Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Main Menu (Do Not Edit Here!)

Rabu, 03 Oktober 2012

Muslimah daftar isi

Rabu, 05 September 2012

Hukum Membunuh Binatang Saat Istri Hamil

Pertanyaan:
 
Termasuk pamali yang tersebar di masyarakat, ketika istri hamil, suami tidak boleh membunuh apapun. Karena bisa menyebabkan anaknya cacat? Benarkah keyakinan ini?


Dari: Ibnu

Jawaban:


Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du

Islam mengajarkan umatnya untuk bersikap lembut dan penuh kasih sayang kepada lingkungannya, tak terkecuali binatang. Di antara dalil yang menunjukkah hal itu:

Hadis dari Syaddad bin Aus radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن الله تبارك وتعالى كتب الإحسان على كل شيء فإذا قتلتم فأحسنوا القتلة وإذا ذبحتم فأحسنوا الذبح وليحد أحدكم شفرته وليرح ذبيحته

“Susungguhnya Allah mewajibkan untuk berbuat baik kepada segala sesuatu. Apabila kalian membunuh, bunuhlah dengan cara yang baik, apabila kalian menyembelih, sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaknya kalian mengasah pisaunya, dan mempercepat kematian sembelihannya.” (HR. Muslim)

Hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, tentang anjing yang diberi minum. Para sahabat bertanya: “Apakah kami akan mendapatkan pahala karena berbuat baik kepada binatang?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

في كل ذات كبد رطبة أجر

“Berbuat baik pada semua makhluk yang bernyawa, ada pahalanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عذبت امرأة في هرة سجنتها حتى ماتت فدخلت فيها النار لا هي اطعمتها ولا سقتها إذ حبستها ولا هي تركتها تأكل من خشاش الأرض

“Ada seorang wanita yang diadzab karena seekor kucing. Dia kurung seekor kucing sampai mati, sehingga dia masuk neraka. Dia tidak memberinya makan, tidak pula minum, dan tidak dilepaskan sehingga bisa makan binatang melata tanah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

  1. Riwayat di atas menunjukkan bahwa pada asalnya, membunuh binatang tanpa alasan termasuk tindakan yang terlarang. Dan ini berlaku umum, 
  2. tanpa melihat status dan tanpa memandang kond
  3. isi keluarga, baik saat istri hamil maupun tidak sedang hamil. Karena membunuh binatang tanpa alasan yang dibenarkan, termasuk kezhaliman terhadap binatang tersebut.

Lain halnya ketika binatang itu dibunuh karena alasan yang benar, seperti untuk qurban atau membunuh hewan yang mengganggu, maka bukan termasuk kezhaliman, karena mendapatkan izin secara syariat.

Mitos Membunuh Biatang Saat Istri Hamil

Kami tidak menjumpai adanya satupun dalil yang melarang para suami untuk membunuh atau menyembelih binatang saat istrinya hamil. Beliau juga tidak pernah mengkaitkan antara tindakan membunuh binatang dengan kehamilan istri. Padahal kita sangat yakin, banyak istri sahabat yang hamil bertepatan dengan Idul Adha. Andaikan menyembelih binatang bisa berpengaruh buruk pada janin, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengingatkannya.

  • Kita punya kaidah, meyakini sesuatu sebagai sebab terhadap sesuatu yang lain, padahal tidak memiliki hubungan sebab akibat, baik secara ilmiah maupun syariah maka termasuk perbuatan syirik kecil.
  • Dalam konteks ini, orang yang berkeyakinan, membunuh binatang saat istri hamil bisa menyebabkan janin cacat, dihadapkan pada dua tantangan:
  • Pertama, apakah ini terbukti secara ilmiah? Adakah keterangan ahli genetika atau ilmu terkait lainnya yang secara ilmiah menjelaskan hubungan demikian?

Jika tidak, kita berpindah pada tantangan kedua, adakah dalil yang shahih, baik dari Alquran maupun hadis yang menjelaskan hal tersebut?

Jika kedua tantangan ini tidak terpenuhi, berarti mitos itu sama sekali tidak terbukti secara ilmiah, dan meyakininya termasuk syirik kecil. Dan perlu Anda ingat baik-baik, meskipun kesalahan ini termasuk syirik kecil, tapi dosanya sangat besar. karena itu, segera tinggalkan keyakinan ini.

Allahu a‘lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)
http://www.konsultasisyariah.com/

Sabtu, 01 September 2012

Hak-hak Dalam Berteman

Oleh: Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak

Islam mengajarkan untuk menunaikan hak semua orang yang mempunyai hak. Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berkata kepada Abu Darda radhiyallahu'anhu, “Berilah setiap orang haknya masing-masing.”

Dituntunkan dalam Islam untuk menunaikan hak-hak teman. Hak seorang teman atas temannya sangatlah banyak. Diantaranya:

Membantu kelapangan temannya (muwasah)

Muwasah adalah tanda persahabatan yang jujur. Seorang teman yang jujur dalam persahabatannya akan memberikan kemudahan (membantu) temannya sebatas kemampuannya. Dia senantiasa merasakan senang dan susahnya teman.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, bahwa Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ. وَمَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ. وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِيْ بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ، إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ، وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرَعْ بِهِ نَسَبُهُ

“Barangsiapa yang melepaskan dari orang mukmin satu kesulitan dari kesulitan-kesulitan dunia, pasti Allah 'Azza wa jalla akan melepaskan darinya satu kesulitan dari kesulitan-kesulitan hari kiamat. Barangsiapa yang memudahkan orang yang kesukaran pasti Allah akan memudahkan (urusannya) di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutupi aib saudaranya pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya. Barangsiapa menempuh satu jalan untuk menuntut ilmu pasti Allah 'Azza wa jalla akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di suatu rumah dari rumah-rumah Allah, membaca dan mempelajari kitab Allah diantara mereka, kecuali turun kepada mereka sakinah dan mereka diliputi rahmat serta dinaungi malaikat. Allah menyebut mereka di majelis-Nya. Barangsiapa yang diperlambat oleh amalannya, tidak akan dipercepat oleh nasabnya.” (HR. Muslim)

Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berkata:

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللهِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ، وَأَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللهِ سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ، أَوْ تَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً، أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْناً، أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوْعًا

“Orang yang paling Allah cintai adalah yang paling bermanfaat bagi manusia. Amalan yang paling Allah cintai adalah menimbulkan kegembiraan bagi seorang muslim atau menghilangkan kesulitannya atau membayarkan utangnya atau menghilangkan kelaparan darinya …” (HR. Ath-Thabarani dan dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 906 dan Shahihul Jami’ no. 176)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
Muwasah kepada kaum mukminin ada beberapa macam:
  • Muwasah dengan harta
  • Muwasah dengan kedudukan
  • Muwasah dengan badan dan bantuan
  • Muwasah dengan nasihat dan bimbingan
  • Muwasah dengan doa dan memintakan ampun untuknya
  • Muwasah dengan menasihati mereka (Lihat Al-Fawaid hal. 168)
Para sahabat radhiyallahu'anhum telah memberikan teladan kepada kita, bagaimana mereka bermuwasah kepada sahabatnya. Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berkata:

