Maksudnya, jalan dan syari’at.” [1]

Sedang menurut istilah, manhaj ialah kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan yang digunakan bagi setiap pembelajaran ilmiyyah, seperti kaidah-kaidah bahasa Arab, ushul ‘aqidah, ushul fiqih, dan ushul tafsir dimana dengan ilmu-ilmu ini pembelajaran dalam Islam beserta pokok-pokoknya menjadi teratur dan benar.[2] 

Manhaj artinya jalan atau metode. Dan manhaj yang benar adalah jalan hidup yang lurus dan terang dalam beragama menurut pemahaman para Shahabat. Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan hafizhahullah menjelaskan perbedaan antara ‘aqidah dan manhaj, beliau berkata, “Manhaj lebih umum daripada ‘aqidah. Manhaj diterapkan dalam ‘aqidah, suluk, akhlak, muamalah, dan dalam semua kehidupan seorang Muslim. Setiap langkah yang dilakukan seorang Muslim dikatakan manhaj. Adapun yang dimaksud dengan ‘aqidah adalah pokok iman, makna dua kalimat syahadat, dan konsekuensinya. Inilah ‘aqidah. [3] 

Kedua: Definisi Salaf Menurut Bahasa 

Salaf berasal dari kata salafa-yaslufu-salafan, artinya adalah: telah lalu. Kalimat yang berbunyi al-qaum as-sullaaf, artinya kaum yang terdahulu. Sedangkan kalimat salafur rajuli, artinya: bapak-bapak mereka yang terdahulu. Bentuk jamaknya adalah aslaaf dan sullaaf.

Di antaranya juga kata as-sulfah, artinya: makanan ringan yang dimakan sebelum sarapan. At-Tasliif, artinya pendahuluan, sedangkan as-saalif dan as-saliif, artinya: orang yang terdahulu. Dan kata sulaafah, artinya: segala sesuatu yang engkau peras ialah awalnya. [4]

Kata Salaf juga bermakna: seseorang yang telah mendahului (terdahulu) dalam ilmu, iman, keutamaan, dan kebaikan. Ibnu Manzhur rahimahullah mengatakan, “Salaf juga berarti orang yang mendahului anda, baik dari bapak maupun orang-orang terdekat (kerabat) yang lebih tua umurnya dan lebih utama. Karena generasi pertama dari umat ini dari kalangan para Tabi’in disebut sebagai as-Salafush Shalih.” [5]

Masuk juga dalam pengertian secara bahasa, yaitu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada anaknya, Fathimah az-Zahra radhiyallahu ‘anha: “Sesungguhnya sebaik-baik Salaf (pendahulu) bagimu adalah aku.” [HR. Muslim no. 2450 (98)] 

Ketiga: Definisi Salaf Menurut Istilah 

Adapun menurut istilah, Salaf adalah sifat yang khusus dimutlakkan kepada para Shahabat. Ketika disebutkan Salaf, maka yang dimaksud pertama kali adalah para Shahabat. Adapun selain mereka, ikut serta dalam makna Salaf ini, yaitu orang-orang yang mengikuti mereka. Artinya, bila mereka mengikuti para Shahabat maka disebut Salafiyyin, yaitu orang-orang yang mengikuti Salafush Shalih.

Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman:

وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah, QS 9: 100)

Dalam ayat ini Allah Ta’ala menyebutkan generasi pertama umat ini adalah para Shahabat ridhwanullaahi ‘alaihim ajma’iin dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Mereka adalah orang-orang yang diridhai Allah, dan mereka dijamin masuk Surga. Dan orang-orang setelah mereka, yang mengikuti mereka dengan baik dalam ‘aqidah, manhaj, dan lainnya, maka mereka pun akan mendapatkan ridha Allah dan akan masuk Surga.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (Al-Fath, QS 48: 29)

Dan yang dimaksud “orang-orang yang bersama dia”, adalah para Shahabat.
Para ulama lain dari berbagai firqah pun mengatakan dan mengakui bahwa yang dimaksud dengan Salaf adalah para Shahabat.