إِنَّ الْأَشْعَرِيِّيْنَ إِذَا أَرْمَلُوا فِي الْغَزْوِ أَوْ قَلَّ طَعَامُ عِيَالِهِمْ بِالْمَدِيْنَةِ جَمَعُوا مَا كَانَ عِنْدَهُمْ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، ثُمَّ اقْتَسَمُوهُ بَيْنَهُمْ فِي إِنَاءٍ وَاحِدٍ بِالسَّوِيَّةِ، فَهُمْ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ

“Sesungguhnya para sahabat dari Asy‘ariyin, jika habis perbekalan mereka dalam jihad atau makanan mereka tinggal sedikit di Madinah, mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki dalam sebuah kain. Kemudian mereka bagi rata di antara mereka. Mereka dari golonganku dan aku termasuk golongan mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 2486 dan Muslim no. 2500)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu:
Abdurahman bin Auf datang kepada kami dan Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam telah mempersaudarakan beliau dengan Sa’d bin Rabi’ –seorang sahabat Anshar yang banyak harta–. Sa’d berkata, “Orang-orang Anshar telah tahu aku adalah orang yang paling banyak hartanya. Aku akan membagi dua hartaku untuk kita berdua. Aku juga punya dua istri. Lihatlah siapa yang paling kau senangi, aku akan menalaknya. Jika telah halal, engkau bisa menikahinya.”
Abdurahman bin Auf berkata: “Semoga Allah memberikan barakah kepadamu, keluarga dan hartamu. (Cukup) tunjukkanlah pasar kepadaku …” (HR. Al-Bukhari no. 3781)

Menjenguknya ketika sakit

Menjenguk orang sakit termasuk hak persaudaraan dalam Islam. Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam menyatakan:

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ. قِيلَ: مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللهَ ‏‏فَشَمِّتْهُ،‏ ‏وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ، وَإِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ

“Hak muslim atas muslim ada enam.” Beliau ditanya, “Apa itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Jika berjumpa dengannya engkau mengucapkan salam kepadanya, ketika mengundang engkau penuhi undangannya, jika minta nasihat engkau nasihati dia, jika bersin dan mengucapkan hamdalah (*Alhamdulillah) engkau mendoakannya (dengan berkata: yarhamukallah), jika dia sakit hendaknya menjenguknya, dan jika meninggal engkau iringi jenazahnya.” (HR. Muslim no. 2162)

Menjenguk orang sakit banyak keutamaannya

Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berkata:

مَنْ عَادَ مَرِيضاً، أَوْ زَارَ أَخاً لَهُ فِي اللهِ نَادَاهُ مُنَادٍ: أَنْ طِبْتَ وَطَابَ مَمْشَاكَ، وَتَبَوَّأْتَ مِنَ الْجَنَّةِ مَنْزِلًا

Barangsiapa yang menjenguk orang sakit atau mengunjungi saudaranya, akan ada penyeru yang menyeru dari atas: “Engkau telah berbuat baik dan telah baik perjalananmu. Engkau telah mempersiapkan tempat di surga.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6163)

Menjaga rahasianya

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berkata:
إِذَا حَدَّثَ الرَّجُلُ بِالْحَدِيثِ ثُمَّ الْتَفَتَ فَهِيَ أَمَانَةٌ
“Jika seseorang berbicara (denganmu), kemudian dia menoleh (melihat sekeliling) maka ketahuilah itu adalah amanah.” (HR. Abu Dawud no. 4868 dan At-Tirmidzi, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1090 dan Shahihul Jami’ no. 486)

Ibnu Ruslan rahimahullah berkata: “Karena, menolehnya dia ke kanan ke kiri adalah pemberitahuan bagi yang diajak bicara tentang kekhawatirannya bila ada orang lain yang mendengar ucapannya. Sehingga, artinya dia mengkhususkan rahasia ini untuknya. Tindakannya ke menoleh ke kanan dan ke kiri sama dengan ucapan: ‘Rahasiakan ini dariku,’ yakni ambil dan rahasiakan, ini adalah amanah bagimu.” (Lihat Ni’matul Ukhuwah hal. 70-72)

Al-wafa dan ikhlas

Al-wafa adalah terus-menerus mencintainya sampai meninggal, dan ketika telah meninggal ia mencintai anak-anak dan teman-temannya. Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam telah memuliakan sahabat dan famili Khadijah radhiyallahu'anha setelah beliau wafat. Sampai-sampai Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu'anha berkata, “Aku tidak pernah cemburu kepada seseorang seperti cemburuku kepada Khadijah, padahal aku tidak pernah melihatnya.” (HR. Al-Bukhari)

Termasuk al-wafa adalah tidak berubah tawadhunya kepada temannya, walaupun dia semakin tinggi kedudukannya dan semakin luas kekuasaannya.

Termasuk al-wafa adalah tidak mau mendengarkan cercaan-cercaan orang kepada temannya dan tidak membela musuh temannya.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Ketahuilah, bukan termasuk al-wafa bila mencocoki teman dalam perkara yang menyelisihi agama.” (Lihat Mukhtashar Minhajil Qashidin hal. 103)

Menerima udzur / alasannya

Diantara hak temanmu adalah menerima alasan yang disampaikannya. Ketika salah seorang temanmu berbuat jelek kepadamu kemudian datang menyampaikan alasan kepadamu, maka terimalah alasannya. Hal ini termasuk kemuliaan, karena udzur (alasan) diterima oleh orang-orang yang punya kemuliaan. Menerima udzur teman, selain menambah kecintaan teman, juga mendatangkan pahala yang banyak.

Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berkata:
مَنْ أَقَالَ مُسْلِماً أَقَالَ اللهُ عَثْرَتَهُ
“Barangsiapa yang menerima udzur seorang muslim maka Allah 'Azza wa jalla akan memaafkan kesalahannya.” (HR. Abu Dawud no. 3460 dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud, juga dalam Shahih Jami’ no. 6071)

Terlebih lagi seseorang yang terpandang yang kita tidak mengetahui kejelekannya, kita harus menerima udzurnya. Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berkata:

أَقِيلُوا ذَوِي الْهَيْئَاتِ عَثْرَاتِهِمْ
“Terimalah udzur orang-orang yang punya kedudukan atas kesalahan-kesalahan mereka.” (HR. Abu Dawud no. 4375 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud)

Ibnul Mubarak rahimahullah berkata, “Seorang mukmin mencari udzur bagi temannya. Adapun seorang munafik, dia mencari-cari kesalahan orang lain.”

Bagaimana jika orang yang minta udzur berdusta dalam udzur yang disampaikannya?
Jika terjadi hal demikian, maka bersikaplah seperti yang diajarkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, “Barangsiapa yang berbuat jelek kepadamu kemudian datang untuk minta udzur atas kejelekannya kepadamu maka sifat tawadhu’ mengharuskan engkau menerima udzurnya –baik udzur tersebut benar atau batil (dusta) – dan kau serahkan isi hatinya kepada Allah 'Azza wa jalla.”

Menerima udzur orang lain adalah bukti tawadhu’.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tanda kemuliaan dan tawadhu’ adalah ketika engkau melihat cela dalam udzurnya namun tetap engkau terima dan tidak membantahnya, serta berkata: ‘Mungkin saja masalahnya seperti yang kau sebutkan’.” (Lihat Ni’matul Ukhuwah hal. 79-83)

Membelanya ketika tidak ada

Diantara hak teman adalah menjaganya ketika dia tidak ada, membantah ucapan jelek tentangnya.
Dari Abud Darda radhiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berkata:

مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيهِ بِالْغَيْبِ، رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ النَّارَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang membela kehormatan saudaranya maka Allah 'Azza wa jalla akan memalingkan wajahnya dari neraka di hari kiamat nanti.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, serta dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6262)

Dalam hadits Ka’b bin Malik radhiyallahu'anhu tentang kisah taubatnya, Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam berkata di Tabuk ketika beliau sedang duduk, “Apa yang dilakukan Ka’b?” Seseorang dari Bani Salamah berkata, “Dia tertahan burdahya dan melihat dua sisinya, ya Rasulullah.” Mu’adz bin Jabal radhiyallahu'anhu berkata kepadanya, “Alangkah jeleknya yang kau ucapkan. Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak mengetahuinya kecuali kebaikan.” Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam pun diam. (HR. Al-Bukhari no. 4418 dan Muslim no. 2769)

Al-Imam An-Nawawi rahimahulah berkata: “Ketahuilah, seseorang yang mendengar ghibah terhadap seorang muslim hendaknya membantahnya dan menghardik pelakunya. Jika tidak bisa dihentikan dengan lisan, maka hentikanlah dengan tangan. Jika tidak mampu dengan lisan ataupun dengan tangan, hendaknya dia keluar untuk memisahkan diri dari majelis tersebut. Jika mendengar ghibah terhadap syaikhnya atau orang yang mempunyai hak atasnya atau orang yang punya keutamaan dan shalih, maka mengingkari pelakunya lebih ditekankan.” (Al-Adzkar)

Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berkata:
مَنْ ذَبَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيهِ بِالْغَيْبَةِ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُعْتِقَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang membela kehormatan saudaranya ketika ada yang mengghibahinya, maka hak atas Allah untuk membebaskannya dari neraka.” (HR. Ahmad dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami no. 6240)

Mendoakan kebaikan bagi teman

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Hak yang kelima adalah mendoakan kebaikan untuknya ketika masih hidup maupun sesudah meninggalnya, dengan semua doa yang dia peruntukkan untuk dirimu.”

Dalam Shahih Muslim dari hadits Abud Darda radhiyallahu'anhu, Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam berkata:

دَعْوَةُ الْمَرْءِ المُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ، عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ المُوكَّلُ بِهِ: آمِينَ، وَلَكَ بِمِثْلٍ

Doa seorang muslim bagi saudaranya yang sedang tidak bersamanya adalah doa mustajab. Di sisinya ada malaikat yang ditugaskan setiap kali dia berdoa kebaikan bagi saudaranya, malaikat berkata, “Amin, dan engkau mendapatkan yang semisalnya.”
Abud Darda radhiyallahu'anhu mendoakan banyak sahabatnya dalam doanya. Beliau selalu menyebut nama-nama mereka dalam doanya. Demikian pula Al-Imam Ahmad rahimahullah berdoa di waktu sahur untuk enam orang. (Lihat Mukhtahar Minhajul Qashidin hal. 103)

Menasihatinya

Nasihat termasuk hak persahabatan. Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berkata:
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ. قِيلَ: مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ…
“Hak muslim atas muslim lainnya ada enam: Jika berjumpa dengannya engkau mengucapkan salam kepadanya, ketika mengundang engkau penuhi undangannya, jika minta nasihat engkau nasihati dia…” (HR. Muslim no. 6162)

Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam menyatakan:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ
“Agama adalah nasihat…” (HR. Muslim no. 55)

Bagaimana bentuk nasihat seorang muslim kepada saudaranya agar mendatangkan manfaat yang besar?
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Seyogianya, nasihat engkau sampaikan ketika sedang sendirian (tidak di hadapan orang banyak). Beda antara nasihat dengan menjatuhkan (kehormatan) orang lain adalah dalam masalah ini (dilakukan dengan tertutup atau di hadapan orang banyak).” (Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 102)

Ibnu Hibban rahimahullah berkata: “Tanda seorang pemberi nasihat yang menginginkan kebaikan bagi yang dinasihatinya adalah nasihat tersebut dilakukan tidak di hadapan orang lain. Tanda orang yang ingin menjelekkan (menjatuhkan) yang dinasihati adalah menasihatinya di hadapan banyak orang.”

Mis’ar bin Kidam rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa ta'ala merahmati seseorang yang membeberkan aibku secara sembunyi-sembunyi antara aku dan dia saja. Karena nasihat di hadapan orang banyak adalah celaan.” (Lihat Ni’matul Ukhuwah hal. 86-87)

Seseorang yang dinasihati hendaknya menerima nasihat yang baik
Seseorang belum disebut memiliki sifat tawadhu’ hingga dia menerima al-haq dari orang yang menyampaikannya. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berkata:
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Sombong adalah menolak al-haq (kebenaran) dan merendahkan orang lain.”

Al-Imam Waki’ berkata: “Seseorang tidak akan pandai sampai mengambil ilmu dari orang yang di atasnya, atau selevel dengannya, juga dari orang yang lebih rendah darinya.”

Fudhail bin Iyadh rahimahullah ditanya tentang tawadhu. Beliau berkata, “Tunduk kepada al-haq, patuh dan menerimanya dari orang yang membawakannya.” (Lihat Ni’matul Ukhuwah hal. 86-87)

****
Sumber: http://asysyariah.com/hak-hak-dalam-berteman.html

Kamis, 30 Agustus 2012

Bolehkah Membatalkan Puasa Qadha?

Ingin Membatalkan Qadha Puasa  

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum
Ustadz, bolehkah membatalkan puasa qadha?
Dari: Nuke

Jawaban:

Wa’alaikumussalam
Alhamdulillah, was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, 

Pertanyaan yang sama pernah disampaikan ke lembaga fatwa Syabakah Islamiyah, di bawah bimbingan Dr. Abdullah al-Faqih. Jawaban yang diberikan:

Jika seorang muslim telah melakukan puasa wajib, seperti qadha Ramadhan, puasa nadzar, atau puasa kaffarah, yang bisa disimpulkan bahwa dia tidak boleh membatalkan puasanya tanpa udzur/alasan yang syar’i. Jika dia membatalkan puasa qadhanya, maka dia berdosa karena memutus ibadah wajib yang dia lakukan dan mempermainkannya. Hal ini juga dikuatkan denagn sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu Hani’ radhiallahu ‘anha, yang ketika itu dia sedang puasa kemudian membatalkannya. Beliau bersabda:

أكنت تقضين شيئاً
“Apakah kamu akan mengqadhanya?”
Ummu Hani menjawab: ‘Tidak’

Selanjutnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan:
فلا يضرك إن كان تطوعاً
“Tidak masalah, jika itu puasa sunah.” (HR. Said bin Manshur dalam sunannya)

Keterangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak masalah, jika itu puasa sunah.”