Imam Ghazali rahimahullah berkata ketika mendefinisikan kata Salaf, “Yang saya maksud adalah mazhab Shahabat dan Tabi’in.” [6]

Al-Baijuri rahimahullah berkata, “Maksud dari orang-orang terdahulu (Salaf) adalah orang-orang terdahulu dari kalangan para Nabi, para Shahabat, Tabi’in, dan pengikutnya.” [7]

Yang dimaksud dengan Salaf pertama kali adalah Shahabat karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan: “Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Shahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in).” [HR. Bukhari no. 2652, Muslim no. 2533 (212), dari Shahabat Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu].

Imam al-Bukhari rahimahullah dalam kitab Shahihnya menyebutkan perkataan Rasyid bin Sa’ad rahimahullah: “Salaf itu suka kepada kuda jantan karena lebih cepat dan lebih berani.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani rahimahullah (wafat th. 852 H) berkata menjelaskan kata Salaf dari perkataan Rasyid bin Sa’ad di atas: “Maksudnya, dari kalangan para Shahabat dan orang-orang setelah mereka.” (Fathul Baari, VI/66).

Yang dimaksud adalah para Shahabat, karena Rasyid bin Sa’ad adalah seorang Tabi’in. Maka Salaf menurutnya adalah para Shahabat tanpa diragukan lagi.

Abdullah Ibnul Mubarak rahimahullah (wafat th. 181 H) berkata di hadapan para Tabi’in, “Tinggalkan hadits ‘Amr bin Tsabit, karena dia mencaci-maki Salaf.” (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimahnya, hal. 16).

Salaf yang dimaksud adalah para Shahabat karena Ibnul Mubarak adalah seorang Tabi’in.

Imam al-Auza’i rahimahullah (wafat th. 157 H) seorang Imam Ahlus Sunnah dari Syam berkata: “Bersabarlah dirimu di atas Sunnah, tetaplah tegak sebagaimana para Shahabat tegak di atasnya. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan, tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya. Dan ikutilah jalan Salafush Shalih karena akan mencukupimu apa saja yang mencukupi mereka.” (Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, I/174 no. 315).

Berdasarkan keterangan di atas menjadi jelaslah bahwa kata Salaf mutlak ditujukan untuk para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, semoga Allah Ta’ala meridhai mereka semua. Maka barang siapa mengikuti mereka dalam agama yang haq ini, maka ia adalah generasi penerus dari sebaik-baik pendahulu yang mulia. (Lihat Usus Manhaj Salaf fii Da’wati ilallaah, hal. 24) 

Keempat: Definisi Salaf Menurut Zaman 

Adapun dari sisi zaman, kata Salaf digunakan untuk menunjukkan kepada sebaik-baik kurun, dan yang lebih patut dicontoh dan diikuti yaitu tiga kurun yang pertama (dalam Islam) yang diutamakan, yang disaksikan dan disifati dengan kebaikan melalui lisan sebaik-baik manusia yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Akan tetapi pembatasan secara waktu tidaklah mutlak tepat karena kita mengetahui bahwa beberapa sekte bid’ah dan sesat telah muncul pada masa-masa tersebut. Karena itulah, keberadaan seseorang pada masa itu (tiga kurun yang dimuliakan) tidaklah cukup untuk menghukumi bahwa dirinya berada di atas manhaj Salaf, selama dia tidak mengikuti Shahabat radhiyallahu ‘anhum dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena itulah, para ulama memberikan batasan istilah as-Salaf ash-Shalih (pendahulu yang shalih).

Dengan demikian, ketika Salaf disebutkan maka hal itu tidak digunakan untuk menunjukkan kurun waktu yang terdahulu saja, tetapi digunakan untuk menunjukkan kepada para Shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Kesimpulannya, istilah Salaf adalah istilah yang sah. Yaitu istilah yang dipakai untuk orang-orang yang menjaga keselamatan ‘aqidah dan manhaj menurut apa yang dilaksanakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya sebelum terjadi perselisihan dan perpecahan. (Bashaa-iru Dzawis Syaraf, hal. 21)

(Dikutip langsung dari kitab Mulia Dengan Manhaj Salaf, Pustaka At-Taqwa, cet. ke-2, karya Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah)