Menunjukkan bahwa jika itu puasa wajib, kemudian dibatalkan tanpa udzur maka itu akan menjadi masalah baginya, yang artinya itu berdosa.

Adapun udzur yang membolehkan seseorang membatalkan puasa qadhanya sama denagn udzur yang membolehkan untuk membatalkan puasa Ramadhan, di antaranya:
  1. Sakit keras, yang bisa bertambah parah jika digunakan untuk puasa atau tertunda penyembuhannya.
  2. Safar yang membolehkan seseorang mengqashar shalatnya.
  3. Hamil atau menyusui.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits 
(Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)

Ngalap Berkah yang Syirik dan Bid'ah

Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ mendapat pertanyaan sebagai berikut,

“Kami sangat ingin Anda sekalian menjelaskan mana sajakah tabarruk (ngalap berkah) yang terlarang (alias bid’ah), kapan tabarruk semacam itu digolongkan syirik akbar dan kapan digolongkan syirik ashgor? Mohon sertakan pula dengan contoh.”

Jawaban Al Lajnah Ad Daimah:
Tabarruk kepada makhluk ada dua macam:

Macam pertama: Termasuk Syirik Akbar
Tabarruk pada makhluk seperti pada kubur, pohon, batu, manusia yang masih hidup atau telah mati, di mana orang yang bertabarruk ingin mendapatkan barokah dari makhluk tersebut (bukan dari Allah), atau jika bertabarruk dengan makhluk tersebut dapat mendekatkan dirinya pada Allah Ta’ala, atau ingin mendapatkan syafa’at dari makhluk tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang musyrik terdahulu, maka seperti ini termasuk syirik akbar. Karena kelakukan semacam ini adalah sejenis dengan perbuatan orang musyrik pada berhala atau sesembahan mereka. Mengenai hal ini terdapat dalam hadits Abu Waqid Al Laitsi yang mengisahkan tentang orang-orang musyrik yang menggantungkan senjata-senjata mereka[1] pada sebuah pohon. Perbuatan yang dilakukan oleh mereka ini dianggap oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai syirik akbar. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyerupakan permintaan sebagian sahabat (yang baru saja masuk Islam) yang meminta dijadikan pohon sebagaimana orang-orang musyrik tadi, yaitu beliau serupakan dengan perkataan Bani Israel pada Musa,

اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آَلِهَةٌ
Buatlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka mempunyai beberapa sesembahan.” (QS. Al A’rof: 183)

Macam kedua: Termasuk Bid’ah
Tabarruk kepada makhluk dengan keyakinan bahwa tabarruk pada makhluk tersebut akan berbuahkan pahala karena telah mendekatkan pada Allah, namun keyakinannya bukanlah makhluk tersebut yang mendatangkan manfaat atau bahaya. Hal ini seperti tabarruk yang dilakukan orang jahil dengan mengusap-usap kain ka’bah, dengan menyentuh dinding ka’bah, dengan menyentuh maqom Ibrahim dan hujroh nabawiyah, atau dengan menyentuh tiang masjidi harom dan masjid nabawi; ini semua dilakukan dalam rangka meraih berkah dari Allah, tabarruk semacam ini adalah tabarruk yang bid’ah (tidak ada tuntunannya dalam ajaran Islam) dan termasuk wasilah (perantara) pada syirik akbar kecuali jika ada dalil khusus akan hal itu. Contoh khusus yang termasuk tabarruk yang dibolehkan adalah tabarruk dengan air zam-zam, tabarruk dengan keringat dan rambut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dengan tabarruk dengan jasad dan bekas wudhu beliau shalawaatullah wa salaamu ‘alaih. Contoh khusus yang disebutkan ini tidaklah terlarang karena ada dalil yang membolehkannya.

Wabillahit taufiq, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Fatwa Al Lajnah Ad Daimah ini ditandatangani oleh:

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua; Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh selaku wakil ketua; Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan, Syaikh Sholeh Al Fauzan, Syaikh Bakr Abu Zaid masing-masing selaku anggota.

Reference: Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 1/ 352-353, pertanyaan kedua dari fatwa no. 18511, terbitan Ar Ri-asah Al ‘Ammah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, cetakan pertama, 1428 H

***

Mengapa mengusap dinding atau kain Ka’bah, begitu pula tiang masjidil Harom terlarang? Karena perlu dipahami bahwa berkah yang ada pada Ka’bah dan Masjidil Harom adalah berkah yang sifatnya ma’nawi. Artinya di antara berkahnya adalah dengan berlipatnya pahala ketika beribadah di sana. Dan berkah yang sifatnya ma’nawi tidak bisa berpindah secara zat. Berbeda halnya dengan berkah yang sifatnya dzatiyah, yang bisa berpindah seperti berkah dari keringat atau rambut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berkah yang bersifat dzat ini hanya dikhususkan pada para nabi saja. Sedangkan orang-orang selain itu tidak ada dalil yang menunjukkannya sehingga tidak tepat ada yang ngalap berkah dengan keringatnya “Pak Kyai”. Karena para sahabat saja sendiri tidak pernah ngalap berkah dengan dzat Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali. Padahal mereka adalah semulia-mulianya sahabat. Ngalap berkah dengan ulama atau kyai bukanlah dengan dzat, namun dengan ilmu dan dengan mempelajari akhlaq mereka. Jadi harus benar-benar dipahami beda antara tabarruk ma’nawiyah dan tabarruk dzatiyah.[2]

Rumaysho.com sebelumnya pernah membahas Cara Mudah Meraih Berkah dan Ngalap Berkah dari Sang Kyai.

Riyadh-KSA, 2 Safar 1432 H (06/01/2011)
www.rumaysho.com

Muhammad Abduh Tuasikal


[1] Syaikh Hammad Al Hammad hafizhohullah menjelaskan bahwa orang-orang musyrik menggantukan senjata mereka tersebut dalam rangka mearih berkah yaitu datangnya kekuatan.
[2] Ini faedah dari Durus “Kitab Tauhid”, Syaikh Hammad Al Hammad,  KSU, Riyadh, KSA.

Cara Mudah Meraih Berkah

Segala puji bagi Allah, Maha Pemberi Keberkahan. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
 
Barokah atau berkah selalu diinginkan oleh setiap orang. Namun sebagian kalangan salah kaprah dalam memahami makna berkah sehingga hal-hal keliru pun dilakukan untuk meraihnya. Coba kita saksikan bagaimana sebagian orang ngalap berkah dari kotoran sapi. Ini suatu yang tidak logis, namun nyata terjadi. Inilah barangkali karena salah paham dalam memahami makna keberkahan dan cara meraihnya. Sudah sepatutnya kita bisa mendalami hal ini.