————————–——
[1] Tafsir Ibnu Katsir (III/129) tahqiq Sami bin Muhammad as-Salamah, cet. IV Daar Thayyibah, th. 1428 H.
[2] Lihat al-Mukhtasarul Hatsiits fii Bayaani Ushuuli Manhajis Salaf Ashhabil Hadiits (hal. 15)
[3] Al-Ajwibah al-Mufiidah ‘an As-ilati Manaahij Jadiidah (hal. 123) disusun oleh Jamal bin Furaihan al-Haritsi, cet. III Daarul Manhaj, th. 1424 H.
[4] Ash-Shihaah (IV/1377) karya Imam al-Jauhari rahimahullah. Lihat Usus Manhaj Salaf fii Da’wati ilallaah (hal. 21) karya Fawwaz bin Hulail bin Rabah as-Suhami.
[5] Lisaanul ‘Arab (VI/331).
[6] Iljamul Awaam ‘An ‘Ilmil Kalaam (hal. 62). Lihat Bashaa-iru Dzawisy Syaraf (hal. 19).
[7] Tuhfatul Muriid Syarah Jauharatut Tauhiid (hal. 231) 


Kelima: Makna Salafiyyah 

Adapun Salafiyyah, maka itu adalah nisbat kepada manhaj Salaf, dan ini adalah penisbatan yang baik kepada manhaj yang benar, dan bukan suatu bid’ah dari madzhab yang baru.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) mengatakan: “Bukanlah merupakan aib bagi orang yang menampakkan madzhab Salaf dan menisbatkan dirinya kepadanya, bahkan wajib menerima yang demikian itu darinya berdasarkan kesepakatan (para ulama) karena madzhab Salaf tidak lain kecuali kebenaran.” (Majmuu’ Fataawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, IV/149)

Beliau rahimahullah juga mengatakan: “Telah diketahui bahwa karakter ahlul ahwa’ (pengekor hawa nafsu) ialah meninggalkan atau tidak mengikuti generasi Salaf.” (Majmuu’ Fataawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, IV/155)

Istilah Salaf bukanlah istilah baru. Istilah tersebut sudah digunakan sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salaf tidaklah menunjuk kepada satu golongan tetapi menunjuk kepada orang-orang yang berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman yang benar. Karena umat ini sudah berpecah belah dan yang selamat pemahamannya hanya SATU.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari kalangan Ahlul Kitab telah berpecah belah menjadi 72 golongan. Sesungguhnya umat Islam akan berpecah belah menjadi 73 golongan, 72 golongan tempatnya di dalam Neraka dan hanya satu golongan di dalam Surga, yaitu al-Jama’ah.” 
[Shahih. HR. Abu Dawud (no.4597), Ahmad (IV/102), al-Hakim (I/128), ad-Darimi (II/241), al-Aajurri dalam as-Asyari'ah, al-Lalikai dalam Syarah Ushuul I'tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama'ah (I/113 no. 150). Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi dari Mu'awiyah bin Sufyan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa hadits ini shahih masyhur. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 203-204)]

Dalam riwayat lain disebutkan: “Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para Shahabatku berjalan di atasnya.”
[Hasan. HR. At-Tirmidzi (no. 2641) dan al-Hakim (I/129) dari Shahabat Abdullah bin Amr radhiyallahu 'anhuma, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahii al-Jaami'ish Shaghiir (no. 5343). Lihat Dar-ul Irtiyaab 'an Hadiits maa Ana 'alaihi wa Ash-haabi oleh Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, cet. Darur Rayah, th. 1410 H]

Sebagian orang menyangka, dari apa yang mereka ketahui dan mereka menyelewengkan arti ketika disebutkan istilah Salafiyyah, bahwa Salafiyyah adalah label (istilah) baru dan madzhab baru bagi kelompok Islam yang baru melepaskan diri dari lingkaran Jama’ah Islamiyah yang utuh.

Sangkaan ini sama sekali tidak benar karena Salafiyyah maksudnya adalah Islam yang dibersihkan (disaring) dari kegagalan-kegagalan budaya klasik, dan warisan-warisan dari banyak kelompok dan sekte, dengan kesempurnaan dan keumumannya, baik dalam Al-Qur’an maupun as-Sunnah berdasarkan pemahaman Salaf yang terpuji.

Sangkaan ini sesungguhnya hanyalah muncul dari angan-angan kaum yang ingin menghindari kalimat yang baik dan berkah, yang akarnya menancap kuat dalam sejarah umat ini hingga sampai ke generasi pertama (Shahabat). Sampai-sampai mereka mengira bahwa kata Salafiyyah adalah hasil dari gerakan pembaharuan yang dibawa oleh Jamaluddin al-Afghani al-Irani (lahir th. 1254 H/1838 M, wafat th. 1314 H/1897 M) dan Muhammad ‘Abduh (lahir pada akhir th. 1265 H dan wafat th. 1323 H) pada masa penjajahan Inggris di Mesir??! [1]

Dan orang yang mengucapkan hal ini atau yang menyebarkannya adalah orang yang tidak mengetahui sejarah dari kata (istilah) Salaf yang sanadnya bersambung kepada generasi Salafush Shalih, baik dari sisi makna, akar kata, maupun waktu. Padahal ulama-ulama terdahulu mensifati setiap orang yang mengikuti pemahamannya Shahabat radhiyallahu ‘anhum dalam masalah ‘aqidah dan manhaj dengan istilah Salafi. (Lihat Bashaa-ir Dzawi Syarf, hal. 22-23)

Dari penjabaran makna Salafiyyah, baik dari sisi pengertian maupun penisbatan kepadanya, nampak jelaslah kesalahan para penulis dan pemikir yang menganggap penisbatan diri kepada Salafush Shalih, da’i-da’i yang menyeru kepadanya, bermanhaj dengan manhajnya, dan memperingatkan orang-orang yang menyelisihinya sebagai bagian dari firqah (kelompok) yang banyak meracuni umat Islam. Bahkan mereka menganggap bahwa mengingatkan umat dari manhaj yang menyimpang adalah penyebab perpecahan. (Lihat Usus Manhaj Salaf fii Da’wati ilallaah, hal. 29) 

Keenam: Siapakah Salafi Itu?

Salafi ialah setiap orang yang berada di atas manhaj Salaf dalam aqidah, akhlak, dan dakwah.
Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkali-kali menggunakan istilah Salafi dalam kitabnya, Siyar A’laamin Nubalaa’. Di antaranya beliau menyebutkan bahwa Imam ad-Daruquthni rahimahullah (wafat th. 385 H) adalah seorang Imam Ahlul Hadits yang ahli tentang ‘illat (penyakit-penyakit) dalam hadits, dan orang yang sangat benci kepada ilmu kalam. Beliau belum pernah mendalami ilmu kalam, juga tidak mendalami tentang debat bahkan dia seorang Salafi. ( Lihat Siyar A’laamin Nubalaa’, XVI/457)

Demikian juga Imam Abu ‘Utsman ash-Shabuni rahimahullah (wafat th. 449 H) menggunakan istilah Salaf dalam kitabnya, ‘Aqiidatus Salaf Ashabul Hadiits.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah para Salaf sampai generasi akhir. Barang siapa yang berada di atas jalannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya maka dia adalah Salafi.” (Syarah al-’Aqidah al-Waasithiyyah, I/54)

Al-Lajnah ad-Da-imah yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah (wafay th. 1420 H) pernah ditanya: Apakah yang dimaksud dengan Salafiyyah dan bagaimana pendapat antum sekalian tentangnya?

Maka Lajnah menjawab: As-Salafiyyah adalah penisbatan kepada Salaf, sedangkan Salaf adalah para Shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para imam pembawa petunjuk pada masa tiga kurun pertama -semoga Allah meridhai mereka- yang disaksikan dengan kebaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui sabda beliau: 
“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Shahabat), kemudian yang sesudahnya, kemudian yang sesudahnya. Setelah itu akan datang suatu kaum yang persaksian salah seorang dari mereka Mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” [HR. Bukhari (no. 2652, 3651, 6429, 6658) dan Muslim no. 2533 (212)]
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, al-Bukhari dan Muslim.