Makna Barokah

Dalam bahasa Arab, barokah bermakna tetapnya sesuatu, dan bisa juga bermakna bertambah atau berkembangnya sesuatu.[1] Tabriik adalah mendoakan seseorang agar mendapatkan keberkahan. Sedangkan tabarruk adalah istilah untuk meraup berkah atau “ngalap berkah”.

Adapun makna barokah dalam Al Qur’an dan As Sunnah adalah langgengnya kebaikan, kadang pula bermakna bertambahnya kebaikan dan bahkan bisa bermakna kedua-duanya[2]. Sebagaimana do’a keberkahan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sering kita baca saat tasyahud mengandung dua makna di atas.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Maksud dari ucapan do’a “keberkahan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad karena engkau telah memberi keberkahan kepada keluarga Ibrahim, do’a keberkahan ini mengandung arti pemberian kebaikan karena apa yang telah diberi pada keluarga Ibrahim. Maksud keberkahan tersebut adalah langgengnya kebaikan dan berlipat-lipatnya atau bertambahnya kebaikan. Inilah hakikat barokah”.[3]

Seluruh Kebaikan Berasal dari Allah

Kadang kita salah paham. Yang kita harap-harap adalah kebaikan dari orang lain, sampai-sampai hati pun bergantung padanya. Mestinya kita tahu bahwa seluruh kebaikan dan keberkahan asalnya dari Allah. Allah Ta’ala berfirman,
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. Ali Imron: 26).

Yang dimaksud ayat “di tangan Allah-lah segala kebaikan” adalah segala kebaikan tersebut atas kuasa Allah. Tiada seorang pun yang dapat mendatangkannya kecuali atas kuasa-Nya. Karena Allah-lah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Demikian penjelasan dari Ath Thobari rahimahullah.[4]

Dalam sebuah do’a istiftah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan,
وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِى يَدَيْكَ
Seluruh kebaikan di tangan-Mu.” (HR. Muslim no. 771)

Begitu juga dalam beberapa ayat lainnya disebutkan bahwa nikmat (yang merupakan bagian dari kebaikan) itu juga berasal dari Allah. Dan nikmat ini sungguh teramat banyak, sangat mustahil seseorang menghitungnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ
Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, Maka dari Allah-lah (datangnya)” (QS. An Nahl: 53).

قُلْ إِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ
Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah” (QS. Ali Imron: 73).

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا
Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghitungnya” (QS. Ibrahim: 34 dan An Nahl: 18).

Kita telah mengetahui bahwa setiap kebaikan dan nikmat, itu berasal dari Allah. Inilah yang disebut dengan barokah. Maka ini menunjukkan bahwa seluruh barokah, berkah atau keberkahan berasal dari Allah semata.[5]

Berbagai Keberkahan yang Halal

Setelah kita mengerti dengan penjelasan di atas, maka untuk meraih barokah sudah dijelaskan oleh syari’at Islam yang mulia ini. Sehingga jika seseorang mencari berkah namun di luar apa yang telah dituntunkan oleh Islam, maka ia berarti telah menempuh jalan yang keliru. Karena ingatlah sekali lagi bahwa datangnya barokah atau kebaikan hanyalah dari Allah.

Perlu diketahui bahwa keberkahan yang halal bisa ada dalam hal diniyah dan hal duniawiyah, atau salah satu dari keduanya. Contoh yang mencakup keberkahan diniyah dan duniawiyah sekaligus adalah keberkahan pada Al Qur’an Al Karim, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum.  Keberkahan seperti ini juga terdapat pada majelis orang sholih, keberkahan bulan Ramadhan, keberkahan makan sahur. Keberkahan pada hal diniyah saja semisal pada tiga masjid yang mulia yaitu masjidil harom, masjid nabawi, dan masjidil aqsho. Sedangkan keberkahan pada hal duniawiyah seperti keberkahan pada air hujan, pada tumbuhnya berbagai tumbuhan, keberkahan pada susu dan hewan ternak.[6]

Ada satu catatan yang perlu diperhatikan. Keberkahan yang halal di atas kadang diketahui karena ada dalil tegas yang menunjukkannya, kadang pula dilihat dari dampak, di sisi lain juga dilihat dari kebaikan yang amat banyak yang diperoleh. Namun untuk keberkahan dalam hal duniawiyah bisa diperoleh jika digunakan dalam ketaatan pada Allah. Jika digunakan bukan pada ketaatan, itu bukanlah nikmat, namun hanyalah musibah.[7]

Contoh Ngalap Berkah yang Halal

Kami contohkan misalnya keberkahan orang sholih, yaitu orang yang sholih secara lahir dan batin[8], selalu menunaikan hak-hak Allah. Di antara keberkahan orang sholih adalah karena keistiqomahan agamanya. Karena istiqomahnya ini, dia akan memperoleh keberkahan di dunia yaitu tidak akan sesat dan keberkahan di akhirat yaitu tidak akan sengsara[9]. Allah Ta’ala berfirman,

فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى
Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thoha: 123).

Keberkahan orang sholih pun terdapat pada usaha yang mereka lakukan. Mereka begitu giat menyebarkan ilmu agama di tengah-tengah masyarakat sehingga banyak orang pun mendapat manfaat. Itulah keberkahan yang dimaksudkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut orang-orang sholih yang berilmu sebagai pewaris para nabi.

إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ
Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi”.[10]

Keberkahan juga bisa diperoleh jika seseorang berlaku jujur dalam jual beli. Dari Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
Orang yang bertransaksi jual beli masing-masing memilki hak khiyar (membatalkan atau melanjutkan transaksi) selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan terbuka, maka keduanya akan mendapatkan keberkahan dalam jual beli, tapi jika keduanya berdusta dan tidak terbuka, maka keberkahan jual beli antara keduanya akan hilang”.[11]

Ketika seseorang mencari harta dengan tidak diliputi rasa tamak, maka keberkahan pun akan mudah datang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada Hakim bin Hizam,

يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ ، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ كَالَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ ، الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى
Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu hijau lagi manis. Barangsiapa yang mencarinya untuk kedermawanan dirinya (tidak tamak dan tidak mengemis), maka harta itu akan memberkahinya. Namun barangsiapa yang mencarinya untuk keserakahan, maka harta itu tidak akan memberkahinya, seperti orang yang makan namun tidak kenyang. Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah[12]

Yang dimaksud dengan kedermawanan dirinya, jika dilihat dari sisi orang yang mengambil harta berarti ia tidak mengambilnya dengan tamak dan tidak meminta-minta. Sedangkan jika dilihat dari orang yang memberikan harta, maksudnya adalah ia mengeluarkan harta tersebut dengan hati yang lapang.[13]

Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Qona’ah dan selalu merasa cukup dengan harta yang dicari akan senantiasa mendatangkan keberkahan. Sedangkan mencari harta dengan ketamakan, maka seperti itu tidak mendatangkan keberkahan dan keberkahan pun akan sirna.”[14]

Begitu pula keberkahan dapat diperoleh dengan berpagi-pagi dalam mencari rizki. Dari sahabat Shokhr Al Ghomidiy, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اللَّهُمَّ بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا
Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.”

Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim peleton pasukan, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimnya pada pagi hari. Sahabat Shokhr sendiri adalah seorang pedagang. Dia biasa membawa barang dagangannya ketika pagi hari. Karena hal itu dia menjadi kaya dan banyak harta.[15]

Ngalap Berkah yang Keliru

Ngalap berkah yang keliru di sini karena tidak ada dasar pegangan dalil yang kuat di dalamnya. Di sini kami akan contohkan beberapa hal yang termasuk ngalap berkah yang keliru.

Pertama: Tabarruk dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau wafat.

Di antara yang terlarang adalah tabaruk dengan kubur beliau. Bentuknya adalah seperti meminta do’a dan syafa’at dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisi kubur beliau. Semisal seseorang mengatakan, “Wahai Rasul, ampunilah aku” atau “Wahai rasul, berdo’alah kepada Allah agar mengampuniku dan menunjuki jalan yang lurus”. Perbuatan semacam ini bahkan termasuk kesyirikan karena di dalamnya terdapat bentuk permintaan yang hanya Allah saja yang bisa mengabulkannya.[16]

Juga yang termasuk keliru adalah mendatangi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengambil berkah dari kuburnya dengan mencium atau mengusap-usap kubur tersebut. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Para ulama kaum muslimin sepakat bahwa barangsiapa yang menziarahi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau menziarahi kubur para nabi dan orang sholih lainnya, termasuk juga kubur para sahabat dan ahlul bait, ia tidak dianjurkan sama sekali untuk mengusap-usap atau mencium kubur tersebut.”[17] Imam Al Ghozali mengatakan, “Mengusap-usap dan mencium kuburan adalah adat Nashrani dan Yahudi”.[18]

Kedua: Tabarruk dengan orang sholih setelah wafatnya.

Jika terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja tidak diperkenankan tabarruk dengan kubur beliau dengan mencium atau mengusap-usap kubur tersebut, maka lebih-lebih dengan kubur orang sholih, kubur para wali, kubur kyai, kubur para habib atau kubur lainnya. Tidak diperkenankan pula seseorang meminta dari orang sholih yang telah mati tersebut dengan do’a “wahai pak kyai, sembuhkanlah penyakitku ini”, “wahai Habib, mudahkanlah urusanku untuk terlepas dari lilitan hutang”, “wahai wali, lancarkanlah bisnisku”. Permintaan seperti ini hanya boleh ditujukan pada Allah karena hanya Allah yang bisa mengabulkan. Sehingga jika do’a semacam itu ditujukan pada selain Allah, berarti telah terjatuh pada kesyirikan.

Begitu pula yang keliru, jika tabarruk tersebut adalah tawassul, yaitu meminta orang sholih yang sudah tiada untuk berdo’a kepada Allah agar mendo’akan dirinya.

Ketiga: Tabarruk dengan pohon, batu dan benda lainnya.

Ngalap berkah dengan benda-benda semacam ini, termasuk pula ngalap berkah dengan sesuatu yang tidak logis seperti dengan kotoran sapi (Kebo Kyai Slamet), termasuk hal yang terlarang, suatu bid’ah yang tercela dan sebab  terjadinya kesyirikan.

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Adapun pohon, bebatuan dan benda lainnya ... yang dinama dijadikan tabarruk atau diagungkan dengan shalat di sisinya, atau semacam itu, maka semua itu adalah perkara bid’ah yang mungkar dan perbuatan ahli jahiliyah serta sebab timbulnya kesyirikan.”[19]

Perbuatan-perbuatan di atas adalah termasuk perbuatan ghuluw terhadap orang sholih dan pada suatu benda. Sikap yang benar untuk meraih keberkahan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau wafat adalah dengan ittiba’ atau mengikuti setiap tuntunan beliau, sedangkan kepada orang sholih adalah dengan mengikuti ajaran kebaikan mereka dan mewarisi setiap ilmu mereka yang sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Inilah tabarruk yang benar.

Penutup

Dari penjelasan di atas, sebenarnya banyak sekali jalan untuk meraih keberkahan atau ngalap berkah yang dibenarkan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita mencukupkan dengan hal itu saja tanpa mencari berkah lewat jalan yang keliru, bid’ah atau bernilai kesyirikan. Carilah keberkahan dengan beriman dengan bertakwa pada Allah. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’rof: 96)

Semoga Allah senantiasa melimpahkan kita berbagai keberkahan. Amin Yaa Mujibbas Saailin.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Disusun di Panggang-GK, 27 Sya’ban 1431 H (7 Agustus 2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com

[1] Lihat Mu’jam Maqoyisil Lughoh, Ibnu Faris, 1/227-228 dan 1/230. Dinukil dari At Tabaruk, Dr. Nashir bin ‘Abdurrahman  bin Muhammad Al Judai’, Maktabah Ar Rusyd Riyadh, 1411 H, hal. 25-26.
[2] Demikian kesimpulan dari Dr. Nashir Al Judai’ dalam At Tabaruk, hal. 39.
[3] Jalaul Afham fii Fadhlish Sholah ‘ala Muhammad Khoiril Anam, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Darul ‘Urubah Kuwait, cetakan kedua, 1407, hal. 308.
[4] Jaami’ul Bayan fii Ta’wilil Qur’an, Muhammad bin Jarir Ath Thobari, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420, 6/301,
[5] Lihat At Tabarruk, hal. 15-17.
[6] Lihat At Tabarruk, hal. 44.
[7] Lihat At Tabarruk, hal. 44.
[8] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, Al Maktab Al Islami, 2/127.
[9] Lihat perkataan Ibnu ‘Abbas ketika menafsirkan surat Thoha ayat 123 dalamm Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, 9/376-377.
[10] HR. Abu Daud no. 3641, At Tirmidzi no. 2682 dan Ibnu Majah no. 223. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[11] HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532
[12] HR. Bukhari no. 1472.
[13] Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379 H, 3/336.
[14] Syarh Ibni Batthol, Asy Syamilah, 6/48.
[15] HR. Abu Daud no. 2606, At Tirmidzi no. 1212, Ibnu Majah no. 2236. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[16] Lihat At Tabaruk, hal. 325.
[17] Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H, 27/79.
[18] Ihya’ ‘Ulumuddin, Imam Al Ghozali, Mawqi’ Al Waroq, 1/282.
[19] Majmu’ Al Fatawa, 27/136-137.

Ngalap Berkah ala Jahiliyyah


Ngalap berkah alias mencari berkah ( التَّبَرُّكُ ) merupakan ibadah yang harus didasari keikhlasan dan ilmu, sebab sebagian orang salah dalam memahami makna ngalap berkah. Mestinya seseorang mencari berkah dari Allah -Ta’ala-, tapi mereka mencari berkah pada makhluk, dan tempat-tempat yang tidak dibenarkan oleh Allah -Azza wa Jalla-. Realita ngalap berkah yang salah dan batil seperti ini, amat banyak kita temukan di bawah kolong langit. Tidak usah jauh melihat, lirik saja pemandangan aneh di Solo dengan adanya sekelompok manusia yang ngalap berkah (mencari berkah) dari seekor kerbau bernama "Kiyai Slamet". Sedihnya, mereka berebutan kotoran si kerbau dengan anggapan bahwa kotoran itu memiliki berkah yang bisa mendatang kebaikan dan menolak bala’. Na’udzu billah minasy syirki wa ahlihi.