Sedangkan Salafiyyun adalah bentuk jamak dari Salafi, sebuah nisbat kepada Salaf, dan maknanya telah dijelaskan. 

Mereka adalah orang-orang yang berjalan di atas manhaj Salaf dalam mengikuti Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah, mendakwahkan keduanya, dan mengamalkan keduanya. Maka dengan hal itu mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Wabillaahit taufiq. [Fataawaa al-Lajnah ad-Daa-imah lil Buhuuts al-'Ilmiyyah wal Iftaa' (II/242-243, fatwa no. 1361)]

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Salafiyyah artinya berjalan di atas manhaj Salaf, yaitu para Shahabat, Tabi’in, dan generasi-generasi yang diutamakan, dalam aqidah, pemahaman maupun tingkah laku, dan seorang Muslim wajib menempuh manhaj ini. 

Allah Ta’ala berfirman:

وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At Taubah: 100)

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”.” (Al Hasyr: 10)

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Pegang erat-erat dan gigitlah ia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang diada-adakan, karena sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah itu adalah sesat.” [Shahih. HR. Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no. 4607), dan at-Tirmidzi (no. 2676). ad-Darimi (I/44), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (I/205), dan al-Hakim (I/95-96)]

(Dikutip langsung dari kitab Mulia Dengan Manhaj Salaf, Pustaka At-Taqwa cet. ke-2, karya Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah)

————————–————————
[1] Kedua orang ini adalah tokoh perintis gerakan Reformis dan Rasionalis modern dan juga aliran Inkarus Sunnah gaya baru. Jamaluddin al-Afghani al-Irani mempunyai hubungan kuat dengan Freemansonry (organisasi Yahudi) dan Muhammad Abduh sebagai muridnya menuhankan akal dan dia menolak dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan akalnya. Dia mengajak kepada kebebasan berpikir, melepaskan segala belenggu taklid, dan membentuk Jama’ah Taqriib (pendekatan) antara Sunny dan Syi’ah, dan banyak lagi yang lainnya. (Lihat al-’Ashraaniyyuun baina Mazaa’imit Tajdiid wa Mayaadinit Taqriib (hal. 34-41), karya Muhammad an-Nashiir. 


Ketujuh: Antara Salafiyah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah 

Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi al-Atsari hafizhahullah berkata, “Di sini juga perlu dijelaskan kaitan antara istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan Salafiyyah. Suatu hal yang perlu dicermati adalah perilaku sebagian da’i yang enggan menyebut dakwah mereka dengan dakwah Salafiyah, walaupun secara tegas mereka menyatakan bahwa aqidah mereka adalah aqidah Salafiyyah. Mereka hanya mempopulerkan dakwah mereka dengan sebutan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka sebut nama itu berulang-ulang dalam ceramah-ceramah maupun tulisan-tulisan mereka. Padahal sebutan Salafiyyah termasuk ketetapan Allah yang agung agar dakwah yang haq dapat dibedakan dengan dakwah-dakwah yang menyerupainya sehingga dakwah yang haq tidak tercampur dengan segala sesuatu yang menyerupainya.

Penjelasannya sebagai berikut: Bahwa istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah hanyalah muncul pada saat timbul bid’ah-bid’ah yang menyesatkan sebagian manusia, sehingga perlu adanya pembedaan jama’ah kaum Muslimin yaitu dengan berpegang teguh kepada Sunnah, maka mereka dikatakan Ahlus Sunnah sebagai lawan dari ahlul bid’ah. Dan mereka dikatakan al-Jama’ah karena mereka adalah ashl (sebagi pokok). Sedang orang-orang yang menyempal disebabkan hawa nafsu dan bid’ah adalah orang-orang yang menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Adapun saat ini istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjadi rebutan berbagai pihak dan jama’ah-jama’ah (kelompok-kelompok) yang sangat banyak. Sehingga kita dapat menyaksikan sendiri banyak dari kalangan hizbiyyin mensifatkan jama’ah dan undang-undang mereka dengan istilah ini, demikian pula sebagian tarekat-tarekat Shufiyah melakukan hal yang sama. Bahkan al-Asy’ariyyah, al-Maturidiyyah, al-Barlawiyyah dan selain mereka mengatakan, “Kami adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” !!??

Anehnya mereka semua menolak menamakan diri mereka dengan Salafiyah! Dan mereka menjauhi untuk menisbatkan diri kepada manhaj Saalf, terlebih lagi dalam kenyataan, keyakinan, dan pengamalan mereka.

Sudah tidak asing lagi di kalangan para da’i yang menyeru kepada Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah bahwa syi’ar ahli bid’ah ialah: enggan menganut prinsip mengikuti Salaf. Kata ittiba’ maknanya tidak lain ialah mengikuti pemahaman Salaf, menjadi pemutus terhadap perselisihan berbagai pemahaman di antara umat manusia masa kini. Dan prinsip mengikuti Salaf menjadi sangat penting dan mendesak di saat sebagian orang memutuskan hukum dengan akalnya, sebagian lain memutuskan hukum dengan pengalamannya, sementara yang lain memutuskan hukum dengan amarahnya.

Pemahaman orang yang menyimpang itu sendiri tidak mengindahkan jalannya kaum mukminin (yaitu jalannya para Shahabat) yang wajib diikuti dan didakwahkan. Jalan orang-orang yang beriman pada hakikatnya ialah manhaj Salaful Ummah, yang kepadanya kita menisbatkan diri dan kepada cahayanya kita mencari petunjuk.

Karena itulah salah satu syi’ar Ahlus Sunnah wal Jama’ah ialah: mengikuti Salafush Shalih dan meninggalkan segala perkara yang bid’ah dan diada-adakan dalam agama. (Lihat al-Hujjah fii Bayaanil Mahajjah, I/364, karya Imam Abul Qasim al-Ashbahani rahimahullah).

Maka barang siapa yang mengingkari penisbatan diri kepada Salaf dan mencelanya, maka perkataannya itu harus dibantah dan ditolak. Karena, “Bukanlah merupakan aib bagi orang yang menampakkan madzhab Salaf dan menisbatkan diri kepadanya, bahkan wajib menerima yang demikian itu darinya berdasarkan kesepakatan (para ulama) karena madzhab Salaf tidak lain kecuali kebenaran.” (Majmu’ Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, IV/149)

Khususnya pada masa sekarang ini di mana banyak orang yang mengaku berada di atas manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang pada hakikat dan asalnya adalah salah satu sebutan dari Salafiyyah sehingga harus ada pembedaan dari orang-orang yang sekedar mengaku-ngaku sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Pengakuan yang ternyata dibarengi dengan prinsip yang bertentangan dengan ajaran sunnah, baik dalam sisi aqidah maupun manhaj. Ditambah dengan sikap enggan menisbatkan diri terhadap manhaj Salaf, bahkan menganggapnya sebagai petaka untuk diakui secara terang-terangan, yang menisbatkan diri kepadanya dianggap tidak terhormat.

Klaim kelompok tersebut terakhir justru akan mengadili mereka sendiri, apakah sesuai ataukah berseberangan dengan manhaj Salaf dalam metodologi dakwah dan tujuan dakwah, baik sisi aqidah, fiqih, persepsi tentang Islam, dan dalam berperilaku.” (Ru’yah Waaqi’iyyah fil Manaahiji ad-Da’awiyyah, hal. 21-24, karya Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al-Halabi hafizhahullah).

Syaikh Ali hafizhahullah melanjutkan, “Hal ini semakin diperkuat bahwa Salafiyyah itu mencakup seluruh ajaran Islam (Al-Kitab dan As-Sunnah). Salafiyyah bukanlah salah satu sekte khusus yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, baik dengan menambah-nambah maupun mengurangi. Hal yang perlu diperhatikan ialah seandainya umat ini telah kembali berada di dalam bentuk Islam yang benar tanpa tercampur bid’ah dan hawa nafsu, sebagaimana terjadi di awal Islam terutama di masa Salafush Shalih, niscaya lenyaplah berbagai sebutan yang berfungsi untuk membedakan tersebut karena tidak ada lawannya.