Toleh saja kepada sekelompok manusia yang mengaku muslim saat mereka mendatangi kuburan orang-orang yang dianggap sholeh alias wali-wali, seperti kuburan Wali Songo, kuburan Syaikh Yusuf (Gowa, Sulsel). Mereka mendatangi kuburan-kuburan itu dengan meyakini bahwa penghuni kuburan memiliki berkah yang layak dicari dan diminta dari mereka. Demi mendapatkan berkah ini, disana mereka melakukan berbagai macam ritual ibadah yang tak pernah Allah perintahkan untuk dilakukan, seperti menyirami kuburan "wali-wali" tersebut dengan wewangian bercampur air, menabur bunga di atasnya, mengusap nisannya, membaca Al-Qur’an dan lainnya, melaksanakan sholat sunnah, bernadzar, menyembelih hewan ternak, berdoa di sisinya, dan banyak lagi macam ibadah dilakukan disana. Semua ini mereka lakukan sebagai bentuk ngalap berkah ( التَّبَرُّكُ ) dari selain Allah -Ta’ala-. Allah tak pernah memerintahkan hal tersebut, sebab itu adalah kesyirikan yang dahulu dilakoni oleh kaum Quraisy.

Para pembaca yang budiman, BERKAH ( الْبَرَكَةُ ), bila ditilik maknanya, maka ia berarti banyaknya, tetapnya, dan kontinyunya sesuatu yang memiliki kebaikan. Dengan kata lain, berkah itu adalah kebaikan yang banyak dan kontinyu pada sesuatu. [Lihat At-Tamhid li Syarh Kitab At-Tauhid (hal. 160) oleh Syaikh Sholih bin Abdil Aziz At-Tamimiy, dan Tahdzib Al-Lughoh (3/373)]

Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah menerangkan bahwa berkah hanyalah berasal dari Allah -Azza wa Jalla-. Dialah yang berhak memberikan berkah kepada sesuatu, bukan makhluk !!! Allah -Azza wa Jalla- berfirman,

"Maha Berkah Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam".(QS. Al-Furqon : 1)

Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman tentang Nabi Ibrahim,
"Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq. Dan diantara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang zalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata".(QS. Ash-Shooffat : 113)

Allah Robbul alamin berfirman,
"Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja Aku berada, dan dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup". (QS. Maryam : 31)

Tiga ayat di atas adalah dalil qoth’iy yang menunjukkan bahwa yang memberikan berkah (kebaikan yang banyak) kepada makhluk, hanyalah Allah -AzzawaJalla-, bukan makhluk. Ayat-ayat mulia ini merupakan bantahan keras atas para kiyai dan anre guru (sebutan kiyai di Sulsel) yang mengajarkan kepada para muridnya untuk mencari berkah dari sang kiyai saat mereka berjabat tangan dengan si kiyai atau menyentuh badannya.

Ketahuilah bahwa seseorang tak boleh menetapkan adanya berkah pada sesuatu, kecuali berdasarkan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Adapun kiyai, maka tak ada dalil yang menunjukkan adanya berkah pada tangan dan tubuh mereka. Jika ada yang menetapkannya pada si kiyai, maka ia adalah seorang pendusta lagi menyalahi petunjuk wahyu.

Ngalap berkah dari sesuatu yang tidak diperintahkan dan tidak dibolehkan oleh Allah merupakan kebiasaan kaum musyrikin pada berhala-berhala mereka. Kaum musyrikin dahulu, mereka mencari berkah pada Laata, Uzza, Manaat, dan lainnya.

Allah -Ta’ala- berfirman menyinggung sembahan-sembahan batil yang biasa diharapkan berkahnya oleh orang-orang Quraisy,

Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Laata dan Uzza, serta Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah)nya. mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka. Dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka". (QS. An-Najm : 19-23)

Tahukah kalian siapakah ketiga sembahan-sembahan batil ini??! Silakan dengar jawabannya dari pemaparan Al-Imam Ibnu Katsir -rahimahullah- dalam Tafsir-nya,

"Laata adalah sebuah batu putih yang terukir. Di atasnya terdapat sebuah rumah (bangunan) yang memiliki kelambu dan penjaga (security). Di sekitarnya terdapat pekarangan yang diagungkan oleh penduduk Tha’if, yaitu suku Tsaqif, dan orang-orang yang mengikuti mereka. Mereka membangga-banggakan Laata atas suku lain di antara suku-suku Arab setelah Quraisy". [Lihat Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim (7/455)]

Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa Laata adalah kuburan seorang laki-laki yang dahulu menumbuk gandum untuk para jama’ah haji di zaman jahiliyah. Ibnu Abbas -radhiyallahuanhuma- berkata,
كَانَ يَلُتّ السَّوِيق عَلَى الْحَجَر فَلَا يَشْرَب مِنْهُ أَحَد إِلَّا سَمِنَ ، فَعَبَدُوهُ
"Laata adalah seorang laki-laki yang biasa menumbuk gandum di atas batu. Tak ada seorang pun yang minum darinya, kecuali ia akan menjadi gemuk. Akhirnya, merekapun menyembah Laata". [HR. Ibnu Abi Hatim sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Hafizh dalam Fathul Bari (8/612)]

Dua pendapat ini tidaklah bertentangan, sebab orang yang menyatakan bahwa Laata adalah sebuah batu putih tidaklah menyelisihi orang yang menyatakan Laata adalah kubur atau penghuninya. Boleh jadi, batu itu adalah batu nisan yang diletakkan di atas kubur sehingga jika seseorang mengagungkan batu itu, maka secara tak langsung ia telah mengagungkan penghuninya. [Lihat Taisir Al-Aziz Al-Hamid (hal. 137) oleh Syaikh Sulaiman bin Abdillah At-Tamimiy, cet. Alam Al-Kutub, dengan tahqiq Muhammad Aiman bin Abdillah As-Salafiy, 1419 H]

Sedang Manat adalah sebuah arca milik suku Hudzail dan Khuza’ah di daerah Qudaid yang terletak antara Makkah dan Madinah [Lihat An-Nihayah fi Ghorib Al-Hadits (4/808) oleh Ibnul Al-Atsir]

Adapun Uzza, kata Ibnu Jarir -rahimahullah-, "Uzza adalah sebuah pohon. Di atasnya terdapat bangunan dan kelambu yang terletak di daerah Nakhlah antara Makkah, dan Tha’if . Dahulu orang-orang Quraisy mengagungkannya". [Lihat Jami' Al-Bayan fi Tafsir Ayil Qur'an ()]