Dengan alasan itulah ikatan wala’ dan bara’, sikap pembelaan dan permusuhan menurut orang-orang yang menisbatkan diri kepada Salaf ialah di atas Islam itu sendiri, tidak kepada yang lainnya. Tidak kepada sekte tertentu. Wala’ dan bara’ itu hanyalah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Dari semua penjelasan tersebut, menjadi jelaslah bahwa makna Salafiyyah dan hakikat penyandaran diri kepada Salaf adalah sebuah nisbat kepada Salafush Shalih, yaitu seluruh Shahabat radhiyallahu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Mereka bukanlah generasi setelah Shahabat yang diomabang-ambing hawa nafsu, yang memisahkan diri dari Salafush Shalih dengan sebutan atau ciri tertentu. Dari pengertian ini dengan sebab mereka menyalahi generasi Salaf berarti mereka disebut Khalaf, sedang nisbatnya adalah Khalafi.

Adapun orang-orang yang tetap di atas manhaj Nubuwah menisbatkan diri mereka kepada pendahulu mereka yang shalih, maka dikatakan kepada mereka: Salaf dan Salafiyyun dan orang yang menisbatkan diri kepada mereka disebut Salafi.

Salafiyyah merupakan penisbatan yang tidak memiliki ciri yang keluar dari tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan tidak pernah terpisah dari metode generasi pertama seujung jari pun. Bahkan Salafiyyah adalah bagian dari mereka dan merujuk kepada mereka.

Adapun orang yang menyelisihi Salafush Shalih dengan sebutan dan ciri tertentu maka tidak dianggap sebagai golongan mereka, meskipun mereka hidup di tengah-tengah Salafush Shalih dan di zaman mereka. Oleh karena itu, para Shahabat berlepas diri dari Khawarij, Qadariyyah, Murji’ah, dan selain mereka.

Jika demikian, maka dasar-dasar dan kaidah-kaidah untuk mengikuti Salafush Shalih harus nampak jelas dan kokoh. Dengan begitu tidak akan membingungkan orang-orang yang ingin mengikuti mereka. Harus ada pembeda antara Ahlus Sunnah dan para pengaku (orang yang mengaku-ngaku) Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dengan cara penyandaran syar’i yang tidak disukai kelompok yang sekedar mengaku Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Penyandaran ini akan membongkar penyimpangan dan cacat mereka, bila ditelusuri dan dibandingkan dengan jalan orang-orang yang beriman (yaitu Shahabat) dan manhaj Salafush Shalih.

Pembeda itu adalah Salafiyyah, sebuah jalan yang ditempuh Salafush Shalih, jalan yang jelas, meyakinkan, dan tidak perlu diragukan lagi. Yakni jalan para Shahabat dan Tabi’in. Itulah jalan petunjuk dan jalan untuk meraih petunjuk.

فَلا يَصُدَّنَّكَ عَنْهَا مَنْ لا يُؤْمِنُ بِهَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَتَرْدَى
“Maka sekali-kali janganlah kamu dipalingkan daripadanya oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu jadi binasa.” (Thaahaa: 16). (Ru’yah Waaqi’iyyah fil Manaahij ad-Da’awiyyah, hal. 26-27) 

Kedelapan: Periode Pembukuan Madzhab Salaf

Fitnah perkataan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk yang diyakini oleh Mu’tazilah dan lainnya merupakan sebab bangkitnya madzhab Salafi di hadapan berbagai madzhab yang sesat, khususnya Mu’tazilah yang telah mencapai tingkatan yang amat besar dalam kekuatan dan kedudukannya. Maka ulama Sunnah bangkit bguna membela kebenaran, meninggikan panjinya, serta memperingatkan umat dari firqah-firqah yang sesat tersebut. Para ulama pun bertambah giat sehingga panji-panji aqidah shahihah tinggi menjulang berkibar di setiap tempat dan tersingkirlah pemikiran i’tizaal (Mu’tazilah). Dan umat Islam menjadi waspada terhadapnya, maka pemikiran itu pun tetap terkekang di tempatnya dan tidak mampu bangkit setelah sebelumnya berdiri tegak serta tidak ada benderanya yang dikibarkan lagi, kecuali sangat sedikit sekali. Kemudian dimulailah periode yang baru dimana para ulama mencurahkan perhatian yang besar di dalamnya dengan membukukan dan menulis guna menjelaskan aqidah yang benar serta membantah siapa saja yang menyimpang darinya.