Pohon sembahan inilah yang telah ditebas oleh Panglima Islam, Kholid bin Al-Walid atas perintah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-,

Dari Abu Ath-Thufail, ia berkata,

لمَاَّ فَتَحَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ بَعَثَ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيْدِ إِلَى نَخْلَةَ وَكَانَتْ بِهَا الْعُزَّى, فَأَتَاهَا خَالِدٌ وَكَانَتْ عَلَى ثَلاَثِ سَمُرَاتٍ, فَقَطَعَ السَّمُرَاتِ وَهَدَمَ الْبَيْتَ الَّذِيْ كَانَ عَلَيْهَا, ثُمَّ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ, فَقَالَ: اِرْجِعْ فَإِنَّكَ لَمْ تَصْنَعْ شَيْئًا, فَرَجَعَ خَالِدٌ, فَلَمَّا أَبْصَرَتْ بِهِ السَّدَنَةُ وَهُمْ حَجَبَتُهَا أَمْعَنُوْا فِي الْجَبَلِ وَهُمْ يَقُوْلُوْنَ: يَا عُزَّى, فَأَتَاهَا خَالِدٌ, فَإِذَا هِيَ امْرَأَةٌ عُرْيَانَةٌ نَاشِرَةٌ شَعْرَهَا تَحْتَفِنُ التُّرَابَ عَلَى رَأْسِهَا, فَعَمَّمَهَا بِالسَّيْفِ حَتَّى قَتَلَهَا, ثُمَّ رَجَعَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ: تِلْكَ الْعُزَّى

"Tatkala Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- telah merebut kota Makkah, maka beliau mengutus Kholid bin Al-Walid ke daerah Nakhlah, sedang di sana terdapat Uzza. Kholid pun mendatanginya, dan Uzza berupa tiga pohon berduri. Kemudian Kholid menebas pohon-pohon tersebut, dan merobohkan bangunan yang terdapat di atasnya. Lalu ia mendatangi Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- seraya mengabarkan hal itu kepada beliau. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, "Kembalilah, karena engkau belum berbuat apa-apa". Kholid pun kembali. Tatkala ia dilihat para security (para penjaga) Uzza, maka mereka mengintai di atas gunung seraya mereka berkata, "Wahai Uzza". Kemudian Kholid mendatangi Uzza, tiba-tiba ada seorang wanita telanjang yang mengurai rambutnya sambil menaburkan debu di atas kepalanya. Akhirnya Kholid menebas wanita itu dengan pedang sehingga ia membunuhnya. Beliaupun kembali ke Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- seraya mengabarkan hal itu. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, "Itulah Uzza". [HR. An-Nasa'iy dalam As-Sunan Al-Kubro (6/474/no. 11547), dan Abu Ya'laa Al-Maushiliy dalam Al-Musnad (no. 902). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Ali bin Sinan dalam Takhrij Fath Al-Majid (no. 103)]

Hadits ini merupakan dalil bahwa jika ada sebuah pohon yang dikeramatkan, disembah, dan diharapkan berkah atau kebaikannya, maka diwajibkan bagi penguasa muslim untuk menebangnya demi menutup pintu kesyirikan. Karena mengagungkan suatu pohon dan mengkeramatkannya sehingga diharapkan berkahnya merupakan kebiasaan jahiliyyah yang telah lama dilakukan orang-orang Yahudi, dan kaum paganisme alias penyembah berhala.

Inilah yang pernah diceritakan oleh Abu Waqid Al-Laitsiy -radhiyallahu anhu-,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا خَرَجَ إِلَى حُنَيْنٍ مَرَّ بِشَجَرَةٍ لِلْمُشْرِكِينَ يُقَالُ لَهَا ذَاتُ أَنْوَاطٍ يُعَلِّقُونَ عَلَيْهَا أَسْلِحَتَهُمْ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُبْحَانَ اللَّهِ هَذَا كَمَا قَالَ قَوْمُ مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَرْكَبُنَّ سُنَّةَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ

"Tatkala Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- keluar menuju Hunain, maka beliau melewati sebuah pohon milik kaum musyrikin yang disebut dengan "Dzatu Anwath (Yang memiliki gantungan)". Mereka menggantungkan padanya senjata-senjata mereka. Mereka pun berkata, "Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath". Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, "Subhanallah, Ini bagaikan sesuatu yang pernah diucapkan kaumnya Musa, "Buatlah untuk kami sebuah Tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)". (QS. Al-A’raaf : 138) Demi (Allah)Yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian akan benar-benar mengikuti jalan hidupnya orang-orang sebelum kalian". [HR. At-Tirmidziy dalam As-Sunan (2180), Ahmad dalam Al-Musnad (5/218), dan lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Jilbab Al-Mar'ah Al-Muslimah (hal. 202)]

Seorang ulama Andalusia, Al-Imam Abu Bakr Muhammad bin Al-Walid Al-Fihriy (wft 530 H) yang dikenal dengan "Ath-Thurthusiy" -rahimahullah- berkata saat mengomentari hadits di atas, "Perhatikanlah –semoga Allah merahmati kalian-, dimanapun kalian temukan sebuah pohon bidara atau pohon apa saja yang didatangi oleh manusia, dan mereka mengagungkan keberadaan pohon itu, mengharapkan kesembuhan darinya, mereka menggantungkan padanya paku-paku dan kain-kain, maka pohon itu adalah Dzatu Anwath. Karena itu, tebanglah pohon itu". [Lihat Kitab Al-Hawadits wa Al-Bida' (hal. 38-39) oleh Ath-Thurthusiy, dengan tahqiq Ali bin Hasan Al-Halabiy, cet. Dar Ibn Al-Jauziy, 1419 H]

Syaikhul Islam Ahmad Ibnu Abdil Halim An-Numairiy -rahimahullah- berkata, "Barangsiapa yang mendatangi suatu tempat sedang ia mengharapkan kebaikannya dengan mendatanginya, tapi syari’at tidak menganjurkannya hal itu, maka hal itu termasuk kemungkaran. Sebagiannya lebih parah dari yang lainnya, sama saja apakah tempat itu berupa pohon atau mata air, saluran air, gunung, atau gua; sama saja apakah ia mendatanginya untuk sholat di sisinya, berdoa di sisinya, atau membaca Al-Qur’an di sisinya, berdzikir kepada Allah di sisinya, beribadah (tirakatan) di sisinya, dimana ia telah mengkhususkan tempat itu dengan sejenis ibadah yang tempat itu tak pernah disyari’atkan untuk dikhususkan dengan suatu ibadah, baik tempat itu sendiri atau sejenisnya". [Lihat Iqtidho Ash-Shiroth Al-Mustaqim (2/118)]

Jadi, mendatangi suatu tempat, baik itu berupa pohon, kuburan, bangunan, dan lainnya dengan niat mencari berkah dan kebaikan merupakan kebiasaan jahiliyah yang harus ditinggalkan seorang muslim, yakni seorang muslim yang mau menapaki jalan dan petunjuk Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya.

Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 128 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

Sumber: http://almakassari.com/