Tulisan -tulisan ini terbagi menjadi dua metode yang berbeda: 

Pertama: Metode Bantahan
 Maksudnya, memaparkan syubhat-syubhat musuh (lawan debat) lalu menjelaskan yang benar dengan ditopang dalil-dalil yang dinukil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan perkataan para Shahabat dan Tabi’in. Hal ini dijelaskan dalam berbagai tulisan, yang paling penting adalah:
  1. Kitaabul Iimaan, karya Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam rahimahullah (wafat th. 244 H).
  2. Ar-Radd ‘alaa Jahmiyyah, karya ABdullah bin Muhammad bin Hanbal rahimahullah (wafat th. 241 H)
  3. Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah, karya Imam Abu Abdillah bin Muhammad bin Abdullah al-Ju’fi rahimahullah (wafat th. 229 H). 
  4. Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah, karya Imam Abu Abdillah bin Muhammad bin Ismail al-Bukhari rahimahullah (wafat th. 256 H). 
  5. Al-Ikhtilaaf fil Lafzhi war Radd ‘alal Jaqhmiyyah wal Musyabihah, karya Imam Abdullah bin Muslim bin Qutaibah rahimahullah (wafat th. 276 H).
  6. Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah, karya Imam Utsman bin Sa’id ad-Darimi rahimahullah (wafat th. 280 H).
  7. Ar-Radd ‘alaa Bisyr al-Marisiy, karya Imam Utsman bin Sa’id ad-Darimi rahimahullah (wafat th. 280 H).
Kedua: Metode Pemaparan
Maksudnya, memaparkan dan menjelaskan aqidah yang benar dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta perkataan para Shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Metode ini dijelaskan oleh beberapa tulisan berikut ini:
  1. As-Sunnah, karya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (wafat th. 241 H).
  2. As-Sunnah, karya Imam Abu Bakar bin al-Atsram rahimahullah (wafat th. 272 H).
  3. As-Sunnah, karya Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal rahimahullah (wafat th. 290 H).
  4. As-Sunnah, karya Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi rahimahullah (wafat th. 294 H).
  5. As-Sunnah, karya Imam Ahmad bin Muhammad bin Harun al-Khallal rahimahullah (wafat th. 311 H).
  6. At-Tauhiid, karya Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah (wafat th. 311 H0.
  7. Asy-Syarii’ah, karya Imam Abu Bakar al-Aajurri rahimahullah (wafat th. 360 H).
  8. Al-Ibaanah, karya Imam Ubaidullah bin Muhammad bin Baththah rahimahullah (wafat th. 387 H).
  9. At-Tauhiid, karya Imam Muhammad bin Ishaq bin Mandah rahimahullah (wafat th. 395 H).
  10. Syarhus Sunnah, karya Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah bin Abi Zamanain rahimahullah (wafat th. 399 H). 11. Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, karya Imam Abul Qasim Hibatullah bin al-Hasan al-Laalika-i rahimahullah (wafat th. 418 H).

Kitab-kitab ini menetapkan satu permasalahan yang penting, yaitu “Mengembalikan umat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mengikuti Salafush Shalih dalam memahami keduanya, dan menjauhi pendapat-pendapat baru yang diada-adakan serta madzhab-madzhab yang munkar.” (Lihat muqaddimah tahqiq Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 71-73, karya Imam al-Lalika-i, tahqiq Dr. Ahmad Sa’ad Hamdan).

(Dikutip langsung dari kitab Mulia Dengan Manhaj Salaf, Pustaka At-Taqwa cet. ke-2, karya Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah)

__________________________________ 
Sumber: http://abuzuhriy.com/?cat=53&paged=2